LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

IZINKAN KAMI MAKAN TAHU DAN TEMPE

Ditulis Oleh Nurul Hidayah 

Kuhirup perlahan rokok yang ada di tanganku yang kini sudah hampir habis. Ah, hanya sekedar rokok murahan yang merknyapun juga tidak terkenal. Akan tetapi, aku tetap membelinya untuk menghangatkan suasana di hari yang mendung ini. Aku melamun, terpaku pada sosok dalam kehangatan itu. Ayah, aku sangat merindukanmu. 

¤¤¤ 
Aku ingat benar saat itu. Aku baru saja pulang mengambil hasil ujian nasionalku. Aku sangat bersyukur. Rasanya sudah tak sabar untuk menyampaikan kabar gembira ini pada ayah. Ya, kali ini aku meraih peringkat tertinggi nilai UN se-kabupaten. Namun, kali ini keberuntungan tak selamanya keberuntungan. Siang itu, kudapati tubuh renta itu terbujur kaku dirumahku. Ya, ayah. Kata mereka ayahku meninggal saat berjalan menyusuri tebing sambil membawa bongkahan batu gunung untuk dijual ke pengepul. Celakanya, kala itu jalanan sangat licin dan ayahku terpeleset jatuh tertindih batu gunung yang dibawanya. Tuhan mungkin sayang dengannya sehingga begitu cepat di dikembalikan ke sisi-Nya.
Ingin rasanya aku menangis melihat wajah renta yang tak bernyawa itu. Namun segera saja kuurungkan niatku mengingat aku adalah anak tertua dikeluarga ini. Aku takut, adikku akan semakin sedih bila melihatku menangis. Aku pasrah, tertunduk lesu dan menangis dalam diam. 
Tak lama waktu berlalu sepeninggal ayah, Surat Tanda Tamat Belajar di SD pun sudah aku terima, yang berarti aku dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Akan tetapi, kuurungkan saja niatku untuk itu. Mengingat ayah dan ibuku sudah tiada. 
Ku pikir, biarlah aku tak dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Bagiku, sekolah adikku yang paling penting. Aku sadar, kini, tanpa ayah dan ibu, aku adalah seorang kakak dan juga kepala keluarga untuk adikku. Bersamaan dengan itu, sirnalah sudah harapanku untuk dapat sekolah setinggi-tingginya seperti yang kucita-citakan dulu ketika masih Sekolah dasar. Akan tetapi, meskipun begitu, aku tak patah semangat. Aku terus mengamati perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi di masyarakat melalui TV umum yang ada di pos ronda dekat rumahku. Semua itu aku lakukan dengan alasan setidaknya aku tak terlalu bodoh di mata adikku. Otodidak. 
Masih kuingat kala itu. Sulit bagiku yang hanya memiliki ijazah SD untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Aku bingung, diam, berpikir bagaimana agar tetap hidup dan adikku tidak putus sekolah. Untunglah aku punya keahlian dalam jahit menjahit sepatu. Jadilah saat itu aku bekerja sebagai tukang sol sepatu. 
¤¤¤ 
 “Abang, aku lapar.” Suara itu membuyarkan lamunanku. Ya, suara itu adalah suara adikku, Ani yang kini sudah duduk di bangku kelas empat SD. Aku terdiam. Kulihat uang hasil kerjaku hari ini. Jangankan untuk membeli lauk, untuk membeli makanan pengganti seperti tahu dan tempe saja sudah tidak cukup. Untunglah, didapur masih ada garam dan sisa beras kemarin.
“Iya sayang, sebentar lagi kakak akan memasak nasi untukmu,”sahutku menenangkan. Aku beruntung, memiliki seorang adik kecil yang sangat pengertian. Dia seperti tahu akan posisiku. Dia juga tak pernah membebaniku. Tak terasa, dua bulir air mata mengalir dipipiku. “Abang, kenapa abang menangis?” tanya adikku yang tiba-tiba saja membuatku terkejut. Aku diam, bingung harus menjelaskan apa. Dengan nada setengah berbohong akupun menjawab “Tidak apa-apa kok sayang, mata kakak hanya kemasukan debu sedikit”. Akupun tersenyum dengan mimik wajah yang dibuat-buat. 
Kulihat adikku makan dengan lahapnya. Aku merasa kasihan. Sudah beberapa hari ini kami hanya makan dengan nasi dan garam. Aku bergumam. “Oh Tuhan, ingin rasanya aku berontak pada keadaan. Pada kejamnya takdir yang kau timpakan. Tuhan. Inikah jalan hidup yang harus kulalui. Takdir berliku yang tiada henti. Dulu, kau ambil nyawa ibuku, kemudian ayahku. Lalu apalagi yang akan kau ambil dari hidupku?” Akupun pergi, mengitari desa kelahiranku. 
Kulihat pemandangan disekelilingku yang tak jauh berbeda. Kesengsaraan. Kulihat mereka-mereka yang lapar karena kejamnya kehidupan. Ganasnya penindasan yang tanpa sadar. Para penguasa, dengan segala kebijakannya telah membuat kami sengsara. Pengangguran dimana-mana. Bahkan, penggusuranpun kerap kali dialami masyarakat miskin di permukiman kumuh. PHK merajalela. Anak-anak kecil menangis kelaparan. Sementara mereka, dengan tawanya mengecap segala kemewahan yang ada. Harga barang semakin menjadi. 
Akan tetapi, jerih payah masyarakat kecil sering tak dihargai. Barang impor dimana-mana. Mereka seolah-olah lupa pada janjinya. Bukannya berkurang, tapi malah pengangguran semakin bertambah. Sambil merenung, kulihat acil Imah sedang menjajakan sayurnya. “Cil, tahu ada ?” tanyaku. “wah..nggak ada dek,” jawabnya. “ kalau tempe ada nggak ?” “Nggak ada juga dek, tahu sendiri kan, akhir-akhir ini kedua makanan itu mulai langka dipasaran. Kalaupun ada, harganya juga pastri tambah mahal.” “Iya juga sih. Ya sudah Cil aku pergi dulu ya, semoga laris dagangannya.” “Iya, makasih dek. Acil jualan dulu yah.” “ Iya, hati-hati cil.” 
¤¤¤ 
Akupun kembali kerumah. Ada rasa haru dan bangga setiap kali menatap wajah adikku. Dia tak pernah mengeluhkan keadaan kami padaku. Aku malu pada diriku. Untuk hal sekecil ini saja aku telah menyalahkan Tuhan dan segala kehendaknya. Sempat terbesit rasa bersalah dihatiku, membiarkan adikku berada dalam kesusahan. Namun apa daya, penghasilanku sebagai tukang sol 7 tahun terakhir ini sudah tak mencukupi lagi. Kalupun ada, itu hanya cukup untuk membeli beras, dan jika makan dengan lauk, itupun hanya sekedar tahu dan tempe. Akan tetapi, sudah beberapa hari ini, makanan itu sangat langka di pasaran, dan kalaupun ada, harganya pasti mahal. Tentunya, itu membuat kami tak bisa makan dengan lauk. Aku terdiam, terpaku. Seakan membangkitkan jiwa pemberontakku yang setengah tertidur. Penguasa, dimana janjimu untuk kami? 
Untuk masalah bahan baku tahu dan tempepun kau sangat bergantung pada kedelai impor dari Amerika. Sehingga, jika pasokan impor berkurang, kamipun terancam kekurangan asupan gizi atau bahkan menjadi busung lapar. 
Penguasa, itu bukanlah hal yang bijak. Sebagai orang yang berpendidikan, pastinya kau bisa berfikir untuk mengerahkan semua Sumber daya Manusia yang ada. Kau tak perlu lagi membeli kedelai dengan kualitas impor. Karena, baik kedelai impor ataupun tidak, rasanya akan tetap sama. Tahu tetaplah tahu, dan tempe tetaplah tempe. Akankah lebih baik jika kau menyediakan ribuan hektar tanah untuk perkebunan kacang kedelai? Daripada kau menyediakan tanah untuk pembangunan. Bukankah sekarang sudah banyak gedung bertingkat? Penguasa, dimana semua janjimu. Harusnya kau lakukan semua itu. Untuk mengurangi pengangguran di negeri ini. 
Penguasa, bukankah hal itu tentunya juga akan mengurangi pengeluaran belanja negara? Kau ingin negara kita kaya kan? Dan kau juga ingin semua rakyat hidup makmur kan? Tentunya, kau juga pasti ingin melihat kami hidup sehat. Oh penguasa, ayolah, sediakan sedikit saja lahan untuk perkebunan kedelai. Agar bisa menekan angka pengangguran. Setidaknya juga, jika kami tak dapat makan dengan ikan, izinkan kami mendapatkan sedikit asupan gizi dari tahu dan tempe. Aku tak begitu bodoh, wahai penguasa negeri.
 ¤¤¤ 
Tak terasa, hari sudah semakin malam, akupun terlarut dalam kesedihan. Sepertinya, dari hari ke hari, beban hidup yang kurasakan semakin berat. Kudengar sayup-sayup suara adikku yang menurutku lebih mirip sebuah rintihan. “Abang, aku sangat kedinginan. Kurasa, semua badanku mulai panas.” Perlahan, aku mendekatinya. Kupeluk tubuhnya sambil menggumam. “Oh tuhan, kiranya cobaan apa lagi yang akan kau berikan?” kali ini, biarkan adikku hidup lebih lama. Aku tak siap untuk menjadi sebatang kara.