Judul Buku: Imperium
Penulis: Robbert Harris
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2008
Jumlah Halaman: 413
“Seni kehidupan adalah mengatasi setiap masalah ketika ia muncul, bukannya menghancurkan semangat dengan mencemaskan hal-hal yang terlalu jauh ke depan”.
Pertemuan saya dengan novel ini bermula dari perjalanan ke Jogja bulan April lalu.Setelah kuliah di Banjarmasin, saya sangat jarang mampir ke Jogja. Harga buku di Banjarmasin sedikit kurang rasional di kantong mahasiswa. Oleh karena itu, tentu saya tidak akan melewatkan perjalanan ke Jogja tanpa oleh-oleh buku.
Setelah berjam-jam melihat-lihat buku di Taman Pintar, saya memutuskan membeli novel Imperium ini dan novel Larasati karangan Pak Pram. Kedua novel ini sama-sama fiksi sejarah, genre kesukaan yang cukup meringankan kerja otak daripada memahami buku-buku teks kuliah yang harus dicerna dengan penuh kedamaian jiwa.
Tidak ada yang meragukan, novel adalah langkah strategis untuk memahami alur peristiwa sejarah bagi orang-orang yang malas membaca buku teks sejarah yang kaku. Novel mendukung buku teks dengan menyajikan imajinasi peristiwa dari mata tokoh yang tergambar di dalamnya.
Novel Imperium adalah gerbang bagi kalian yang ingin mempelajari dunia politik Republik Romawi (106-43 SM) semasa Cicero-orator dan negarawan terulung yang dimiliki sejarah manusia, hidup dan bergulat dengan ambisinya untuk mendapatkan gelar konsul. Semacam presiden bila dibandingkan dengan sistem birokrasi republik zaman sekarang.
Meski Imperium adalah novel, sebagian besar peristiwa yang digambarkannya benar-benar terjadi. Sisanya paling tidak, ‘mungkin’ telah terjadi, begitu catatan Robbert Harris di penghujung novelnya, dan tak ada yang jelas-jelas tidak pernah terjadi. Ini adalah novel politik yang diriset dengan teliti, berlatar belakang era paling menentukan dalam sejarah Romawi Kuno. Cocok dibaca peminat sejarah sekaligus politik.
Novel yang memiliki tebal 413 halaman ini,ditulis Robbert Harris untuk menceritakan kisah Cicero dalam meraih ambisi hidupnya. Menariknya, kisah cicero dikisahkan melalui sudut pandang seorang Tiro. Budak ayah Cicero yang dipinjam selamanya oleh Cicero untuk menemani perjalanan belajarnya dan tetap setia hingga ia mencapai imperium: kekuasaan politis resmi atas hidup dan mati, sebagai mana dimandatkan oleh negara kepada seseorang.
Seperti yang dikisahkan Tiro, Cicero berangkat dari bukan siapa-siapa di dunia politik Republik Romawi. Ia hanya “orang baru” yang harus bersinggungan dengan orang-orang hebat di zamannya yang mengincar posisi yang sama. Orang-orang yang punya segalanya lebih dari dirinya (kekayaan, kekuasaan, dan keturunan). Namun Cicero adalah kasus unik yang dimiliki sejarah republic Roma itu sendiri, ia berhasil mengejarnya tanpa bantuan sumber daya apapun selain bakatnya sendiri. Tidak seperti Hortensius atau Metellus, pengincar saingannya yang berasal dari kaum aristocrat turun temurun yang punya hutang piutang politik yang bisa ditagih saat pemilu. Dia tidak memiliki armada perang perkasa yang mendukung pencalonannya seperti Pompeius Agung dan Julius Caesar. Ia tidak memiliki harta berlimpah seperti Crassus untuk melicinkan jalan. Yang ia miliki hanya suaranya dan ketekunan tekad semata.
Namun, satu hal yang terlewat dari narasi Tiro: Cicero punya orang-orang hebat yang mendukungnya di belakang layar. Orang –orang itu adalah Tiro, Terentia, dan kedua saudaranya Quintus dan Lucius. Perlu digaris bawahi, bahwa untuk mencapai keberhasilan seperti Cicero, kita tidak bisa sekedar mengandalkan bakat dan sumberdaya yang dimiliki, tetapi juga rela berkorban untuk kepentingan ambisi kita. Bahkan jika pengorbanan itu setara kematian, seperti yang Lucius lakukan.
Cicero lahir pada tanggal 3 Januari 106 SM – meninggal 7 Desember 43 SM dan dikenal sebagai orator terhebat yang dimiliki Republik Romawi Kuno. Ia lahir di Arpinum. Ayahnya adalah tuan tanah dan pejabat public Romawi. Oleh karena itu, Cicero dapat mengakses pendidikan di Roma. Di bawah bimbingan Quintus Mucius Scaevola, ia adalah murid yang sangat berbakat lalu memulai karirnya sebagai pengacara antara tahun 83-81 SM. Kasus besar pertamanya masih tercatat hingga sekarang yang ditanganinya adalah pembelaannya terhadap Sextus Roscius yang dituduhkan telah melakukan pembunuhan terhadap ayahnya. Suatu kejahatan mengerikan kala itu. Berkat pembelaan Cicero, Roscius dibebaskan dari tuduhan tersebut. Setelah itu, ia terus berhasil menangani kasus-kasus besar melalui kerja keras dan bantuan dari orang–orang kepercayaannya.
Tahun 79 SM, Cicero kembali belajar ke Yunani dan bertemu Appolonius Molon dari Rhodes yang kemudian menjadi guru yang banyak memengaruhi gaya individual Cicero di kemudian hari. Ketertarikannya pada filosofi akhirnya membuat dia memperkenalkan filosofi Yunani kepada kebudayaan Romawi dan membuat kosa kata filosofis dalam bahasa Latin.
Berkat bakatnya ia berhasil menangani kasus-kasus besar. Terkenal sebagai seorang pengacara yang brilian dan orang pertama di keluarganya yang berhasil meraih jabatan elit dalam birokrasi pemerintahan di Romawi Kuno. Kala itu, keturunan adalah salah satu hal utama yang menjadi gerbang masuk ke dalam birokrasi pemerintahan. Cicero adalah salah satu figure politik terkemuka pada era Julius Caesar, Pompei yang Agung, Marcus Antonius, dan Octavianus. Melalui karyanya, para pemikir Renaisans dan Pencerahan menemukan kekayaan retorika dan filsafat klasik.
Kerangka
Buku ini terbagi menjadi dua bab. Bab pertama mengisahkan tentang upaya Cicero menuntut Gaius Verres. Seorang gubernur Sisilia yang melakukan kejahatan luar biasa: korup, penjarahan terhadap benda-benda antik yang dimiliki warga bahkan yang milik fasilitas kota, hingga pembunuhan terhadap orang-orang tak bersalah. Cicero melakukan segala hal melakukan penuntutan Verres yang dibela oleh Hortensius, pengacara terhebat, nomor satu di Romawi. Hortensius, lawannya dalam kasus ini yang juga musuh bebuyutannya telah berada dalam posisi lebih senior daripada Cicero dan mengulur-ulur waktu, hingga Cicero hampir tidak memiliki cukup waktu untuk mengajukan tuntutannya.
Namun, bukti-bukti yang telah ia kumpulkan dengan susah payah berhasil dikemasnya dengan orasinya yang luar biasa membuat para juri tidak dapat berkata apapun. Cicero berhasil mengalahkan Verres dan rakyat menilainya sebagai sosok yang tulus berpihak untuk kepentingan rakyat. Begitulah sosok Cicero dimata Tiro yang sangat manusiawi. Politik adalah profesi Cicero yang tak lantas melakukan segalanya demi ambisi. Cicero sangat cerdas memahami situasi dan tetap berpegang teguh pada prinsip kebenaran yang diyakininya.
Bab kedua, mengisahkan tentang upaya menjadi konsul Roma. Tak tanggung-tanggung musuhnya adalah Crassus dan Caesar. Dua pasangan licik yang bersedia membayar suap hampir seluruh pemerintahan pada saat pemilu. Crassus digambarkan memiliki kekayaan yang berlimpah dan kejam, sedangkan Caesar sendiri digambarkan sebagai sosok cerdik yang playboy. Pada bagian ini, diceritakan bahwa akhirnya Cicero yang berseberangan dengan Hortensius berhasil meyakinkan Hortensius dan sekutunya untuk memilih Cicero pada saat pemilihan konsul. Berhasilnya Cicero meyakinkan Hortensius dan sekutunya tidak lain karena keahlian Tiro yang berhasil menciptakan sistem Stenografi yang mampu menuliskan suara secepat ia mengucapkan. Keberhasilan Cicero mengalahkan Crassus dan Caesar dalam pemilihan konsul bukan berarti permasalahan hidup Cicero selesai. Ia juga harus berani membayar mahal atas beralihnya Hortensius bersekutu yang memilih Cicero. Di penghujung ceritanya Tiro mengutip kalimat Cicero, bahwa seni kehidupan adalah mengatasi setiap masalah ketika ia muncul, bukannya menghancurkan semangat dengan mencemaskan hal-hal yang terlalu jauh ke depan.