PERSMAKINDAY.COM – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan 10 jenis tumbuhan yang semula berada dalam daftar dilindungi. Kebijakan ini dikeluarkan oleh KLHK melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018. Berbagai kalangan mengkiritik, bahwa jenis-jenis tumbuhan yang keluar dari daftar dilindungi ini lebih kuat hanya demi kepentingan dunia usaha dan abai konservasi kekayaan hayati di Indonesia.
PermenLHK Nomor 106/2018, merupakan perubahan kedua dari PermenLHK Nomor 20/2018. Di samping itu, delapan dari sepuluh jenis tumbuhan yang berada dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) ini sudah masuk kategori sangat kritis, terancam punah dan rentan punah.
Kayu-kayu itu antara lain, ulin (Eusideroxylon zwageri) yang berkategori rentan punah, kempas kayu raja (Koompassia excels) dan kempas melaka (Koompassia malaccensis) dengan risiko kepunahan rendah, serta medang lahu (Beilschmiedia madang) juga kayu besi Maluku (Intsia palembanica) yang sudah terancam punah.
Sementara lima jenis tumbuhan lainnya yang juga masuk dalam daftar merah IUCN merupakan spesies endemik dan hanya dapat ditemui di wilayah-wilayah tertentu saja. Di antaranya, ada damar pilau (Agathis borneensis) dan upan (Upuna borneensis), endemis Borneo yang terancam punah. Sedang tiga jenis lainnya sudah berkategori kritis, yakni, palahlar nusakambangan (Dipterocarpus littoralis) endemis Pulau Nusakambangan, kokoleceran (Vatica bantamensis) endemis Ujung Kulon, serta palahlar nursala (Dipterocarpus cinereus) yang merupakan endemis Mursala Sibolga.
PermenLHK Nomor 92/2018 semula melindungi ke sepuluh jenis tumbuhan tersebut. Namun, tidak dilindungi lagi oleh PermenLHK Nomor 106/2018. Mereka mengklaim, bahwa perubahan tersebut berdasarkan kelimpahan jenis, temuan, serta fakta di lapangan.
Djati Witjaksono Hadi selaku Kepala Biro Humas KLHK sebelumnya menyebutkan bahwa selain kelimpahan di alam, aspek sosial-ekonomi juga menjadi pertimbangan penerbitan regulasi. Hal ini dicontohkannya dengan masyarakat yang banyak memanfaatkan jenis kayu tersebut. “Kalau status tak diubah, produksi kayu terhambat, terjadi pengangguran dan penerimaan dana reboisasi dan provinsi sumber daya hutan tersendat,” ujarnya.
KLHK berencana akan memperketat SIPUHH akibat adanya kekhawatiran terhadap penebangan berlebih. Djati Witjaksono Hadi mengatakan, apabila ada indikasi pidana, maka proses hukum akan tetap berjalan.
“KLHK senantiasa akan mengedepankan prinsip kehati-hatian melalui sistem SIPUHH dan hasil evaluasi data kelimpahan potensi kayu HPH,” katanya meyakinkan.
Konservasionis pada awalnya memberi apresiasi terhadap Peraturan Menteri 20/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, terkait tindakannya dalam menambah daftar satwa dilindungi, terutama untuk jenis burung yang belum tercatat dalam lampiran PP Nomor 07 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Adapun sejumlah spesies yang masuk ke dalam daftar dilindungi di antaranya kenari melayu (Chrysocorythus estherae), pleci (Zosterops flavus), opior Jawa (Heleia javanica), dan gelatik Jawa (Lonchura oryzivora).
PermenLHK 20/2018 kemudian dirubah lagi menjadi PermenLHK 92/2018 atas desakan dari para penghobi dan pebisnis burung kicau. Hasil dari perubahan ini yaitu dikeluarkannya burung cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), jalak suren (Gracupica jalla), kucica hutan atau murai batu (Kittacincla malabarica), anis bentet kecil (Colluricincla megarhyncha), serta anis bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis) dari daftar dilindungi.
PermenLHK 20/2018 kembali dirubah menjadi PermenLHK106/2018 enam bulan kemudian. Hal tersebut ditandai dengan dikeluarkannya 10 jenis tumbuhan dari daftar dilindungi. PermenLHK yang terbaru ini lantas menyebutkan bahwa penetapan jenis tumbuhan tersebut mempertimbangkan banyaknya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu—hutan alam alias Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang menebang jenis-jenis tumbuhan terlindungi.
Beberapa hal kemudian menjadi pertimbangan lain, di antaranya banyak penebang jenis kayu dilindungi terkendala dalam proses penataan hasil hutan. HPH yang menebang kayu berstatus dilindungi di areal kerja (konsesi) hingga dengan pasokan bahan baku industri yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan hukum.
Banyak kayu olahan jenis tumbuhan dilindungi yang tidak dapat lagi dipasarkan oleh industri primer hasil hutan. Serta tidak berlakunya lagi dokumen surat keterangan sah hasil hutan kayu bulat yang terbit dan berstatus dalam perjalanan, padahal kayu bulat berasal dari RKT yang sudah disahkan.
Masyarakat luas mendukung penolakan regulasi. Hal ini dibuktikan melalui sebuah petisi yang ditulis oleh Ragil Satriyo Gumilang di change.org. Petisi berjudul “Tolak PermenLHK P.106/2018! Yang mengeluarkan jenis pohon langka dari daftar dilindungi!” ini ditujukan kepada Siti Nurbaya selaku Menteri LHK. Hingga tanggal 24 Februari 2019, tercatat bahwa ada 2.744 yang telah menandatangani.
Ragil mengatakan di dalam petisinya, pada 1998 IUCN menetapkan pahlahlar Mursala telah punah. Kepunahan spesies endemik yang dikenal dengan nama keruing itu akibat dari pengusahaan hutan berlebihan di pulau Mursala.
Harapan baru datang dari tim ekspedisi LIPI lima belas tahun kemudian. Mereka menemukan keberadaan tumbuhan yang memiliki kualitas dan nilai kayu sangat ekonomis.
LIPI kemudian memasukkan jenis tumbuhan ini ke dalam rancangan strategi dan rencana aksi konservasi (RSRAK) flora sebagai prioritas pertama pada tahun 2017, yang artinya jenis ini berkategori kritis dan harus segera dikonservasi, serta pohon endemik dengan sebaran sempit yang diperkirakan punah dalam waktu dekat.
Kelegaan baru muncul setelah PermenLHK 20/2018 ditetapkan, yaitu dengan dimasukkannya jenis ini ke dalam daftar dilindungi. Ragil mengecam bahwa aturan tersebut keluar tanpa adanya keterbukaan informasi dan kajian komprehensif, ilmiah, serta tidak diperhatikannya aspek perlindungan, pengawetan, maupun pemanfaatan jenis-jenis satwa dan tumbuhan dilindungi.
Dia juga mendorong perkuatan terhadap status perlindungan, serta pengesahan RSRAK flora yang mengakomodasi rencana perlindungan jenis-jenis tumbuhan langka terancam punah.
Ragil mengatakan, bahwa keputusan ini merupakan pukulan telak bagi para pelaku konservasi dan pelestarian. “Apakah kementerian LHK yang diharapkan jadi tonggak terbesar pelestarian kehutanan, sudah mempertimbangkan rekomendasi otoritas keilmuan dan menyusun peraturan pemerintah itu?” tanyanya.
“Jenis-jenis kayu itu sudah langka dan sulit ditemui di lapangan. Saya kurang setuju kalau itu dikeluarkan dari daftar dilindungi. Saya setuju biar saja dilindungi, agar masyarakat paham perlu dilestarikan dan dimanfaatkan berkelanjutan. Agar tidak dijual bebas ke mana-mana,” ujar Tukirin Partomihardjo, selaku Pakar Ekologi dan Evolusi kepada Mongabay.
“Kalau hendak memanfaatkan kayu-kayu itu, harus menanam terlebih dahulu, bukan menebang di alam,” tambahnya. “Regulasi ini kalau bertujuan untuk membuka peluang perdagangan, ini menjadi sangat berbahaya. Pasalnya, 10 jenis tumbuhan tersebut belum masuk dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITIES), yakni perjanjian internasional antar negara terkait perdagangan tumbuhan dan satwa liar, hingga potensi perdagangan sangat bebas.”
Tukirin merasa aneh terhadap kebijakan pemerintah yang sangat tak berdasar pada kajian ilmiah. Keanehan tersebut tampak pada LIPI yang memberikan status dilindungi, lalu rekomendasi keluar dari daftar dilindungi. Seharusnya apabila ingin mengeluarkan status, katanya, maka perlu ada kajian dan kehati-hatian. Kalaupun data tidak lengkap, badan otoritas ilmiah (LIPI) yang bertanggungjawab mencari.
“Kalau KLHK yang jadi otoritas mengelola hutan dan memiliki data itu, perlu dikritisi sejauh mana data itu valid dan secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan,” katanya, apalagi data merupakan laporan dari para pemegang konsesi.
“Kalau saya membaca pengelompokkan RKT berdasarkan kelompok kayu perdagangan, sedangkan kalau kayu status dilindungi itu dasarnya spesies, ini beda sekali.”
Tukirin juga melihat kejanggalan mengenai spesies-spesies endemik yang dikeluarkan dari daftar dilindungi, padahal beberapa jenis kayu itu tidak ada di HPH, daerah terpencil, maupun taman nasional.
Salah satu contohnya adalah palahlar Nusakambangan dari Pulai Nusa Kambangan, Kokoloceran, Taman Nasional Ujung Kulon.
Katanya lagi, harus ada pengkordinasian antara KLHK dan LIPI dalam penetapan regulasi tersebut, sehingga secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan. “Jika ini keliru, ya cabut ‘lah. Agar kehidupan alam dan manusia menjadi lebih seimbang,” tegasnya.
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) khawatir, regulasi ini akan membuka ruang bagi para pemburu kayu-kayu eksotis bernilai ekonomi tinggi untuk kemudian diperdagangkan secara massif. Selain itu, juga ditakutkan akan menjadi tanda-tanda kehancuran keragaman hayati dan berdampak pada laju kehilangan hutan alam di Indonesia.
“Spesies-spesies ini secara alami di hutan alam dengan populasi makin menipis,” ujar Dhio Teguh Ferdyan, selaku pengkampanye JPIK.
Banyaknya izin HPH menebang spesies kayu dilindungi yang terkendala dalam proses penataan hasil hutan menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam perubahan aturan ini. Hal lain, dikarenakan timbul permasalahan hukum ketika HPH menebang kayu berstatus dilindungi pada konsesi hingga pasokan bahan baku disekor hilir terkendala.
Dhio menambahkan, bahwa kelonggaran pemerintah kepada pemegang izin HPH bertolak belakang dengan semangat perlindungan keragaman hayati dan penegakan hukum dari peraturan sebelumnya.
“Dengan mempertimbangkan rendahnya populasi dan keterancaman tinggi, seharusnya KLHK tetap jadikan spesies ini kategori dilindungi. Bukan malah membuka peluang dan memberikan kebebasan pemanfaatan kayu terancam punah,” pungkasnya.