LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Memangnya, Harus Cantik?

Cantik itu luka, kalau gak cantik gak ada yang suka. Kalimat itu menjadi sebuah cerminan atas ketidakpercayaan diri seorang Arunika, anak SMA kelas XI dengan paras seperti wanita umumnya, namun tak secantik primadona sekolah.

Rasa insecure semakin menjadi-jadi ketika Arunika mengalami hal yang selama ini ia baca dan saksikan di sosial media mengenai ‘Kamu cantik, pasti akan dihargai.’

Awalnya Arunika tidak mempercayai itu, karena baginya cantik itu bukan suatu pengaruh besar. Karena menghargai seseorang itu adalah sikap dasar yang tak boleh dilewatkan. Jadi, bentuk cantik seperti apa yang diterima oleh khalayak umum?

Rencananya hari ini Arunika ingin mengkonfirmasi kepada guru BK bahwa ia akan mengikuti pemilihan Duta SMA yang akan dilaksanakan dalam beberapa minggu lagi. Kakinya terus melangkah menyusuri koridor sekolah dengan senyum ramah yang selalu ia tebar.

Arunika hanya seorang perempuan biasa dengan ciri khasnya sendiri, gingsul, rambut bergelombang, pembawaannya yang unik dan ramah pada semua orang. Biasanya Arunika dipanggil gesul alias gelombang gingsul, oleh teman-temannya. Ia tidak marah, karena itu panggilan istimewa menurutnya.

Arunika bisa bersosialisasi dengan baik karena kemampuan dan public speakingnya sangat bagus, pembawaan Arunika juga menyenangkan hingga membuat orang betah untuk menhobrol lama. Namun karena fisiknya yang terlihat kurang di mata orang lain, Arunika dianggap menang pada sikap dan perilaku namun nol besar untuk dibilang cantik. Padahal Arunika telah melakukan serangkaian pemakain skincare untuk merawat wajah dan tubuhnya.

Karena Arunika sering mendapat sebuah ungkapan seperti, “Coba aja lo cantik, pasti nilai lo bertambah.”

Ungkapan seperti itu sudah menjadi makanan Arunika sehari-hari, jadi ia cukup terbiasa mendengarnya.

“Oi Sul!” Seruan dari Izay membuat Arunika berhenti dan berbalik.

Arunika menatap Izay—anak kelasnya yang berlari menghampiri. Arunika menaikkan sebelah alis, menatap laki-laki yang sudah berdiri di depannya.

“Apa?” tanya Arunika heran.

“Gakpapa sih, gue gak sengaja lihat lo jadi gue panggil,” ujar Izay cengengesan.

“Ck, gue kira ada apa.” Arunika menghela nafas pelan. “Dah ya, gue mau ke ruang BK,” pamitnya lalu berjalan kembali tak memperdulikan Izay.

“Eh, mau ngapain?” Izay bertanya sembari mengikuti langkah Arunika.

“Gue mau konfirmasi kalau gue ikut Pemilihan Duta SMA,” jawab Arunika sambil menyelipkan rambutnya disela telinga.

“Hah? Yakin lo?” tanya Izay dengan tatapan tak percaya, seolah meremehkan.

Arunika mendengus pelan, ia sudah tahu jika respon seperti itu akan keluar. “Yakin lah, emang kenapa?”

“Duta kan harus cantik, emang lo se-pede itu?” tanya Izay lagi, bahkan dengan kekehan kecil.

Tipe orang seperti ini yang Arunika tidak sukai, meremehkan hal yang ingin di lakukan oleh orang lain hanya karena dia berpikir bahwa orang tersebut tak akan mampu melakukannya.

“Gue emang pede, masalah buat lo?” Arunika bertanya balik dengan nada sinis. “Jadi duta tuh gak perlu cantik, yang penting otak, sikap dan perilaku yang baik. Gak melulu soal paras, tapi kecerdasan.”

Arunika segera berjalan cepat meninggalkan Izay yang terdiam dan berhenti mengikuti, hatinya bergemuruh marah. Memang bentuk cantik seperti apa yang menjadi standar perempuan?

Tiba di ruang BK, Arunika melihat sebuah sepatu siswa lain. Arunika pun mengetuk pintu dan masuk ke dalam saat di persilahkan, ternyata ada Zeya. Ruang BK sekolahnya ini sangat nyaman karena konsepnya seperti tempat nongkrong, tidak ada meja guru hanya meja kecil yang berada di tengah.

“Arun, kenapa nak?” tanya ibu Irma menatap Arunika dengan tatap lembut setelah anak muridnya itu duduk.

Arunika melirik Zeya, sang primadona sekolah yang menjadi incaran dan pembicaraan para muri laki-laki di sekolah ini. Parasnya sangat cantik, seperti selebgram-selebgram.

“Saya mau konfirmasi bu, kalau saya ikut Pemilihan Duta SMA,” tutur Arunika dengan senyum ramah.

“Masyaallah, hebat kamu Arunika!” Bu Irma mengapresiasi keberanian Arunika mengikuti Pemilihan Duta SMA Nasional. “Kebetulan sekali, Zeya juga ikut nak. Kalian bisa nih saling bantu dan berbagi informasi,” ucapnya.

“Oh?” Arunika menoleh pada Zeya, ia memperhatikan primadona itu dengan seksama. Perasaan mindernya mulai meluap, namun berusaha ia tutupi dengan senyum. “Udah daftar Ze?” tanyanya.

Zeya menganggukkan kepalanya sambil bersedekap dada. “Belum, ini sekalian lengkapin persyaratan.”

“Setelah ini ibu bantu lengkapin persyaratan yang dari sekolah, kalian siapin aja persyaratan pribadinya,” ujar ibu Irma.

Arunika dan Zeya mengangguk paham, usai salim dengan bu Irma mereka pun keluar dari ruang BK.  Arunika melirik Zeya duduk disampingnya sambil memasang sepatu.

“Ternyata lo percaya diri banget ya,” celetuk Zeya dengan nada suara remeh. “Kalau gue jadi lo sih bakal mundur, soalnya udah kalah saing.”

Usai mengucapkan kalimat provokatif itu, Zeya beranjak meninggalkan Arunika yang terdiam. Arunika tahu betul perihal itu, Zeya sang primadona sekolah pastinya mempunyai pendukung tersendiri. Zeya juga sangat aktif sebagai anggota cheerleader, apalagi parasnya yang sangat cantik.

Aruni sangat menyadari itu, maka dari itu ia rela mengikuti banyak seminar, pelatihan dan berbagai macam kegiatan diluar sekolah, sedangkan di sekolah ia hanya masuk di PIK-R. Walaupun begitu, ia menjadi percaya diri dan bertekad karena teman-teman di organisasinya memberikan semangat dan dukungan penuh padanya.

“Percuma aja sih cantik, kalau sikapnya kayak gitu,” gumam Arunika dengan helaan nafas kecil.

 

***

 

“Kamu kenapa, hm?”

Arunika tersentak ketika sang pacar menyentuh tangannya dengan raut wajah bingung. Arunika memandang Edgar sejenak lalu memberinya senyum kecil.

“Gakpapa kak,” jawab Arunika menolak untuk bercerita.

Edgar menggeser laptopnya ke samping, lalu menopang dagu memandang gadisnya yang nampak murung sejak tadi.

“Cerita yuk, aku dengerin. Kalau dipendam gak akan dapat solusi,” ujar Edgar lembut.

Arunika menghela nafasnya, ia masih memandangi Edgar dengan lekat. Cowok di depannya ini adalah mahasiswa semester 3 yang merupakan teman abangnya. Dan sekarang sudah berganti status menjadi kekasihnya.

“Cantik itu yang kayak apa sih? Standar apa yang perlu dipenuhi seorang perempuan biar dibilang cantik oleh orang-orang?” tanya Arunika mulai mengeluarkan isi hatinya. “Apa dari cuman dari rupa wajah?”

Edgar tersenyum tipis, ia sangat paham betul dengan kegundahan Arunikah perihal kata cantik ini. Tidak hanya Arunika, mungkin sebagian besar wanita juga berpikir seperti itu.

“Cantik itu dari segala hal, gak cuman memandang dari rupa wajah, warna kulit atau hal-hal yang mengharuskan seorang perempuan untuk memenuhi standar orang lain. Cantik itu ketika kamu bisa percaya dan mencintai diri sendiri, kamu bisa menonjolkan karakter diri dan mematahkan standar orang lain,” ujar Edgar seraya menarik tangan Arunika untuk digenggamnya.

“Cantik itu bisa terlihat dari sikap, perilaku dan pembawaan kamu terhadap orang-orang. Gak segalanya perihal rupa wajah, karena menurutku semua perempuan itu cantik dengan karakternya masing-masing.”

“Aku daftar duta bareng sama primadona sekolah,” ucap Arunika menundukkan kepalanya. “Dia memprovokasi aku supaya mundur.”

“Terus, kamu mau mundur gitu?” tanya Edgar menaikkan sebelah alisnya.

“Iya,” jawab Arunika membuat Edgar membelalakkan matanya terkejut. “Mundur ke belakang dia, terus aku dorong sampai nyungsep. Enak aja nyuruh aku nyerah, emang dia siapa?” lanjut Arunika kesal.

Mendengar itu Edgar tertawa keras, ia menatap Arunika dengan tatapan tak percaya. Ia pikir Arunika benar-benar menyerah ternyata hanya bercanda. Kalau sampai benar terjadi, Edgar bakal memberinya nasehat sampai Arunika kembali mendapatkan kepercayaan dirinya.

“Walaupun primadona sekolah, tapi sikapnya enggak banget. Murid-murid di sekolah lihatnya dia cantik, baik hati dan tidak sombong padahal songong banget, gak mau tersaingi,” kata Arunika julid, ia benar-benar geram.

“Nah, ini baru Arunika si cantiknya Edgar. Duta kan udah jadi target kamu dari kelas sepuluh, susah payah kamu belajar, ikut seminar, pelatihan, kegiatan diluar sekolah, sampai organisasi disekolah. Waktu yang kamu lewatin itu gak sebentar dan mengorbankan banyak hal, tapi itu semua sangat bermanfaat untuk perkembangam diri dan sosial kamu,” ujar Edgar menatap bangga pada Arunika.

“Aku takut kalau gak bisa mencapai target itu,” kata Arunika lirih. Kekhawatirannya mengenai ekspetasi sangatlah besar.

“Maka dari itu, turunin ekspetasi yang ada dalam pikiran kamu. Kasihan lo kamunya yang terus-terusan ngejar eskpetasi buat menuhin keinginan yang ada dipikiran kamu,” sahut Edgar seraya mengusap kepala Arunika.

Selama bersekolah, Arunika sangat mengejar yang namanya prestasi. Entah itu akademik maupun non-akademik, hal itu bukan suatu paksaan dari orang tua melainka keinginannya semdiri yang sudh memiliki target untuk menambh value diri.

Arunika senang menjalani kegiatan tersebut, jadi ia bisa enjoy dan tidak stress karena Arunika juga pintar membagi waktu. Ada waktu belajar dan juga waktu istirahat, keduanya seimbang.

“Udah tenang?” tanya Edgar memandang Arunika lekat.

Arunika mengangguk dengan senyum lebarnya, kemudian ia mengeluarkan buku-buku dari dalam tasnya untuk belajar bahasa inggris karena salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk poin tambahan.

 

****

 

Berita perihal Arunika dan Zeya yang mengikuti Duta SMA Nasional telah beredar ke seluruh warga sekolah. Mereka dengan sendirinya membentuk kubu idola masing-masing yang hampir sebagian besar adalah pendukung garis keras Zeya.

Arunika tidak mempermasalahkan itu, pendukung bukanlah persyaratan yang harus dimiliki sebagai seorang duta. Arunika sudah sangat bersyukur atas dukungan dari orang tua, pacar dan teman dekatnya.

Namun, hal yang ia alami di sekolah saat ini berhasil membuatnya merasa sakit hati. Sekolahnya mengapresiasi mereka dengan memberi dukungan dalam bentuk banner, spanduk dan pamlet yang berisi kata semangat dan foto mereka.

Tetapi dari banner, spanduk dan pamlet hanya punya Zeya yang berukuran besar dan terpajang jelas mulai dari gerbang, mading hingga dinding sekolah. Sedangkan milik Arunika, berukuran kecil dan disandingkan dengan milik Zeya jelas kalah jauh.

Arunika memotret perbedaan yang sangat ketara itu dengan ponsel miliknya, sebagai bukti dan kenang-kenangan bahwa tidak hanya anak kelasnya yang meremehkan dan pilih kasih, tapi sekolah pun juga melakukan hal itu.

Selama satu minggu ini Arunika lebih mendapat banyak kata ungkapan dan pertanyaan seperti, ‘Lo yakin ikut Duta?’, ‘Terlalu pede lo, lihat saingan’, ‘Kalah jauh sama Zeya, mending mundur deh’. Kalimat itu terus Arunika dapatkan, sampai saat ini di kelas pun membahas hal itu. Lingkungan yang toxic sangat berpengaruh untuk kesehatan mentalnya, jika sudah terjebak berusahalah untuk menarik diri dari lingkaran tersebut.

“Gesul, lo gak minder apa saingan sama Zeya? Primadona sekolah coi,” ujar Dio yang duduk di atas meja Arunika.

“Dia cantik banget Sul, lo benar-benae nekat.” Izay menimpali.

“Bener tuh Run, gue kalau jadi lo gak bakal ikut sih. Kebanting,” sahut Caca.

Arunika menghela nafas panjang, rasa geramnya sudah tak bisa ditahan karena anak kelasnya ada dikubu Zeya, otomatis akan mencoba untuk membuatnya mundur.

“Emang Duta harus cantik? Harus jadi primadona sekolah dulu?” tanya Arunika geram. “Dipersyaratan Duta SMA gak ada tertulis kalau peserta wajib cantik dan menjadi primadona sekolah. Yang diperlukan itu, skill dalam diri yang menuhi standar persyaratan.”

“Emang definisi cantik menurut otak-otak lo ini gimana sih? Coba kasih tau gue deh,” ujar Arunika meninggi membuat semua atensi beralih padanya. “Jangan bikin seolah-olah gue ini teramat jelek dan gak pantes bersaing sama orang yang paling cantik.”

Usai mengucapkan kalimat itu, Arunika beranjak dan keluar dari kelas. Ia sangat sakit hati dengan perkataan mereka, susah payah ia membangun rasa percaya diri tetapi dengan gampangnya mereka menjatuhkan.

Arunika memilih berdiam diri di sekre dan mengadu pada kakak kelasnya diorganisasi, mengadu bukan untuk mengadu domba tetapi ingin melegakan isi hati.

“Mereka ngomong kayak gitu karena mereka gak mampu buat bersaing, mereka gak punya kepercayaan atas diri sendiri,” ucap Jenaya seraya mengusap air mata Arunika.

“Kamu cantik Arunika, kamu cantik jadi diri kamu sendiri.  Keindahan fisik itu akan mengikuti bagaimana sikap dan perilaku kamu.”

Arunika mengangguk paham, ia berusaha menghentikan tangisnya dan juga merasa malu karena dilihat oleh teman-temanya yang lain.

“Semangat Arunika! Cantik gak menjadi penilaian paling utama,” ujar Cecep dengan tangan mengepal.

“Tenang Run, kita jadi pendukung lo garis keras!” Timpal Aje menggebu-gebu.

Satu yang disyukuri Arunika, memilik teman organisasi yang baik dan saling mendukung tanpa berusaha menjatuhkan.

“Makasih semuanya, lopyu poreper,” ucap Arunika dengan nada suara lebay.

Mereka semua tertawa dan membalas ungkapan Arunika. Dengan kebersamaan ini, Arunika akan membuktikan bahwasanya cantik bukan merupakan hal yang perlu dikejar.

 

***

 

Arunika dan Zeya berhasil lolos pada seleksi administratif, saat wawancara dan seleksi lainnya mereka berdua juga lolos, namun ketika seleksi karya tulis Zeya harus berbesar hati karena dinyatakan gugur dan Arunika melanjutkan perjuangannya.

Saat itu Zeya mengatakan hal cukup menyakitkan pada Arunika.

“Gue gakpapa kalau gugur, semua orang tetap bakal suka karena gue cantik. Kalau lo yang gugur, lo pasti bakal di bully habis-habisan karena muka lo gak cantik, cuman modal nekat,” ucap Zeya dengan dagu terangkat dan tatapan sombongnya.

Tetapi Arunika mengetahui bahwa Zeya menjadi pembicaraan hangat seantero sekolah karena tidak lolos, mereka mempertanyakan hal apa yang kurang hingga primadona sekolah itu gugur dan kalah bersaing dengan Arunika. Dan semua itu terjawab ketika Arunika muncul di youtube sebagai sebuah cuplikan dari kegiatan mereka selama karantina, Arunika berbicara dengan lancar dan lantang tanpa hambatan apapun, menceritakan, menjawab pertanyaan dan membagi pengalamannya

Membuktikan bahwa kualitas diri tidak hanya dilihat dari keindahan wajah, karena keindahan tersebut akan mengikuti jika sikap, perilaku dan pembawaan diri yang baik.

Malam puncak pemilihan Duta SMA menjadi malam yang ditunggu-tunggu. Dari nominal awal hingga babak seleksi akhir, tersisa 20 peserta perwakilan setiap kota yang lolos dan sampai di puncak pemilihan.

Di tempat duduk, Arunika mengenggam tangannya sendiri dengan kuat. Jantungnya berdetak lebih cepat dengan perasan gugup yang melingkupi, mereka sedang menanti-nanti MC membacakan nama yang terpilih menjadi Duta SMA.

“Selamat kepada Pandhu Danedra dari SMAN Rajawali dan Arunika Shafina dari SMAN Antariksa, sebagai Duta SMA tahun 2025!”

Arunika menutup mulutnya tak percaya, namanya disebut sebagai Duta SMA. Teman sesama dutanya telah heboh di samping kanan dan kiri, menyerukan teriakan apresiasi dan ucapan selamat padanya.

Dengan perasaan senang dan terharu yang membuncah, Arunika dan Pandhu berjalan beriringan menaiki panggung untuk menerima penghargaan.

Teringat oleh stigma mengenai kata cantik, Arunika ingin memberikan speech untuk hal tersebut. Karena problem yang banyak ia dapati pada anak SMA sekarang ialah ketidakpercayaan diri atas fisik yang menurut orang lain tidak cantik alias biasa aja. Dan itu membuat mereka terjebak dalam persepsi ‘Cantik dulu baru dihargai’

Para perempuan telah bersusah payah untuk memenuhi standar cantik di khalayak umum, melakukam rangkaian perawatan wajah, perawatan badan, diet dan menjaga bentuk tubuh. Namun, standar cantik itu terus berubah-ubah.

“Untuk melewati dan bertahan dari berbagai masalah yang saya hadapi, saya berjuang dengan keras dan meningkatkan rasa percaya dalam diri bahwa saya mampu untuk menjadi yang terbaik. Dan saya sebagai seorang perempuan menekankan bahwa, tidak harus menjadi cantik untuk dihargai. Kelebihan kita bukan hanya sebatas fisik, melainkan kecerdasan, ambisi dan bakat yang membentuk kita menjadi seseorang yang berpengaruh untuk orang lain.”

“Dan tidak harus ganteng agar bisa dilirik perempuan. Karena dengan kita menghargai dan mencintai diri sendiri, kecantikan dan kegantengan itu akan mengikuti kita,” tambah Pandhu juga menyuarakan ketidak percayaan diri laki-laki.

Arunika menoleh pada Pandhu, ia menyunggingkan senyum lebar. Laki-laki juga sama dengan perempuan, mereka memiliki insecure dalam diri.

“Kesimpulannya, kalian harus mengasah dan mengembangkan kemampuan dalam diri karena itu menjadi bekal penting untuk masa depan. Dan juga, keindahan fisiknya akan mengikuti ketika kita mampu mencintai diri sendiri,” ucap Arunika menutup pidatonya dengan senyum bangga.

Semua berseru dan bertepuk tangan dengan meriah, bangga dengan kalimat yang filontarkan oleh Duta SMA.

Cantik bukanlah menjadi sebuah tolak ukur untuk menentukan kualitas dan potensi diri seorang perempuan. Definisi cantik menurut persepsi orang-orang memiliki perbedaan, sebagai seorang perempuan yang juga mungkin tidak tahu makna cantik akan terkecoh dengan standar yang dibuat orang lain.

Kecantikan bukan menjadi persyaratan untuk mencapai suatu hal yang diinginkan, jangan sampai kita terikat dengan standar kecantikan yang sempit. Ya walaupun di kehidupan nyata kita akan mengalami yang namanya ketidakadilan perihal fisik, namun semua dapat dipatahkan oleh kemampuan diri.

Jadi, jangan biarkan pandangan negatif tentang penampilan menjadi penghalang untuk potensi dan kebahagiaan hidup kita.

 

Penulis: Raysa Nazwa Putri