LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

HANYA SEKEDAR UNGKAPAN DIBALIK PERJALANAN SUNYI

Oleh: Ramona Safitri
Masih terpatri dalam benakku dan tak akan pernah buram, bahkan untuk seribu kehidupan mendatang tak akan pernah terabaikan oleh ku. Tahu apa mereka soal kehidupanku. Tahu apa mereka soal kehidupan ini. Atau bahkan jangan-jangan mereka juga tidak pernah mengetahui tentang kehidupan mereka sendiri. Sebagian dari mereka mungkin hanya memaknai kehidupan sebagai sebuah permainan atau bahkan hanya sekedar hiburan.

“Berangkat pagi pulang pagi” itu adalah kalimat yang tertulis didinding belakang trukku, lebih tepatnya sih truk sewaan, truk sewaan milik juragan subli. Jadi seorang sopir truk pengangkut pasir bukanlah pilihanku, tapi setidaknya pekerjaanku saat itu jauh lebih baik ketimbang harus menunggu pekerjaan di kampung. Setiap sore hanya nonton layar tancap di dekat pos ronda, menunggu dan berharap ada seseorang yang berjiwa malaikat datang dan memberikan pekerjaan. Heh… ini dunia bung, bukan surga bukan tempat para jiwa-jiwa malaikat bergentayangan. Tidak perlu susah payah berkhayal tentang jiwa malaikat, cukup dengan jiwa tidak mengambil dan memakan apa yang seharusnya menjadi milik kami itu sudah lebih dari cukup.


Hari itu mungkin peruntunganku kurang bagus. Lagi-lagi hanya 25 ribu rupiah. Akhh, sudahlah ini rezeki. Bayaran atas keringatku hari itu mungkin tak sebesar saat kau menjual tanda tanganmu dikertas kosong, tapi sungguh ini adalah rupiah yang akan benar benar menjadi rasa kenyang untuk anak istriku dirumah. Yang akan tetap menjaga detak jantung kami untuk tetap yakin kalau masih ada butir nasi yang tersisa untuk kami. Tepat saat matahari mulai turun dari pengitarannya aku pulang kerumah, saat itu istriku tercinta dengan wajah sungkan berkata kalau kehamilannya sudah memasuki bulan kesembilan. Artinya sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Ya, menjadi seorang ayah untuk yang kedua kalinya. Ingin sekali rasanya memeriksakan kandungan istriku, agar aku dapat mengetahui jenis kelamin dan kesehatan bayi kecilku. Namun mengingat biaya kedokter kandungan tidaklah murah aku segera mengurungkan niatku. Malam itu Ani putri sulungku tidur lebih awal, istriku bilang Ani menungguku sejak sore tadi, hari ini dia mendapatkan peringkat pertama dikelasnya, aku senang sekaligus merasa haru, meski Ani baru duduk di bangku Sekolah Dasar Ani adalah anak yang pintar dia juga anak yang pandai untuk ukuran anak seusianya. Dia mengerti dan tak pernah menuntut banyak dariku, kehidupan kami yang tak serupa orang tidak menjadikan Ani patah semangat dan bahkan membuatnya lebih bekerja keras dalam hal apapun. Aku selalu berkata pada Ani bahwa jangan pernah melihat orang dari materi, pekerjaan, atau bahkan fisiknya. Karena pelajaran hidup yang barokah itu justru terkadang datang dari kita, orang (masyarakat) kecil, karena kitalah yang benar-benar mengalami kenyataan pahit manisnya kehidupan, bukan “mereka” ataupun Anda para manusia berdasi.
  
Kadang aku merasa sedikit malu, sebagai seorang ayah aku masih belum mampu memenuhi semua kebutuhan anak istriku. Malam itu sangat sunyi, dan memang selalu sunyi aku hanya dapat mendengar suara jangkrik dan meongan kucing disekitar rumah kontrakkanku. Andai saja aku punya sedikit uang maka aku akan membelikan televisi untuk Ani. Agar dia tidak selalu menumpang nonton televisi dirumah tetangga. Sambil menutup mata diatas kasur yang semakin hari semakin tipis aku bergumam, “maafkan Ayah”.

 Bagi seorang sopir bisa tidur dirumah dan berkumpul bersama keluarga adalah hal yang sangat luar biasa. Namun perjalanan mimpi tak sepanjang perjalananku saat membawa truk bermuatan pasir. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, sejak pukul inilah rutinitas kehidupan ku di atas roda dimulai. Dalam sepekan hanya beberapa hari aku dapat berkumpul dengan keluarga kecilku. Sungguh pendusta jika aku tak merindukan mereka, namun apa boleh buat pekerjaan sebagai seorang sopir menuntutku untuk membalut rindu pada keluarga tercinta. Apalagi belakangan ini solar mulai langka dan ini tentunya akan mempersulitku dan sopir truk lainnya dalam bekerja dan untuk mendapatkan penghasilkan sehari-hari. Hari sudah hampir subuh, dari dua jam terakhir ini jumlah pengantri terus bertambah, mungkin hampir 24 truk berjejer dipinggir jalan yang mengarah ke SPBU. Namun tidak jarang kami sebagai para sopir mereguk kekecewaan, meski sudah mengantri semalam atau bahkan ada yang dua malam tiba-tiba saja petugas SPBU memasang tulisan bertuliskan “solar habis”. Lagi-lagi mereka harus menunggu sehari penuh untuk bisa mendapatkan solar, dan kalau kami memaksa untuk membeli solar eceran dengan harga yang tentunya akan sedikit mahal, maka setelah pulang kerumah tentunya kami tidak akan membawa rupiah untuk dimakan. Sebenarnya di Negara mana aku tinggal, bahkan terkadang aku lupa kalau ini adalah sebuah negara. Negara yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang punya, negara yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang berkuasa. “Negara impossible” itu yang sering dikatakan para sopir kepadaku. 

Kadang saat melintasi jalan yang sunyi aku teringat akan perkataan istriku mengenai kehamilannya yang sudah memasuki bulan kesembilan. Mengingat tabunganku untuk biaya persalinan yang tak seberapa aku kemudian berfikir kalau dalam sehari aku dapat mengangkut pasir 3 sampai 4 ret perhari maka aku akan mendapatkan uang yang banyak. Tapi perjalanan tak selalu mulus dan sesuai harapan, terlihat ratusan sopir truk memarkir truk mereka di dua sisi jalan menuju kawasan kantor pemerintahan daerah setempat. Aku berhenti ditengah runtutan barisan truk itu, dan kemudian lelaki tua atau yang biasa dipanggil oleh para sopir truk lainnya dengan sebutan bang odeng menghampiriku dan berkata, “mati dis… mati kita… pemerintah kota menutup lahan pasir yang biasa kita pakai buat tambang, piye to dis…” kata bang odeng kepadaku dengan raut wajah kesal. Kata para sopir truk lainnya, pemerintah kota setempat menutup lahan pasir dengan alasan lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung. Lalu apa sebenarnya yang telah terjadi selama ini? Bukankah kami para sopir truk sudah melakukan aktifitas ini sejak bertahun-tahun lamanya, apakah sebelumnya lahan pasir kami bukan termasuk kawasan hutan lindung? Bahkan, kalaupun memang benar lahan yang biasanya kami tambang termasuk dalam kawasan hutan lindung, bukankah seharusnya kalian punya solusi dan harus mencari solusi dengan memberikan tempat lain yang dapat ditambang dan tentunya tidak termasuk dalam kawasan hutan lindung? Atau mungkin kalian punya lapangan pekerjaan lain untuk kami para sopir truk dengan latar belakang pendidikan yang minim. Atau jangan-jangan kalian malah menyalahkan kami atas nasib dan perjalanan hidup susah dikarenakan tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang baik karena tidak sekolah dengan rajin dimasa lampau? Sadar bung, dinegeriku pendidikan tidak murah, maka jangan pernah menyalahkan kami tumbuh besar dengan pendidikan yang minim. 
Rasa khawatir mulai membuyarkan hati dan fikiranku. Sebagai calon ayah setidaknya aku harus membelikan beberapa potong baju mungil dan perlengkapan bayi lainnya untuk bayi kecilku. Tapi saat ini, saat mereka para manusia berdasi dengan segala kebijakannya mematikan mata pencaharianku jangankan untuk membeli perlengkapan bayi bahkan untuk biaya persalinanpun aku tak tahu harus mencarinya kemana. Aku dan para sopir truk lainnya yang berunjuk rasa didepan kantor walikota tidak membuahkan hasil apapun, tidak ada kesepakatan antara kami dengan pemerintah kota setempat. Diabaikan, mungkin itu adalah gambaran atas kekecewaan kami hari itu dan yang juga akan menjadi kekecewaan untuk anak dan istriku. Namun selama aku masih bisa berdiri dan bahkan berlari tidak ada kata menyerah untuk bayi kecilku. 
Keadaan ini membuat aku bersama rekan sopir lainnya menerima order angkut barang bantuan untuk warga. Masih jelas kuingat saat itu saat aku masih berada ditengah perantauan dan ingin pulang menuju kota terlihat bang odeng dengan tergesa gesa menghampiriku sambil berteriak dari kejauhan, 
“dis…idis…cepat pulang, cepat kembali kerumah, istrimu mau melahirkan” 
“hah apa? Benarkah yang kau katakan itu bang?” sahutku dengan keadaan panik 
 “iya, cepatlah pulang” 
Saat itu aku yang sedang terburu-buru langsung banting setir menuju rumah, aku ingat betul saat itu hari sudah mulai gelap dan yang membuatku bertambah cemas adalah pada malam itu bertepatan malam awal tahun. Meskipun belum larut malam namun aku yakin dikota pasti sudah mulai padat. Tapi ternyata Tuhan berkata lain setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam dan mulai memasuki kota hujan tiba-tiba saja turun aku sedikit lega mungkin Tuhan memberikan kemudahan padaku untuk lebih cepat melihat bayi kecilku. Sesampainya diteras rumah aku tidak mendengar suara tangisan bayi kecilku dan bertanya tanya kenapa ada banyak orang didalam rumahku. Dan… 
“Ani kenapa kau menangis?” 
Hujan tidak mau berhenti bahkan hingga bertahun-tahun lamanya bagiku hujan selalu turun. Saat itu dilangit ada banyak warna menyambut kelahiranmu, dan semua orang merayakan kehadiran pertamamu diduniaku. Hanya aku satu satunya orang yang tak sempat berjumpa denganmu atas kunjungan pertama sekaligus kunjungan terakhirmu diduniaku ini. Rasanya seperti membuka lembar halaman yang tak berhingga. Dan kemarin aku baru saja menghadiri acara wisuda Ani disalah satu universitas ternama dikota besar ini. Dia mendapatkan beasiswa dan dapat kuliah secara gratis selama empat tahun penuh. Mungkin dunia sudah berubah atau mungkin seisi dunia memang telah berubah. Hanya hatiku dan perasaanku yang tak akan pernah berubah. Sama halnya dengan bintang dilangit kau akan menemukan bintang terang diantara ribuan bintang dan menjadikannya penerang dalam perjalanan sunyimu. Dan bagiku bintang terang itu adalah Ani, istriku dan putra tercintaku. Sekarang aku melaju dengan truk besarku menuju kota untuk pulang kerumah agar bisa merayakan tahun baru bersama Ani. Merasa sepi dan terkadang sesekali aku mengajak angin dingin berbincang-bincang ditengah perjalananku yang panjang. Mereka bilang putra kecilku yang tak sempat kuberi nama itu membiru akibat mengalami sesak nafas karena ada cairan lambung yang masuk kedalam paru parunya setelah satu jam saat ia dilahirkan. Sedangkan istri ku mengalami pendarahan yang hebat akibat proses persalinan yang dialaminya terlalu lama dan tidak sempat dilarikan kerumah sakit. 
Ada rasa sesak dalam dadaku, dan tiba-tiba saja mataku terasa sembab mungkin karena sedikit kemasukan debu. Aku memang seorang ayah yang jahat. Seandainya saja pada saat itu aku berada didekat mereka, seandainya saja pada saat itu aku bisa pulang kerumah lebih cepat, seandainya saja pada saat itu aku punya banyak uang, dan seandainya saja aku bukan seorang sopir truk tapi manusia berdasi dengan segala kemewahannya. Mungkin sekarang mereka masih disini, masih bersamaku, masih bersama Ani atau mungkin setidaknya aku dapat mendengar tangisan pertama putraku. “Maafkan ayah, Raka” (tertulis dibelakang dinding trukku).