LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Atas Rasa, Terima Kasih

Songlit: Hal – Terima kasih

 

Sudah dua tahun Alice menyukai Arnav, kakak kelas yang tidak sengaja ia kagumi saat cowok itu sedang sosialasi ekstrakulikuler. Alice tidak melakukan apapun untuk mendekati apalagi untuk memiliki Arnav. Alice tidak mengharapkan apapun, karena Alice tahu perasaan yang ia pendam ini adalah sesuatu yang akan berakhir sia-sia.

Alice duduk di sebuah gazebo ditepi lapangan basket, menatap langit dengan tatapan sendu sambil merenungi perasaannya yang sudah lama ia pendam pada sosok yang kini berada di depannya sedang bermain basket.

“Oi Lilis ngapain lo? Duduk sendirian di sini pasti ngeliatin Arnav lagi kan,” ucap Rilla sembari duduk di samping Alice.

“Iyalah, ngapain lagi gue di sini kalau nggak ngeliatin kak Arnav,” jawab Alice sembari senyum-senyum malu.

“Alice, Alice, sampai kapan sih lo mau jadi pengagum rahasianya? Tapi kayaknya bukan pengagum rahasia deh,  lebih cocok jadi pemendam perasaan yang gak berani ngungkapin,” ujar Rilla tersirat sindiran.

“Gue pengagum rahasia Rilla, kan lo tahu gue sering diam-diam ngasih coklat, kasih roti, susu kotak di lokernya, gue tuh cuman ngagumin buka suka yang pengen memiliki gitu,” kata Alice denial.

“Gue nggak buta ya Lis, gue bisa lihat dari mata lo, dari cara lo, dari sikap lo, pokoknya dari mana aja lo tuh suka Alice bukan ngagumin. Lo bisa bedain nggak sih, antara suka sama mengagumin itu?” Rilla berkata cukup jutek, karena gemas dengan ucapan Alice yang benar-benar denial.

“Emang kelihatan banget ya Ril? Tapi gue emang pengagum sih, kayak suka tapi cuman kagum gitu, ngerti gak sih lo? Intinya gue pengagum oke?” Alice tetap kekeh dengan ucapannya.

“Ya udah terserah lo aja tapi ya Lis gue mau kasih tau info nih buat lo.” Rilla mempersempit jaraknya dengan Alice.

“Info apa?” tanya Alice penasaran.

“Lusa kak Arnav bakal ikut turnamen futsal antar sekolah, lo mau ikut nonton nggak? Gue ada
tiket nih,” ujar Rilla tersenyum miring.

“IKUT LAH!” jawab Alice berteriak nyaring hingga membuat murid-murid sekitar menoleh pada mereka dan memberikan tatapan heran.

Rila tertawa kecil lalu berkata, “Katanya cuman pengagum tapi mau ngintilin kak Arnav ke mana-mana aneh lo.”

“Sembarangan, gue bukan ngitilin woi! Kan lo nawarin tadi, mau gue tempeleng lo?” ancam Alice mendengus kasar.

“Iya iya sensi banget sih lo. Oke deh, lo ikut nanti gue jemput ya jangan lupa hadiah coklat atau apapuun itu, siapa tahu kan lo bisa modus gitu biar kak Arnav tuh ngelihat lo gitu, kan selama ini lo cuman lihat punggungnya doang, nggak sakit mata apa lo lihat punggungnya terus,” ujar Rilla seperti mengomel.

“Iya iya bawel banget sih lo, gue kan cuma pengagum ngapain gue modus,” Alice mencebikkan lidahnya.

“Ya udah, mau ke kelas nggak nih atau mau di sini dulu sampai ke Arnav selesai basket? Tapi bentar lagi bakal masuk sih mending ke kelas aja.”

“Tunggu gue mau foto punggungnya dulu.” Rila pun mengeluarkan ponselnya dari saku rok selututnya lalu membuka aplikasi kamera dan mengarahkannya pada Arnav yang sedang membelakanginya sambil berkacak pinggang menatap teman-temannya.

“Alice punten nih ya, lo kayak punya fetish terhadap punggung,” ujar Rilla mengulum bibirnya menahan tawa.

“Mulut lo lama-lama kurang ajar ya Rill. Mau gue gosok pakai amplas?” Alice menokeh kesal pada Rilla yang menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

“Bercanda Alice bercanda, maaf ya. Soalnya lo suka banget sih ngefotoin punggungnya, emang apa sih yang special dari punggung si Arnav-Arnav itu? Kenapa nggak ke punggung gue aja? Punggung gue juga lebar kok,” ujar Rilla sambil berbalik untuk memperlihatkan punggungya.

“Punggung lo sama kak Arnav tuh beda, kalau punggung kak Arnva sender-able. Kalau punggung lo itu gaplok-able, jadi punggung lo itu lebih enak di gaplok daripada disandarin,” kata Alice sambil memukul punggung Rilla sedikit kencang.

“Lo kan emang sering gaplok punggung gue Lice, enggak usah lo banding-bandingin gitu deh.” Rilla mendengur marah.

“Iya sih udah nggak usah cemberut nggak cocok banget buat muka lo yang jutek ini. Mending kita ke kelas deh, udah dapet fotonya.”

Alice pun merangkul Rilla, kemudian berbalik melangkahkan kakinya meninggalkan lapangan basket. Alice sempat menolehkan kepalanya ke belakang untuk menatap Arnav yang masih bermain basket bersama teman-temannya.

Hal ini sudah menjadi kebiasaan Alice sejak ia menyukai Arnav. Alice menyukai Arnav karena saat MPLS, Arnav sedang mempromosikan ekskul futsal. Karena cowok itu adalah ketua dari ekskul tersebut otomatis kak Arnav yang menjelaskan perihal eskulnya.

Yang membuat Alice tertarik pada karena karena itu punya kumis tipis, kak Arnav juga nggak tinggi-tinggi banget tapi itu yang membuat Alive suka, lebih tepatnya kagum.

**

Alice sudah berada di lapangan futsal tempat di mana Arnav akan turnamen dengan sekolah lain. Alice tiba lebih dulu dari Rilla, karena temannya itu mampir ke minimarket sebentar untuk membeli minuman dan camilan.

Sekarang, Alice tidak tahu mau ke mana, orang-orang juga sudah mulai berdatangan untuk memenuhi sisi lapangan dan mengambil tempat. Kepala Alice menoleh ke kanan dan ke kiri memperhatikan orang-orang dan sesekali menoleh ke arah pintu masuk berharap Rilla segera datang.

Di saat dia kebingungan tiba-tiba seseorang mendatanginya, suara langkah kaki itu terdengar sangat jelas, Alice yang merasa pun lantas berbalik dan mendapati Arnav berdiri di depannya dengan senyum kecil.

“Gue lihat-lihat, lo dari tadi berdiri di sini noleh kanan kiri, kenapa?” tanya Arnav menaikkan kedua alisnya.

Alice terdiam kaku, pikirannya tiba-tiba kosong, matanya terus menetap wajah Arnav karena yang terlihat bersinar. Mungkin kalau dilihat dari pandangan kak Arnav, wajahnya pasti sedang melongo.

“Woi!” Arnav melambaikan tangannya di depan wajah Alice.

“Eh, maaf kak.” Alis tentu saja tersentak dan kembali pada kesadarannya Alis berdeham kecil.

“Itu, gue lagi nunggu temen. Bingung juga mau duduk di mana.”

“Kita satu sekolah kan? Gue sering lihat lo di pinggir lapangan,” ujar Arnav lalu menarik Alice ke pinggir karena posisi mereka menghalangi jalan orang lain.

Demi apapun Alice mau teriak sekarang juga, Alice nggak nyangka kalau Arnav ternyata menoticenya.

“Hehe iya kak gue emang sering di pinggir lapangan, di gazebo sih maksudnya,” ujar Alice terkekeh kikuk.

“Iya gue tahu, soalnya lo mencolok banget dari yang lain,” kata Arnav tersenyum kecil. “Lo bisa langsung masuk, duduk di bagian kanan lapangan aja, soalnya tim gue tempatnya di bagian kanan juga.”

“Oh begitu, oke kak Makasih banyak ya,” ujar Alice menganggukkan kepalanya. “Btw, kakak mau ke mana? Bukannya bentar lagi udah mulai ya turnamennya?”

“Gue mau cari angin aja sih, soalnya pengap banget di dalam,” jawab Kak Arnav. “Kalau gitu gue duluan ya.”

“Iya kak, silahkan.” Arnav pun melangkah pergi, Alice tentu saja berbalik memperhatikan Arnav yang perlahan menghilang dari penglihatannya.

“Cie cie yang ngobrol sama Kak Arnav.”

Alice tersentak kaget saat melihat Rilla keluar dari tembok pembatas sambil tersenyum jahil. Rilla berjalan mendekati Alice yang terlihat sangat kaget seperti orang ketahuan melakukan perbuatan yang aneh-aneh.

“Apaan sih! Orang cuman ngobrol dikit,” ujar Alice berlagak malu. Pipinya pun terlihat memerah.

“Tapi bagus Lice, ada kemajuan buat hubungan lo sama kak Arnav. Lo tuh harusnya gerak cepat dong jangan dipendam aja,” kata Rilla seraya merangkul Alice dan berjalan masuk ke dalam.

“Gue cuman kagum Rila, bukan suka buat apa gue kejar.” Alice memutar matanya jengah.

Denial aja terus, denial aja sampai kak Arnav punya cewek mampus lo,” ucap Rilla sengaja agar menggoyahkan ego Alice.

“Jangan gitu dong Ril, gue belum siap,” sahut Alice cemberut.

“Ya lagian, gue greget banget liatnya.” Lalu Rilla mengajak Alice di tribune urutan kedua agar temannya itu dapat mendapat foto yang jelas.

“Rilla gue bakal mengakui perasaan gue, kalau gue udah jatuh cinta pada sosok kak Arnav,” ujar Alice penuh keseriusan.

“Sebagai temen lo, gue cuman bisa support. Semangat ya!” ucap Rilla sambil menepuk- nepuk pundak Alice.

Pertandingan turnamen sudah dimulai Alice terus memperhatikan gerak-gerik Arnav yang sangat lincah dan gesit menendang, membawa dan mengoper bola. Jersey futsal Arnav sudah terlihat basah oleh keringat, Alice lihat nafas Arnav pun mulai tidak stabil karena larinya cowok itu sangatlah cepat, bahkan mereka saling senggol satu sama lain.

Beberapa menit setelahnya, tim Arnav berhasil mencetak gol. Arnav menolehkan kepalanya pada Alice dan memberikan senyumnya sambil mengangkat jemari jempol.

Alice terkejut, ia sebenarnya tidak ingin terlalu percaya diri tapi tatapan kak Arnav sepertinya memang benar-benar mengarah kepadanya. Agar perasaannya terjaga, ia pun menolehkan kepalanya ke belakang mencari sosok lain yang mungkin Arnav tuju. Namun, tidak ada tanda-tanda jika ada sosok yang menjadi perhatian Arnav.

Alice membeku, bibirnya kelu untuk bereaksi, spontan tangannya terangkat untuk melambaikan tangan dan juga memberi balasan jemari jempol pada Arnav.

“Lice, Alice! Itu kak Arnav senyum ke lo kan?” Rilla juga menyadari itu, ia bereaksi heboh.

“Kayaknya iya Ril, tapi gue ragu,” ujar Alice tak menampik rasa senangnya.

“Alah! Itu fix buat lo!” ujar Rilla membantah.

Setelah pertandingan selesai dengan penuh semangat Rilla menyuruh Alice untuk berfoto berdua dengan Arnav yang berhasil memenangkan turnamen bersama dengan timnya.

“Gak usah malu Lice! Ini kesempatan gak bakal datang dua kali!” ujar Rilla menggebu-gebu sambil menarik tangan Alice dan membelah kerumunan.

“Rilla! Demi apa pun, gue gak mau! Gue malu banget sumpah!” Alice terus memberontak dan tak ingin menuruti kemauan Rilla.

“Gak! Pokoknya harus foto, gue gemes banget lihatnya.”

Mereka sampai di samping Arnav yang sedang berbincang dengan temannya. Sontak kedua orang itu menoleh secara bersamaan.

“Woi kak! Temen gue mau foto,” ujar Rilla to the point lalu menarik Alice dan sedikit mendorongnya agar mendekat pada Arnav.

“Eh, santai dong.” Arnav menahan bahu  Alice yang terhuyung karena dorongan Rilla.
Rilla tersenyum kecil, ia berhasil membuat Arnav dan Alice sangat dekat, bahkan Arnav merangkul Alice.

“Kak, minggir dulu. Gue mau foto mereka,” ucap Rilla mengusir teman Arnav. Rilla sudah menyiapkan ponselnya dari tadi dan mengarahkan kamera pada Arnav dan Alice.

Arnav dan Alice pun membenarkan posisi mereka, tangan Arnav masih merangkul bahu Alice dan tersenyum. Alice mendongak sebentar untuk melihat Arnav, kemudian ia juga tersenyum.

*****

Setelah kejadian di mana Alice dan Arnav untuk pertama kalinya berbicara dan juga foto bersama. Alice jadi lebih sering berada di tepi lapangan untuk menonton Arnav bermain futsal atau basket. Arnav yang tahu keberadaan Alice pun lebih sering menyapa, entah itu melambaikan tangannya atau tersenyum pada Alice. Mereka juga kadang bertemu di kantin dan mengobrol satu sama lain.

Hingga pada akhirnya Alice yang selalu didorong oleh Rilla atas perasaannya, Alice pun memberanikan diri untuk berbicara jujur perihal dirinya yang suka pada Arnav. Alice akui, ia bukan lagi menjadi seorang pengagum tetapi ia adalah penyuka dari seorang Arnav, bahkan sudah jatuh cinta.

“Kak boleh nggak kita bicara berdua sebentar?” Alice mendatangi Arnav yang sedang beristirahat di tepi lapangan sembari meminum air mineralnya.

Arnav mendongakkan kepalanya menatap Alice yang berdiri, ia melirik teman-temannya yang senyum-senyum sambil menyenggol betisnya dengan kaki.

“Boleh, boleh mau di mana?” tanya Arnav sembari beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Alice.

“Di Gazebo sana aja deh Kak.” Alice menunjuk sebuah Gazebo yang sering ia pakai untuk duduk memperhatikan Arnav.

Alice dan Arnav pun berjalan keluar dari lapangan menuju Gazebo yang ditunjuk oleh Alice mereka duduk berdampingan dan keheningan melanda mereka dalam beberapa detik.

“Jadi, apa yang mau lo omongin Lice?” tanya Arnav seraya menoleh dan menaikkan sebelah alisnya.

Alice menarik nafasnya sejenak lalu menghembuskannya dengan pelan, ia memantapkan hati dan menatap Arnav dengan serius.

“Kak, gue tau kalau ini tindakan yang paling berani dan berisiko. Gue mau confes sama lo kak, gue gak berharap balasan apapun dari lo,” ucap Alice penuh percaya diri.

Arnav terlihat terkejut namun ia tidak bereaksi lebih, ia menunggu Alice selesai berbicara lebih dulu.

“2 tahun gue tahan perasaan ini kak, awalnya gue denial karena gue selalu bilang gue cuman kagum tapi semakin lama, gue jadi suka dan jatuh cinta. Kak Arnav, gue suka sama lo.” Alice menampilkan senyum manis dan tulusnya.

Arnav mengerjapkan matanya dan berdeham kikuk. Jujur ia terkejut dengan pengakuan Alice yang tiba-tiba ini.

“Sebelumnya, makasih banyak Lice karena udah suka sama gue. Gue bener-bener gak tau mau bilang apa, tapi maaf banget Lice gue gak bisa balas perasaan lo,” ucap Arnav penuh hati-hati.

Alice sudah menduga hal ini, ia berusaha keras mempertahankan senyumnya. “Gakpapa kak, tapi apa boleh gue terus suka sama lo?” tanya Alice.

Arnav tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya. “Gue izinin Lice, karena gue gak bisa ngatur perasaan orang lain. Tapi gue harap lo tetap jaga batasan ya, karena gue udah punya pacar.”

Kalimat terakhir yang diucapkan Arnav membuat Alice terkejut, secara tidak sadar Alice dengan tidak tahu malu mengakui perasaan pada pacar orang lain. Sampai di sini, Alice tau jika ia harus mundur dan tidak mengharapkan apapun lagi. Siang itu menjadi kenangan yang melegakan dan menyakitkan untuk Alice, ia senang karena bisa mengutarakan perasaannya dan merasa sakit atas penolakan yang jelas-jelas sudah di duganya.

Beberapa hari setelah confes itu, Alice memutuskan untuk refreshing dengan Rilla ke tepian kota. Di mana, tempat itu menjadi tempat refreshing terbaik.

“Udah gak usah galau lagi Lice, banyak cowok-cowok ganteng di sekolah,” ujar Rilla berusaha menghibur Alice yang murung beberapa hari ke belakang.

“Iyaa, iyaa. Gue masih ke bawa suasana aja Ril, gue gakpapa kok,” ujar Alice menunjukkan senyumnya pada Rilla.

Satu hal yang tak terduga mereka temui dan membuat Alice merasa menyesal ke tepian kota. Di sana, tepatnya pada trotoar seberang terlihat Arnav bersama seorang perempuan yang Alice kenali. Senyum manis Arnav sangat terlihat jelas, tangan Arnav juga menggandeng tangan perempuan itu dengan mesra.

“Alice…” Rilla juga menyadari itu ketika Alice menghentikan langkahnya. Rilla menoleh pada Alice, ia lihat temannya itu menangis sembari tersenyum.

“Gue tau Ril, menyukai itu gak berarti selalu memiliki. Gue bahagia kalau kak Arnav juga bahagia,” ucap Alice lirih lantas menundukkan kepalanya dan terisak pelan.

Pada akhirnya, Alice tau jika semua adalah kesalahpaham perasaan. Alice sudah menyadari itu sejak lama. Saat Arnav tournamen, cowok itu tidak tersenyum dan memberikan jempol padanya tetapi pada wanita itu. Arnav juga bukan melambaikan tangan dan tersenyum padanya saat di gazebo melainkan pada wanita itu yang juga selalu berdiri di dekat gazebo. Alice tau semuanya tetapi tetap nekat untuk mengutarakan perasaan.

*****

Alice tersenyum senang seraya menggenggam tangan laki-laki yang berjalan di sampingnya. Mereka berada di tepian kota untuk menikmati pemandangan langit saat senja nanti. Sudah hampir satu setengah tahun setelah kejadian tak terlupakan itu terjadi, sekarang Alice akan menginjak kelas 12 dan Arnav sebentar lagi akan lulus sekolah.

“Ice, mau beli permen kapas gak? Itu ada yang jual.” Ravindra, cowok berkacamata namun berkharisma ini berhasil mengobati perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Arnav.

Alice bertemu dengan Ravindra saat berada di perpus sekolah, Ravindra tak sengaja memergoki Alice menangis pojokan. Tanpa ragu, Ravindra mendekat dan memberikan sapu tangannya pada Alice.

“Gak deh, nanti berat badanku nambah karena makan manis mulu,” tolak Alice mengerucutkan bibirnya.

“Loh, malah bagus lagi. Soalnya pipi kamu kelihatan kurus, aku maunya pipi kamu chubby biar bisa di uyel-uyel,” ujar Ravindra kemudian menarik Alice menghampiri penjual permen kapas.

“Kamu nih, ceweknya lagi kurangin makanan manis malah di paksa makan yang manis.” Alice mengerutkan keningnya kesal.

“Bentuknya lucu lo Ice, yakin gak mau?” Ravindra menyodorkan permen kapas berbentuk kepala beruang itu di hadapan Alice.

“Kalau lucu gini, aku gak bisa nolak,” jawab Alice seraya mengambil permen kapas itu dari tangan Ravindra.

“Ck, gemes banget sih.” Ravindra mengulum bibirnya berusaha menahan rasa gemas agar tidak mencubit pipi Alice.

Alice terkekeh kecil lalu menggandeng tangan Ravindra, mereka kembali berjalan berdampingan menyebrangi jalan menuju tepian di bagian kanan. Alice dan Ravindra duduk di bangku yang berada di bawah pohon rindang.

Alice menyandarkan kepalanya pada pundak Ravindra sembari memakan permen kapasnya. Langit senja mulai terlihat, mata mereka fokus memperhatikan keindahan alam itu tanpa mengabadikannya dengan kamera ponsel.

“Avin, makasih banyak ya,” celetuk Alice dengan suara lirih.

“Makasih untuk apa Ice?” tanya Ravindra tersenyum kecil.

“Untuk semuanya, dari penyembuh luka sampai pembuat kenangan indah. Aku gak bakal lupain itu,” jawab Alice lalu menegakkan tubuhnya dan menatap Ravindra.

“Kalau hari itu Avin gak samperin aku, mungkin sampai sekarang aku masih gamon. Tapi, syukurnya Avin datang terus bikin aku move on maksimal,” ujar Alice tersenyum lebar.

Tangan Ravindra terulur untuk mengusap kepala Alice dengan lembut. Senyumnya juga mengembang lebar mendengar pengakuan tiba-tiba dari Alice.

“Gak perlu berterima kasih, karena aku tau buat lupain seseorang itu susah. Dan hebatnya kamu berhasil lakuin itu, mungkin orang itu masih ada tempat di hati kamu, tapi aku percaya kalau sekarang aku berada di tempat yang paling luas dihati kamu,” ucap Ravindra menatap lekat pada mata Alice.

Alice terkekeh lucu, matanya terasa panas ingin menangis tapi ia tahan dengan kuat. “Ruang kosongnya udah penuh sama Avin kok, dia cuma ada di bagian kecil. Jadi jangan khawatir karena Avin udah ambil semua perasaan aku,” ujar Alice seraya memegang tangan Ravindra.

Dan hal tak terduga terjadi lagi, saat senja itu menunjukkan keindahannya. Alice dan Ravindra bertemu dengan Arnav yang menyendiri sambil memandangi langit dengan tatapan terluka.

Arnav menyadari itu dan sontak menoleh, raut wajahnya terlihat terkejut namun berhasil di kendalikan. Alice tersenyum pada Arnav lalu memeluk lengan Ravindra dan melangkah pergi dari sana, meninggalkan Arnav sendirian tanpa ada sapaan.

Perasaan itu abstrak, kita tidak menebaknya secara gamblang. Perasaan sering kali berubah, bahkan perlakuan kecil saja bisa menimbulkan efek luar biasa untuk perasaan. Dan perasaan juga tidak bisa di kendalikan, kita maupun orang lain tidak bisa melarangnya untuk jatuh kepada siapa pemilik rasa.

Jika sudah tau semua tindakan itu sia-sia, jangan menyesal karena telah mencobanya. Tanpa itu, kita tidak akan tau bagaimana hasil akhirnya.

Terima kasih atas segala perasaan yang dulu pernah ada untuk kamu orang yang ku kagumi. Sendu tak selalu berarti luka, ia juga mengisyratkan bahagia. Kepadamu dulu aku jatuh cinta, namun sekarang aku tak lagi jatuh melainkan menerima cinta.

Atas rasa, terima kasih.

 

Penulis: Raysa Nazwa Putri