Dalam kesunyian malam berteman suara gemerisik dedaunan, Aisha menatap langit berbintang. Hatinya berkecamuk, seakan setiap bintang mewakili serpihan kenangan yang pernah ada. Zain telah kembali ke dalam hidupnya dengan segala penyesalan dan segala harapan, berdiri di ambang pintu masa lalu yang pernah mereka tutup bersama.
Aisha teringat akan janji yang pernah dia ucapkan. Janji kepada Zara yang kini telah tiada, dan janji pada kedua orang tuanya yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Dia tahu, cinta bukanlah sekadar perasaan yang datang dan pergi, melainkan komitmen yang harus ditepati.
Zain mengumpulkan keberanian untuk mengatakan ini dari hatinya. “Aisha, aku tahu aku telah menyakitimu. Aku tahu aku tak pernah melihat cinta yang selama ini kamu sembunyikan. Tapi percayalah, aku melihatnya sekarang dan aku ingin memperbaiki semua kesalahan.”
Aisha menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam memenuhi paru-parunya seolah memberinya kekuatan untuk menghadapi momen yang menentukan ini. “Zain,” katanya, suaranya bergetar, “Cinta yang kamu tawarkan mungkin bisa menyembuhkan luka, tapi bagaimana dengan luka yang kamu tinggalkan? Aku telah berjanji untuk menjaga mereka yang memberiku kehidupan dan aku tidak bisa mengingkari janji itu.” Zain mengerti.
Dia tahu bahwa cinta sejati tidak meminta untuk dipilih, tapi memahami dan menghormati. “Aku akan menunggu, Aisha. Sampai kamu siap, sampai hatimu memilihku, bukan karena kamu merasa terpaksa, tapi karena kamu merasakan apa yang aku rasakan.”
Kalimat terakhir yang diucapkan Zain terpatri dalam ingatannya, terbesit rasa yang dulu pernah ada. Pikiran itu terlintas di benaknya, dan di saat berikutnya kenangan masa lalu muncul ke permukaan, mengingat kembali rasa kecewa yang membalut hatinya.
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun hati Aisha masih berada dalam gejolak rasa yang membara. Hingga akhirnya tembok yang membendung rasanya yang tertahan runtuh. Aisha tak bisa hidup seperti ini.
Dalam keheningan malam yang gelap, Aisha sedang duduk sendirian di teras rumahnya. Hatinya bergejolak dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, dia bahagia melihat Zain kembali dalam hidupnya dan berusaha memperbaiki kesalahannya. Namun di sisi lain, dia merasa terikat dengan janji pada dirinya sendiri.
Dalam keheningan malam itu, Aisha merenungkan perjalanan cintanya yang rumit ini. Seperti kisah tragis yang menghiasi halaman-halaman novel, dia merasa takdir telah memberinya kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahannya dan menemukan kebahagiaan yang sejati.
Namun Aisha tidak bisa mengabaikan rasa tanggung jawabnya terhadap Ayah dan Ibunya. Mereka telah memberikan segalanya untuknya dan berkorban banyak hal demi kebahagiaannya. Dalam hati yang berdebar, Aisha memutuskan untuk berbicara dengan mereka.
Aisha memasuki kamar Ayah dan Ibunya dengan langkah hati-hati. Wajahnya menunjukkan kegelisahan dan kebingungan. Cahaya lampu malam yang redup menyinari wajah mereka yang penuh kasih. Dia duduk di depan mereka dan menatap kedua orang tuanya dengan penuh harap.
“Ayah, Ibu,” kata Aisha dengan suara lembut namun tegas, “Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Aku sangat membutuhkan nasehat dan restu kalian.”
Ayah dan ibu Aisha saling berpandangan, mencerminkan kekhawatiran dan kepedulian satu sama lain. Mereka mengangguk dan memberi isyarat agar Aisha melanjutkan.
“Dalam hidupku, aku telah menemui cinta sejati dalam sosok Zain. Meski ada kesalahan dan luka, aku merasa masih ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami. Namun, di saat yang sama, aku merasa terikat oleh janji-janji yang pernah aku buat pada kalian, Ayah, Ibu.”
Air mata mulai mengalir di pipi Aisha, mencerminkan kebingungan dan kegelisahan di hatinya. Dia melanjutkan, “Aku tidak ingin mengkhianati kalian atau melupakan semua pengorbanan yang telah kalian lakukan untukku. Tapi, aku juga takut kehilangan cinta sejatiku, Zain. Aku merasa bahwa ini adalah kesempatan kedua yang diberikan takdir kepadaku”
Ayah Aisha menatap putrinya dengan tatapan penuh kelembutan dan kepedulian yang mendalam. “Aisha,” katanya, suaranya bergetar karena emosi, “kamu adalah cahaya dalam hidup kami. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kami. Aku mengerti bahwa kamu telah menemukan cinta sejati dalam diri Zain dan itu adalah anugerah yang tak ternilai.”
Ibu Aisha menggenggam tangan suaminya untuk memberi dukungan. Ayah Aisha melanjutkan, “Tapi, Nak, aku khawatir. Zain pernah menyakitimu dan aku takut hal itu akan terulang kembali. Aku ingin memastikan bahwa dia akan menjagamu dengan baik, tidak seperti dulu.”
Aisha menundukkan kepalanya, memahami kekhawatiran ayahnya. “Ayah, aku tahu risiko yang aku ambil. Tapi, aku juga percaya bahwa orang bisa berubah. Zain telah menunjukkan penyesalannya dan aku ingin memberinya kesempatan untuk membuktikan cintanya.”
Mereka terdiam, suasana menjadi tegang dengan pertimbangan yang belum terselesaikan. Akhirnya, ibu Aisha berbicara, “Kami percaya padamu, Aisha. Kami tahu kamu akan mengambil keputusan yang tepat. Dan jika hatimu mengatakan bahwa Zain adalah orangnya, maka kami akan mendukungmu.”
Ayah Aisha menghela napas seolah melepaskan beban yang telah lama dia pikul. “Baiklah,” katanya dengan suara yang berat, “jika ini yang kau inginkan, kami akan memberikan restu. Tapi ingat, Aisha, apa pun yang terjadi, kami selalu ada untukmu.”
Ibu Aisha menambahkan, “Kami tahu betapa besar cintamu kepada kami, tetapi kami tidak ingin kamu hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Zara pasti ingin kamu bahagia, begitu juga kami.”
Dengan air mata lega dan senyuman di wajahnya, Aisha memeluk orang tuanya. “Terima kasih, Ayah, Ibu. Cinta kalian adalah kekuatan terbesarku. Dalam keheningan malam itu, Aisha merasa seolah ada beban yang terangkat dari pundaknya.
Dalam jalan hidupnya yang baru, Aisha telah belajar untuk menghargai janji yang dia buat dan perasaan orang tuanya. Dia tumbuh bersama Zain dalam cinta, kesetiaan, dan pengertian serta menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan.
End.
***
Penulis: Raudatul Jannah
Redaktur: Hanida Riani