LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Bintang Tanpa Cahaya

“Tetes demi tetes air mata dan hujan menjadi saksi pilu perjuangan Aini, yang berusaha membanggakan orang tuanya meski harus membayar dengan kehilangan dan kesedihan.”

Tetes demi tetes air jatuh berirama yang disebabkan oleh langit. Tempat itu, tempat dimana seorang perempuan duduk terdiam mengeluarkan air mata, tempat yang ironisnya adalah tempat favoritnya. Ya, tetesan air saat ini tidak hanya berasal dari langit. Tetesan air berirama yang seharusnya membawa ketenangan hanya menambah kesedihan perempuan itu.

Aini, Aini Maulida adalah perempuan yang memiliki ambisi kuat akan hal yang membanggakan orang tuanya. Jika orang tuanya bilang, “Andai kamu bisa menjadi dokter nak.” Maka dia akan melakukan apa pun agar bisa menjadi seorang dokter. Apa pun harapan orang tuanya terhadap dirinya, dia akan berusaha mewujudkan harapan tersebut lalu dengan perasaan bangga memamerkannya.

Sayang, realitas dunia tidak semudah itu.

Pada masa SD, SMP, dan SMK, Aini selalu mendapatkan prestasi yang menakjubkan. Dia selalu bisa memenangkan lomba-lomba seperti cedas cermat, debat, dan puisi. Sekeras mungkin dia menaiki bukit prestasi agar membuat orang tuanya bangga.

Di umur 18 tahun, Aini lagi-lagi membuat orang tuanya bangga. Dia berhasil mendapatkan sebutan mahasiswa di Universitas Lambung Mangkurat. Tentu orang tua Aini bangga terhadap anaknya. Setelah adanya pengumuman biaya kuliah Aini, orang tua Aini kalang kabut karena melihat begitu besarnya biaya yang harus dibayar per semester. Menyadari ekonomi keluarganya tidak memungkinkan membiayai dirinya kuliah, Aini ingin mengundurkan diri.

“Pak, Aini batal ya kuliah? Aini mau kerja saja.”

“Aini, Bapak mengerti kamu khawatir Bapak dan Ibu tidak sanggup membayar biaya kuliah kamu. Tapi tenang saja, Bapak akan mengusahakan agar kamu bisa kuliah dengan lancar. Cari prestasi yang banyak ya nanti.” Rijani mengelus kepala anaknya.

Ibu Aini yang mendengar percakapan mereka termenung memejamkan matanya. Asih takut suaminya berbohong ke anaknya. Rijani memiliki penyakit jantung. Sudah semestinya Rijani tidak memaksakan dirinya bekerja terlalu keras. Aini tidak tahu tentang penyakit ayahnya, karena orang tua Aini tidak ingin menambah beban pikiran anaknya.

Selama menjadi mahasiswa baru Aini berambisi mendapatkan nilai yang tinggi di akhir semester. Dia mendambakan sekali reaksi orang tuanya terhadap kerja kerasnya di kuliah. Berbanding terbalik dengan ekspektasinya, dia mendapatkan dua kabar. Nilai yang dia dapat tidak terlalu tinggi dan dia menjadi anak yatim. Seperti dugaan Asih, suaminya berbohong.

*****

Aini mulai hilang semangat di kuliah. Dia menyalahkan dirinya sendiri dengan apa yang terjadi dengan Ayahnya. Dia sering telat, melamun, dan mengantuk saat kuliah. Teman-temannya juga bingung harus bagaimana agar Aini tidak murung lagi.

“Eh, Aini! Aku menemukan poster tentang lomba debat.” Teman Aini. Aini tertarik, di poster itu tertulis hadiahnya jutaan. Uang yang didapat dari lomba itu bisa dia jadikan tabungan untuk membayar biaya kuliahnya. Ditambah jika mendapatkan poin yang tinggi berkesempatan maju ke jenjang nasional. Itu adalah arang yang membuat Aini berapi lagi.

Tidak sulit bagi Aini untuk lolos di babak eliminasi. Di babak semifinal dia melawan teman SMP, awalnya Aini kesusahan menjawab pertanyaan dari sisi kontra, lalu secara licin dia berhasil membalikkan keadaan. Ronde tersebut adalah debat yang sangat menarik, karena kedua belah pihak merupakan kontestan debat yang hebat. Teman SMP Aini menangis setelah kalah darinya, Aini dengan senang hati mencoba menghibur temannya.

Di babak final Aini dengan mudah membungkam lawannya. Tidak sesulit di babak semifinal, Aini menjadi juara satu.

Tapi pupus hati. Aini tidak dimajukan ke jenjang nasional. Hanya satu orang yang dikirim, lawan Aini di babak final. Jelas Asih ibunya Aini protes. Namun Asih lupa, keputusan panitia bersifat mutlak. “Anak Anda memang hebat, tapi dia belum tentu memenuhi kriteria dari juri-juri yang menilai.” Panitia menjelaskan.

“Kamu mau tau kenapa aku kemarin menangis?” Teman SMP Aini menghampiri, “Karena kamu pantas mewakili provinsi kita. Aku yakin kamu bisa memenangkan debat di tingkat nasional, lalu menjadi pendebat yang terkenal. Aku menangis bukan karena kalah. Aku menangis karena semua yang kamu lakukan itu sia-sia, walau tidak seluruhnya. Orang yang kamu lawan di babak final adalah anak pejabat, yang sudah dari awal direncanakan menjadi wakil dari provinsi kita. Para juri juga sudah diberi suapan agar anak itu menjadi wakil provinsi.”

Aini membulatkan matanya. Bukan main, masa depannya direnggut begitu saja.

****

Juara satu di lomba debat tingkat provinsi bukanlah prestasi monoton. Aini menggunakan prestasi tersebut sebagai berkas pendaftaran beasiswa. Walaupun dengan rasa tidak percaya diri. Pengalaman. Anak pejabat pasti sudah mendapatkan posisi sebagai penerima beasiswa.

“Kamu harus percaya bisa diterima beasiswanya nak lupakan masa lalu, cari kesibukan lain dulu saja, uhuk.”

“Sudah Ibu istirahat, Aini pijitin.” Aini mengelus punggung Ibunya. Benar, tidak lama setelah Ayah Aini pergi, Asih jatuh sakit demam. Seramnya Asih sudah empat bulan demam. Tubuhnya lemas seakan menjadi lilin meleleh, tidak ada tenaga untuk berdiri. Aini sebagai anak hanya bisa merawat dan berdoa agar Ibunya sembuh.

Doa Aini terkabul, Ibunya tidak sakit-sakitan lagi. Sekarang Aini menjadi yatim piatu tepat sehari sebelum pengumuman bahwa dia mendapatkan beasiswa. Bingung, dia harus bagaimana? Bangga atau sedih. Membuka situs pengumuman beasiswa saja dia tanpa ekspresi walaupun tertulis, “Kami ucapkan selamat kepada Aini Maulida.” Aini sadar, dirinya terlalu naif. Semua usaha mengejar cita-cita itu tidak ada artinya.

Umur 22 tahun Aini berangkat menuju gedung aula universitasnya, acara wisuda. Toga yang dikenakannya menjadi saksi pilu perjuangan membanggakan orang tuanya. Melihat teman-temannya foto bersama dengan keluarganya, iri. Maka setelah pulang dari acara wisuda, Aini ingin foto bersama dengan Ayah Ibunya.

Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas beling yang tajam. Terlihat dua batu nisan bersebelahan. Rijani Akbar dan Sri Asih. Orang tua Aini yang sangat dia sayang. Meletakkan bunga dan topi toga di atas kuburan orang tuanya. Berdiam diri, lalu air mata membasahi baju toganya. Apakah ini yang dia maksud membuat orang tuanya bangga? Entah, dia tidak ada motivasi hidup lagi. Mengapa hidupnya tidak seberuntung orang lain? Dia ingat Ayahnya bilang cari prestasi sebanyak mungkin, sekarang dia memiliki prestasi yang banyak untuk apa? Ibunya bilang dia akan mendapatkan beasiswa, tapi apakah beasiswa harus ditukar dengan nyawa? Semua jawaban hanya ada pada Tuhan, dia tau, itu sebabnya dia hanya diam berair mata.

Air yang membasahi toga Aini sekarang tidak hanya berasal dari air mata. Langit juga ikut menangis mendengar kisah Aini. Tempat dimana dia duduk sekarang adalah tempat
favoritnya. Karena dia tidak merasa kesepian di sana. Tetes demi tetes air jatuh berirama menambah kesedihan Aini.

****

Biodata Penulis Juara 2 Lomba Cerpen:

Namanya Radit Gunandi, mahasiswa baru semester 3 di Universitas Lambung Mangkurat. Berkuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Program Studi Akutansi, S1.

More Information: Kunjungi Instagram kami @lpmkinday