Oleh: M. Syuhada Rahman
Nelson Mandela pernah berkata, “Tidak ada seorang pun di negara ini yang kembali akan menjadi sebuah kelompok di bawah kelompok lainnya. Semoga Tuhan melindungi Afrika.” Dengan semangat inilah melalui Kongres Nasional Afrika atau ANC, pada 21 Maret 1960 Nelson Mandela menyuarakan isu diskriminasi ras yang kemudian menimbulkan kerusuhan antara kepolisian dan para demonstran di Sharpeville, Afrika Selatan.
Waktu itu para demonstran memprotes hukum yang rasis dan penuh dengan diskriminasi. 69 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Untuk mengenang hari itu, pada tahun 1966 Dewan Keamanan PBB menyatakan tanggal 21 Maret sebagai hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia untuk memperingati tragedi Sharpeville.
Sekitar 25 tahun kita memperingati hari penghapusan diskriminasi yang pada perkembangannya telah banyak disuarakan. Sebagai bukti, pada tahun 2001 dalam Konferensi Internasional mengenai rasisme di Durban, Afrika Selatan, kembali ditegaskan bahwa diskriminasi ras dan rasisme adalah masalah yang mendunia. Konferensi ini menuntut negara-negara di dunia untuk mewujudkan rencana aksi nasional melalui globalisasi.
Banyak negara yang masih menganggap tabu rasisme. Selain itu, rasisme juga dipengaruhi oleh pergerakan migrasi modern ke negara-negara yang lebih kaya, yang seharusnya menuntut masyarakat untuk mengembangkan suatu identitas yang baru, namun sepertinya belum juga membuahkan hasil.
Di Indonesia sendiri dalam menghadapi isu penghapusan diskriminasi rasial, pemerintahan era SBY-JK telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Di mana pada intinya pemerintah menjamin tidak akan terjadi diskriminasi.
Melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 pemerintah meminta setiap warga negara wajib membantu mencegah terjadinya diskriminasi ras dan etnis, serta setiap warga negara memberikan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada pihak yang berwenang jika mengetahui terjadinya diskriminasi ras dan etnis.