LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Rahasia Apartemen

Persmakinday–“… Tempat di mana kutukan yang awalnya ditujukan untuk tanah ini (tanah apartemen) adalah tanah kekuasaan mereka. Tanah apartemen ini diselimuti misteri sejarah dan belum dapat dipastikan keasliannya, sehingga kemungkinan besar berasal dari zaman kolonial.”

*

Endang Purnama sama seperti namanya, gadis itu merupakan sosok yang sangat tenang walaupun berada dalam masalah. Nana, panggilan yang sering ia dengar beberapa tahun terakhir. Namun, hanya sebagian orang saja yang mengetahuinya.

Pekerjaannya kebanyakan menyendiri, sehingga keluarganya pun tidak tahu apa saja yang dia kerjakan. “Individu” adalah kata yang menggambarkan kepribadian Nana. Namun, hal itu membuatnya menciptakan karya yang populer di kalangan elite.

Lukisan dengan berbagai tema terpampang jelas di apartemennya. Dia menghabiskan hari-harinya dengan melukis dan mengungkapkan perasaannya melalui seni. Pekerjaannya sederhana, namun cukup untuk menghidupinya  selama beberapa bulan.

Kehidupannya yang sepi membuatnya apatis. Berawal dari sejarah kamar apartemen miliknya. Pemilik apartemen selalu mengingatkan dan menjelaskan kepadanya untuk tidak tinggal sendirian. Tapi dia tidak peduli.

Kematian.

Pemilik apartemen terus mengatakan itu. Dia tidak mempercayainya. Sebab, hanya karena tinggal sendirian, kematian tidak bisa dikaitkan dengan kutukan. Selama dia tinggal sendiri untuk kuliah di daerah orang lain, dia merasa baik-baik saja.

Namun terjadi sesuatu yang membuka matanya. Menurut cara berpikirnya, fenomena tersebut sangat tidak masuk akal. Dia terbangun dengan leher membiru seperti ada yang mencekiknya. Padahal malam itu dia tidak merasakan apa-apa.

Saat itu, dia bergegas pergi memeriksa sesuatu. Dia tidak sengaja menabrak seorang pria yang terus menundukkan kepalanya. Nana meminta maaf, tapi pria itu menghilang begitu saja.

“Orang tadi ke mana?” gumam Nana yang merasa situasi semakin tidak beres.

Nana buru-buru mengambil ponselnya. Dia menghubungi pemilik apartemen dan menjelaskan tentang kamar 045. Perasaannya semakin tidak enak untuk beberapa hari terakhir, padahal dia tidak mengalami fenomena aneh apa pun dalam 4 bulan terakhir.

.

.

“Sial!” teriak Nana yang merasakan sengatan listrik di jantungnya.

Sebuah buku tua dilemparkan ke arahnya. Dia berusaha mencari tahu siapa yang sengaja melempar buku tersebut. Tidak ada seorang pun di sekitarnya saat dia mencoba menyelidikinya.

Nana berjongkok dengan marah. Dia mengulurkan tangan untuk mengambil buku tersebut. Namun, belum sempat membukanya, buku tersebut sudah terlempar cukup jauh karena tendangan seseorang. Dia sangat kesal, tetapi ketika dia melihat orang itu, dia berubah pikiran.

“Kenapa bukunya harus ditendang Bu Sri?” tanya Nana memastikan. Apa yang salah dengan buku tersebut, sehingga pemilik apartemen merasa gusar.

“Buku ini… buku ini berisikan kutukan. Jika kamu ingin hidup damai. Jangan harap membuka buku tersebut!” seru Sri dengan menghela napas panjang.

“Baik, lalu apa yang terjadi? Dari mana asal kutukan itu?” kata Nana yang sudah merasa tidak tenang dengan fenomena terakhir.

Pemilik apartemen hanya menghela napas dalam diam. Wanita paruh baya tersebut hanya mengatakan bahwa kutukan itu sudah terjadi sejak lama. Tempat di mana kutukan yang awalnya ditujukan untuk tanah ini (tanah apartemen) adalah tanah kekuasaan mereka. Tanah apartemen ini diselimuti misteri sejarah dan belum dapat dipastikan keasliannya, sehingga kemungkinan besar berasal dari zaman kolonial.

“Baik, Bu.”

Nana pergi dengan senyum ramah di wajahnya. Dia diam-diam menatap buku tua itu, seolah ada aura negatif yang menariknya. Namun, dia tidak punya keberanian untuk saat ini.

Setelah kejadian itu, dia tidak bisa memejamkan matanya. Rasanya sangat berat karena memikirkan tentang buku tua tersebut. Namun, dia mencoba menutup matanya.

Tiba-tiba, Nana tersentak dan merasa menggigil di lehernya. Hawa dingin tiba-tiba menjadi panas. Dia merasa tidak tahan lagi dan bahkan merasakan beberapa bisikan yang menyentuh teliganya..

Bangun …

Baca …

Tolong!!!

Nana terbangun dengan mata melotot. Nafasnya menjadi tidak beraturan karena syok. Matanya menatap ke sekeliling kamar dengan tubuh gemetaran. Ini terasa seperti malam yang sangat panjang baginya.

Brak!

Sebuah buku jatuh di kakinya. Dia hampir berteriak jika dia tidak menutup mulutnya. Buku tua yang tadi membuatnya penasaran kini ada di tangannya.

Tolong!!

Jeritan dan tawa terus berlanjut. Tubuhnya merinding dan dia mulai berkeringat dingin. Orang-orang tak kasat mata terus berteriak keras. Dia merasa jiwanya sangat tidak stabil.

“Saya tidak pernah ganggu kamu! Jadi kamu jangan ganggu saya!” teriak Nana yang merasa tidak mampu mengendalikan tubuhnya.

Salah satu tangannya mulai bergerak tak terkendali. Dia mulai membuka lembaran buku tua tersebut. Matanya membelalak saat melihat sebuah logo yang sangat aneh.

Tolong!!

Kami dibunuh!!

“Haha, sudah saya bilang jangan buka bukunya!”

“Ibu?” kejut Nana. Kenapa wanita itu bisa berada di sini, padahal dilihat baik-baik saja.

Hati-hati …

Sebuah suara halus berbisik kepadanya. Dia merasa jika kali ini tidak ada yang beres dengan fenomena kali ini. Pemilik apartemen itu seolah memiliki aura gelap yang mencekam jiwanya.

“Padahal saya tidak ingin menumbalkanmu, tapi sepertinya kamu mencari masalah,” desis ibu Sri sambil mengeluarkan boneka dan pisau berdarah. Wanita itu mulai menusuk tangan boneka menggunakan pisau.

Layaknya tusukan para boneka. Tubuhnya bereaksi kesakitan dan tentu saja dia merasa bingung dan takut. Namun seolah-olah ada benda tak kasat mata yang membantunya. Boneka yang di pegang pemilik apartemen itu terjatuh. Dia mengambil kesempatan itu untuk kabur.

“Nana ayo semangat!” lirih Nana yang berlari dengan menahan rasa sakitnya.

Kejadian ini meyadarkannya bahwa manusia lebih kejam dari makhluk tak kasat mata. Keegoisan manusia membuat orang-orang di sekitarnya menjadi sakit. Dia tidak tahu kemana nasib akan membawanya.

“Sial! Dia menghilang!” umpat ibu Sri dengan berdecak kesal.

Penulis: Nur Rahmadianty Shafira

Redaktur: Hanida Riani