LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

MENGEJAR BEASISWA

Langit yang semula biru cerah, kini telah berubah menjadi jingga dan toa masjid pun
sudah memperdengarkan shalawat Bariyyah, khas pertanda mendekati waktu sholat Maghrib.
“Sekarang kita tinggal minta tanda tangan Pak Bambang” ucap Aya sambil melihat aplikasi
penunjuk arah yang menuntun mereka ke kediaman Pak Bambang. Untunglah beliau begitu
baik hingga mau didatangi ke rumah pada jam segini.

“Aya, kamu merasa gak kalau motor di belakang kita itu membuntuti terus” celetuk
Liza yang sedang membonceng Aya. Dalam hati, sebenarnya Aya juga merasakannya. Itu
dimulai sejak memasuki jalan perkebunan ini, ketika berbelok arah pun juga mereka diikuti.
Saat Aya menoleh ke belakang, terlihat ada dua pria mengendarai motor matic. Mata
coklatnya terbelalak lebar saat melihat benda apa yang dikeluarkan oleh salah seorang dari
dua pria tersebut. Itu celurit!

“Liza, begal oi!” teriak gadis berkacamata itu sambil menepuk punggung sang teman
yang memboncengnya. “Ya Allah! Aya, pegangan yang kuat!” motor langsung melesat cepat
saat Liza menarik gas hingga tembus 90 km/jam. Aya memeluk erat pinggang temannya agar
tidak terjatuh. Namun ia kembali dibuat terkejut saat mendengar teriakan dari belakangnya
“Woy, berhenti gak!”. Begal itu berhasil menyusul tepat di belakang mereka dengan celurit
yang terancung. Namun Liza tidak tinggal diam, ia nampak mengambil sesuatu dari dalam
wadah yang terletak di bawah stang motor.

“Aya, video begalnya!”

“Nyawa di ujung tanduk gini malah mau dibikin konten, yang benar aja!”

“Konten mukamu. Dah, cepat video!” dengan tangan gemetar, Aya mulai merekam
para begal tersebut yang nampak semakin marah karena wajah mereka terekam, Gadis
berkacamata itu semakin ketakutan saat motor begal sudah berada di kiri mereka.

“Ya Allah, hamba cuma mau mengurus beasiswa buat kuliah. Nggak mau mati kena
begal!” teriak Aya ketakutan, namun tetap merekam begal di sampingnya. “Berhentikan
motornya!” seru pria yang memegang celurit tersebut dan hendak mengayunkan senjata
tajamnya kearah Liza.

“Enyah kalian!” di luar dugaan, besi yang digenggam Liza itu langsung memanjang
menjadi tongkat besi sepanjang 150 cm setelah tonjolan di bagian bawahnya ditekan. Secepat
kilat tongkat itu ia lempar ke pelang ban depan dari motor pembegal tersebut, tak ayal motor itu langsung terjungkal ke depan membuat dua lelaki tersebut jatuh berguling di aspal dan berakhir nyusruk di semak pinggir jalan.

“Hahaha, rasain tuh!” Liza langsung memacu motornya sambil tersenyum puas,
berbanding terbalik dengan Aya yang masih gemetar memeluk erat dirinya, gadis
berkacamata itu juga masih mencerna apa yang telah sahabatnya lakukan. Mungkin karena
dia ikut kelas panah jadi lemparannya tepat gitu.

“Aya, videonya nanti kirim ke aku. Kamu juga simpan baik-baik tuh video buat
barang bukti bahwa kita cuma mempertahankan diri. Jaga-jaga aja kalau malah kita yang
dilaporkan” ucap Liza saat mereka akhirnya sampai di tujuan. Sekarang Aya mengerti, nggak
heran sih soalnya sempat viral ada orang yang malah dipenjara karena melawan Ketika
dibegal yang berakhir sang pembegal tewas. Walau dibebaskan juga sih tidak lama kemudian.
Lupakan itu, sekarang focus meminta tanda tangan Pak Bambang di atas surat persyaratan
beasiswanya dulu.

“Ok, sudah saya tandatangani. Apa ada yang kalian butuhkan lagi dari saya?”

“Tidak ada lagi, maaf ya Pak jadi merepotkan pada jam segini” Aya menundukkan
kepalanya tanda terima kasih sekaligus hormat pada Pak Bambang, Liza yang melihat itu pun
juga ikut melakukan hal yang sama.

“Akhirnya semua persyaratan daftar beasiswamu lengkap juga, gak sia-sia sampai
hampir kena begal tadi” celetuk ringan dari Liza itu sontak Pak Bambang menyemburkan teh
yang beliau minum.

“Kalian kena begal?!” bukan Pak Bambang yang berucap, namun sang
istri, Ibu Amel, yang tiba-tiba muncul begitu saja yang berteriak heboh.

“Kalian baik-baik saja kan?” Wanita itu tampak membolak balik tubuh Aya dan Liza, mengecek apakah ada
luka atau semacamnya. Syukur terucap saat mengetahui bahwa dua gadis itu baik-baik saja.
“Kalian nginep aja di sini, bahaya kalau pulang sekarang” tawar Ibu Amel pada
mereka berdua untuk tinggal hingga besok, agar aman saat pulang nanti.

Aya dan Liza yang awalnya sempat menolak karena tidak ingin merepotkan akhirnya luluh dengan tawaran Bu
Amel yang mengiming-imingi mereka dengan rendang. Jujur saja, untuk Aya yang
merupakan mahasiswi rantauan dengan ekonomi pas-pasan (pas ada ya makan, pas gak ada
ya puasa) ini merupakan kesempatan berharga bisa makan enak, apalagi gratis. Jadilah
sekarang dua gadis tersebut makan bersama keluarga Pak Bambang dengan Bu Amel yang
bersemangat meletakkan lauk di atas piring dua mahasiswi itu

“Ibu jadi senang karena makannya ramaian gini, biasanya sepi, cuma berduaan sama
Bapak”. Reaksi Bu Amel tidak berlebihan sebab pernikahannya sudah jalan lebih sepuluh
tahun tapi belum juga dikaruniai keturunan, jadi saat melihat ada dua gadis datang begini ia
jadi senang sendiri.

“Nak Aya nggak pakai KIP-K?” gadis berkacamata tersebut langsung menatap Pak
Bambang yang bertanya padanya. Walau sempat ragu, namun pada akhirnya Aya
menceritakan apa yang terjadi. Bermula dari ia yang masuk Universitas lewat jalur nilai
rapor, saat itu ekonomi keluarganya masih baik jadi belum membutuhkan KIP-K. Namun
akhir-akhir ini jadi jungkir balik, bahkan uang hasil jual tanah pun raib digondol saudara
Abahnya sendiri yang semakin memperburuk keadaan keluarganya. Jadi tidak ada dana untuk
bayar UKT semester selanjutnya

“Ya begitulah Pak, jadi beasiswa ini saja lagi yang menjadi satu-satunya harapan
kuliah Saya. Kalau gak dapat, ya kuliahnya sampai semester 3 ini aja”

“Kalau buat tinggal ngekos ada simpanan gak, Nak?” pertanyaan itu keluar sebab
beasiswa yang gadis berkacamata ini ambil tidak termasuk uang untuk ongkos tempat tinggal.

“Kalau ongkos tinggal ada sih untuk satu bulan, sisanya nanti aja dipikirin yang
penting uang buat kuliahnya dulu yang aman.” Jawaban yang didapat pun membuat lelaki
yang sudah menginjak umur kepala empat itu terdiam, gadis ini agak lain jalan pikirnya.
Anak zaman sekarang yang sudah diberi uang jajan lumayan saja masih suka bolos. Lah ini,
ongkos aja tidak pasti, tapi yakin sekali kuliahnya hanya bergantung beasiswa.

Melirik sang istri yang tampak mengangguk, Pak Bambang pun berkata dengan yakin “Nanti ongkos
kosan sama keperluan makan dan lain yang gak ada di beasiswanya biar Bapak yang kasih
kamu sampai lulus.”

Sontak saja itu membuat Aya terkejut hingga tersedak. “Yang benar Pak?!” ketidakpercayaan tergambar jelas di mata, mendapat tawaran seperti ini seperti mimpi baginya yang hanya gadis perantauan dari desa dengan harapan ketika sudah sarjana nanti
ketika dirinya pulang bisa memperbaiki keadaan lahan pertanian dan perkebunannya sekarat,
padahal itu menjadi sumber utama pendapatan para penduduk, termasuk orang tuanya.

Semua orang dibuat terkejut karena Aya yang tiba-tiba menangis usai Pak Bambang
menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Loh kok jadi sedih, kan ini kabar gembira”
hibur Liza sambil memberikan tisu, tangannya mengelus lembut punggung bergetar sang sahabat.

“Ini nangis bahagia. Nggak nyangka aja, hidup sudah jungkir balik begini ternyata
masih ada aja jalannya.” Jelas Aya dengan suara yang bergetar habis nangis.

Pak Bambang hanya bisa tersenyum melihat reaksi Aya atas tawarannya, beliau pun
memberikan wejangan agar sang gadis berkacamata itu memanfaatkan kesempatan yang
didapat ini sebaik-baiknya. “Belajar yang rajin ya, kalau IPK punyamu jadi di bawah standar,
saya cabut loh bantuannya”.

“Siap Pak! Saya nggak akan mengecewakan Bapak.” balas Aya semangat.

Makan malam itu pun berlangsung dengan hangat, terutama Aya yang tersenyum sumringah karena
perjuangannya untuk mengejar beasiswa agar tetap bisa berkuliah berjalan lancar dan tanpa
diduga mendapat rezeki nomplok.

 

~~~~

Biodata penulis juara 1 lomba cerpen Dies Natalis LPM KINDAY.

Nama : Khalishatur Rahmah
NIM : 2210119120009
Prodi : Pendidikan Biologi
Universitas : Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin