LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Petisi Anti RUU Pro Zina, Tepat Sasaran atau Sebaliknya?

Beberapa saat sebelum RUU (Rancangan Undang-Undang) permusikan menjadi polemik di tanah air, sudah ada RUU penghapusan kekerasan seksual yang membuat masyarakat gempar. Draft RUU setebal 57 halaman ini menjadi sensasi karena sebuah petisi yang dicetuskan oleh Ibu Maimon Herawati. Petisi berjudul ‘TOLAK RUU Pro Zina’ ini memicu perhatian banyak pihak, khususnya dengan beberapa poin yang disebutkan dalam petisi tersebut.

Dari beberapa poin, ada tiga yang menurut saya cukup mencolok:

(poin pertama)

“Akan tetapi ada kekosongan yang sengaja diciptakan supaya penumpang gelap bisa masuk. TIDAK ADA pengaturan tentang kejahatan seksual, yaitu hubungan seksual yang melanggar norma sosial dan agama.”

(poin kedua)

“Pemaksaan hubungan seksual bisa kena jerat hukum. Sementara hubungan seksual suka sama suka, walaupun di luar pernikahan, diperbolehkan. Zina boleh kalau suka sama suka.”

(poin ketiga)

“Pemaksaan aborsi bisa dijerat hukum, sedangkan yang sukarela diperbolehkan. Bahkan seorang Ibu yang memaksakan anak perempuannya untuk berhijab, bisa dijerat hukum.”

(Percayalah, saya menulis ketiga poin di atas berdasarkan apa yang ditulis dalam petisi yang dibuat Ibu Maimon. Sekali lagi, saya tidak mengubah satu huruf bahkan tanda baca sekalipun dalam tiga poin di atas).

Dalam petisi tersebut, disebutkan bahwa ada kekosongan dalam draft RUU yang sengaja dibuat agar penumpang gelap bisa masuk. Sayangnya, si pembuat petisi tidak menjelaskan siapa si ‘penumpang gelap’ ini. Beliau juga menyebut bahwa ‘tidak ada pengaturan tentang kejahatan seksual, yaitu hubungan seksual yang melanggar norma sosial dan agama’. Nah, menurut saya, kalimat satu ini seolah bermakna ganda. Di satu sisi, ‘kejahatan seksual’ sendiri biasa dianggap masyarakat sebagai tindakan pemerkosaan atau pelecehan. Sementara di sisi lain, disebutkan ‘hubungan seksual yang melanggar norma sosial dan agama’ alias zina yang notabene dianggap perilaku menyimpang dan melanggar nilai-nilai kepatutan.

Kemudian di poin kedua. Disebutkan bahwa ‘pemaksaan hubungan seksual dapat dikenai hukuman. Sedangkan hubungan seksual suka sama suka, walaupun di luar pernikahan, diperbolehkan. Zina boleh kalau suka sama suka’. Entah beliau mengarang indah atau tengah melamun saat menulis bagian satu ini dalam petisinya, tapi saya tidak menemukan kalimat ‘zina boleh kalau suka sama suka’ di dalam draft RUU setebal 57 halaman ini. Tetapi, ‘pemaksaan hubungan seksual bisa kena hukum’ memang benar. Malahan, separuh lebih isi RUU penghapusan kekerasan seksual ini membahas hal tersebut.

Hal paling aneh ada di poin ketiga. Sekadar catatan, pemaksaan aborsi memang bisa dijerat hukum. Hal tersebut diatur dalam pasal 15, bab 5, RUU penghapusan kekerasan seksual. Pasal ini berbunyi: “Setiap orang yang memaksa orang lain menghentikan kehamilan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan, diancam pidana pemaksaan aborsi.”

Selain itu, memang benar bahwa orang yang ingin aborsi diperbolehkan. Tetapi ada 2 (dua) syarat: (1) menyelamatkan nyawa sang Ibu (2) aborsi dilakukan oleh korban kekerasan seksual.

Tapi, tidak ada satu kalimatpun di dalam RUU penghapusan kekerasan seksual ini menyebutkan bahwa ada tindak pidana atas seorang Ibu yang memaksakan anak perempuannya untuk berhijab.

Saya berani menulis ini karena saya sudah membaca seluruh isi dari draft RUU tersebut. Selain itu, sudah ada orang yang membuat petisi tandingan. Petisi yang mendukung agar RUU penghapusan kekerasan seksual dapat segera di-sahkan. Tetapi, petisi yang menolak RUU ini masih ada dan jumlah tandatangannya tetap bertambah walau tidak secepat dulu. Hingga menit terakhir saya menyelesaikan tulisan ini, sudah ada 165 ribu lebih orang yang menandatangani petisi tersebut. Apakah anda salah satunya?

 

Penulis: Kira Tirian