LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Pengkhianatan Abadi

Dalam kegelapan ruangan, sebuah tulang tua terbaring diam. Tulang itu sudah berusia puluhan ribu tahun, saksi bisu dari sejarah yang terlupakan. Di sekelilingnya, hawa dingin dan menyeramkan menyelimuti udara. Ruangan itu sudah lama ditinggalkan, tak ada lagi yang peduli padanya.

Namun, sesekali terdengar suara lonceng yang berdenting dari benang- benang merah yang menggantung di pintu. Angin dingin bertiup masuk, mengusik ketenangan tulang tua itu. Di dinding-dinding ruangan, kertas- kertas kuning tua bertebaran. Di atasnya, tulisan-tulisan kuno yang aneh dan misterius menghiasi permukaan kertas. Tulisan-tulisan itu tak ada yang bisa membacanya di zaman modern ini.

Tanpa diduga, tulang tua itu mulai bergerak-gerak. Daging-daging mulai tumbuh di atasnya, membentuk tubuh manusia yang sempurna. Pakaian- pakaian pun muncul di tubuhnya, seolah-olah ia baru saja bangun dari tidur panjang. Rambut hitam panjang terurai di pundaknya, kulitnya pucat seperti mayat. Matanya hitam pekat, menatap kosong ke depan.

“Va maengh vae? Mbutzatv laekae nyitaej.”

la berbicara dengan bahasa yang tak dikenal siapa-siapa. Ia berjalan keluar dari ruangan gelap itu, menuju ke luar bangunan kosong. Ia berada di tengah hutan lebat, tempat binatang-binatang buas berkeliaran.

la bersembunyi di balik semak-semak, mendengarkan suara-suara asing yang datang dari kejauhan. Ia melihat sekelompok remaja yang sedang tertawa riang. Salah satu dari mereka membuat hatinya berdebar-debar. la mengenalinya sebagai pengkhianat yang pernah membunuh sukunya.

la keluar dari persembunyiannya, mengejutkan remaja-remaja itu. Mereka terkejut dan ada yang berteriak histeris melihat penampilannya yang aneh. Ia mendekati salah satu pria yang menatapnya bingung.

“Siapa lo? Kalau mau prank jangan kayak gini.”

Pria itu berkata dengan bahasa yang tak dimengertinya. Ia hanya menatapnya dengan tatapan tajam dan marah. Ia membuka mulutnya dan berkata dengan bahasa kuno yang sama sekali tak dimengerti oleh mereka.

“Naqdvndoh Demi dewa Agung yoh nyeih jangh dix, ciengh jangh nqangh. Haei nyeih jangh ciengh sehnga nyeih nyeih haez nyeih jangh. Amin.”

Tiba-tiba angin kencang bertiup di sekitar mereka. Dari angin itu muncul api panas yang menyala-nyala. Api itu mengelilingi mereka, membuat mereka terperangkap di dalamnya. Mereka berteriak-teriak ketakutan, merasakan panas api itu membakar kulit mereka.

Suara tangis dan teriak memecah kesunyian. Seorang lelaki berbusana kuno menarik rambut seorang pria berpakaian modern yang telah mengkhianatinya. Dengan amarah yang membara, ia hendak membalas sakit hatinya. Namun, ia tidak waspada. Pisau tajam kembali menancap di dadanya, tepat di bekas luka yang belum sembuh.

“Kau tak ubahnya seekor tikus. Kembali saja ke lubangmu, tulang tua!” ejek pria berpakaian modern sambil mencabut pisau dari dada lelaki berbusana kuno.

Lelaki berbusana kuno terjatuh ke tanah. Angin panas yang menyelimuti tubuhnya lenyap seketika. Ia melihat pria pengkhianat itu tertawa puas bersama kawanan bajingannya.

Lelaki berbusana kuno hanya bisa tersenyum getir. la pernah menganggap pria itu sebagai saudara seperjuangan. Ia pernah menyelamatkan nyawa pria itu dari medan perang. la pernah memberikan tempat tinggal dan perlindungan kepada pria itu.

Ribuan tahun yang lalu, di sebuah perkampungan di Nusantara, hiduplah suku San Surya yang berasal dari Yunani Kuno. Suku ini dipimpin oleh Elan Puhta San Surya (Elang Putra Sang Surya), seorang pemimpin yang bijaksana dan gagah berani. Suatu hari, suku San Surya terlibat peperangan dengan suku кызыл KeKc, suku yang ingin merebut wilayah mereka. Peperangan itu berlangsung sengit dan menelan banyak korban.

Di tengah pertempuran, Elan Puhta San Surya melihat seorang pria terluka parah di perbatasan wilayahnya. la merasa iba dan membawa pria itu ke perkampungannya. Ia merawat luka pria itu dengan sabar dan tulus, bahkan mengangkatnya sebagai saudara seperjuangan. Namun, ternyata pria itu adalah jenderal terbaik dari suku кызыл көкс yang menyamar sebagai korban perang. Pria itu mengkhianati kepercayaan Elan Puhta San Surya dan membantai seluruh anggota suku San Surya, termasuk pemimpinnya.

Pada hari itu, kutukan besar menimpa suku San Surya. Jiwa mereka tidak bisa tenang dan terperangkap dalam lingkaran benang merah dan jimat kuning.

“Aku menyesal telah bersaudara denganmu,” bisik lelaki berbusana kuno sebelum tubuhnya berubah menjadi tulang tua.

 

Penulis: Nur Rahmadiannty Shafira