Oleh: Nor Raisyah Isma
Hari ini mungkin tak seperti hari-hari biasanya. Terasa lebih bersinar matahari siang ini membuat aku merasa semakin haus. Lelah dan penat merasuk menjadi satu. Akhirnya sampai juga ku di depan kompleks perumahan tempat tinggalku. Dari arah belakang mobil melaju begitu cepat. Aku terkejut. Mobil berwarna merah itu terus melaju dan baru berhenti di depan rumah itu. Ya, rumah yang sudah sebulan ini tidak berpenghuni. Rumah yang berada tepat disebelah rumahku.
Aku duduk kelelahan di depan rumah. Kudapati mereka, tetangga baruku itu sedang berbenah. Sambil mengangkat barang-barang yang ada di mobil, wanita yang lebih tua itu terlihat tersenyum kepadaku. Aku membalas senyum ibu itu. Aku merasa ada yang lain dari keluarga ini. Tapi, aku tak tahu. Entahlah. Hingga tanpa ku sadari, adikku sudah berada di dekatku sambil menarik-narik tas dan mulai membuka isinya. Ku hanya tersenyum melihat tingkah lucunya. Aku pun beranjak masuk dan ku pegang tangannya erat-erat.
Hari telah berganti. Pagi kembali menyambutku, menyerukan senandung gembira. Aku bergegas akan pergi ke sekolah. Sebelumnya ku cium dulu tangan ibu. “Fahmi, berangkat dulu ya, Bu. Assallamu alaikum,” kataku. “Wa’alakumussalam. Hati-hati di jalan, Nak,” balas Ibu.
Tak ada kendaraan yang ku naiki karena memang aku terbiasa berjalan kaki. Sekolahku, SMPN 5 memang dekat dengan rumah. Paling-paling 10 menit sampai. Ku langkahkan kaki lebih santai. Ku rasakan kehangatan pagi yang begitu menyegarkan. Inilah mengapa aku lebih menyukai jalan kaki dibandingkan berkendaraan.
Kembali, ku lihat mobil merah itu. dari kaca mobil terlihat dua orang anak berseragam duduk di belakang dan di depan seorang bapak yang menyetir mobilnya. Mobil itu berhenti tepat di depan sekolah yang tak asing lagi bagiku. Ya, sekolahku sendiri.
Aku ingin sekali melihat wajah anak itu yang sepertinya sebaya denganku. Tapi, tepukan keras di bahuku secara tiba-tiba membuyarkan semua keingintahuan ini. Dua orang sahabat karibku kini mengapitku. Yang satu merangkulkan tangannya ke pundakku.
Mi, besok kan kita ulangan matematika. Untuk itu kau harus ajarkan aku yang tak aku paham. “Ayolah,” minta Dodi yang semakin merangkul erat tanganku.
Kami tahu Fahmi yang satu ini pasti tak akan mau menyontekkan jawabannya. Bagimu, kejujuran itu lebih penting. Benarkan. Makanya, bantulah kawan-kawan mu ini. “Ajari kami..,” tambah Dika sambil berlagak tak karuan.
“Iyaaaa, nanti aku ajarin. Ayo kita masuk, sebentar lagi bel berbunyi,” kataku tersenyum sambil merangkul pundak kedua temanku.
Sesampainya di kelas, suasana seperti biasa. Ribut dan masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Ada yang membentuk lingkaran dan asyik membicarakan sesuatu yang akupun tak mengerti. Ada yang asyik membuka hp, berbanding terbalik dengan yang begitu sibuk membuka buku dan catatannya. Begitulah lah kami, VIII B. Kadang memang masing-masing sibuk sendiri. Tapi, jangan salah dalam hal kebersihan ataupun lomba tahunan yang diadakan sekolah kami pemenangnya. Dimata guru-guru, kami dikenal kompak dibandingkan kelas yang lain.
Sejurus kemudian, datang ibu baik hati. Ibu wali kelas yang sangat kami cintai karena kesahajaannya, ibu Muthmainnah. Dengan senyum simpulnya, beliau berkata,”Anak-anak, ini teman kalian yang baru. Perkenalkan, namanya Darma Adji. Biasa dipanggil Darma”. Kamu bisa duduk di.. emmm, ya duduk dengan Fahmi. Fahmi, kamu tidak keberatan kan, Nak?, tanya beliau.
“Iya, Bu,” sambil ku anggukan kepalaku. Sudah lebih dari tiga hari Rasyid, teman sebangku tidak ke sekolah. Katanya dia pindah ikut orang tuanya yang pindah kerja dan sayangnya dia tidak bisa berpamitan dengan kami semua.
Darma, anak baru itu kini sudah duduk tepat di sebelahku. Tanpa canggung dia menyalamiku sambil memperkenalkan diri. Dia juga terlihat akrab dengan kedua sahabat karibku. Siapa lagi kalau bukan Dodi dan Dika.
Kemarin aku melihatmu berjalan kaki menuju rumah…,”katanya. Oh, iya. Aku ke sekolah jalan kaki. Habisnya dekat sih, eh, rumah kita bersebelahan lo,” jawabku. Ohhh ya, aku melihatmu duduk di depan rumah saat itu tapi saat itu aku canggung untuk menegurmu.. Emmm, aku masih begitu gak mengenal daerah sini..”balasnya. Nanti kita jalan-jalan yuk. Aku ajak ke tempat yang menarik di daerah sini..,” timpalku. Boleh ..,”katanya.
Tanpa sadar, aku melihat kalung yang dipakainya. Kalau yang begitu sakral. Kalung yang menjadi identitas dirinya, kalung salib. Aku tak mempermasalahkannya. Selama kita masih bisa berteman tanpa saling mempermasalahkan agama, kenapa tidak. Toh, dia tidak merasa terganggu dengan keadaannya. Kenapa aku harus risih dna mencoba menjauh darinya.
Tak terasa sudah tiga bulan lebih kami berteman sejak kedatangannya. Bulan sudah berganti. Bulan ini awan selalu saja terlihat sendu. Selalulah hujan membasahi bumi. Beginilah Desember memperkenalkan diri. Dingin, sendu, menyelimuti kalbu.
Hingga di suatu malam, aku masih ingat saat itu. Saat dimana percakapan kami begitu seru. Ibu menyuruhku makan bersama dan kami seperti biasanya mulai larut dengan perbincangan hangat. Seperti biasa, ayah akan langsung menanyakan hal-hal apa saja sebagai pembuka. Tapi pertanyaannya yang ini terdengar begitu krusial bagiku. Ayah bertanya,” Masih berteman kah Fahmi sama anak tetangga sebelah, eh siapa itu namanya, eemm Darma yaa kalau gak salah namanya. Bagaimana dia ?
“Masih, yahh. Anaknya juga baik, seru, asyik diajak ngobrol.,” jawabku. Emm, lalu agamanya..?,” tanya ayah.. Agamanya,” ulangku. Iya agamanya,” ayah mengulangi sambil tersenyum.
“Emm, gak masalah. Kami masih tetap berteman. Lagi pula dia gak pernah menghasut Fahmi untuk beribadah seperti yang dia lakukan. Saat hari Jum’at, dia mau mengajak Fahmi jalan-jalan siang, Fahmi jawab kalau gak bisa karena Fahmi mau pergi shalat Jum’at dan dia tidak marah. Dia memberikan kebebasan kepada Fahmi untuk beribadah. Begitu juga saat Fahmi mau ngajak dia pagi Minggu, dia bilang gak bisa karena harus ikut ibadah Minggu pagi dan Fahmi juga gak marah…,”jawabku lengkap.
“ Lalu, bagaimana dengan mereka yang risih melihat kalian..?, tanya Ayah lagi.
“ Tidak peduli, toh siapa mereka yang bisa seenaknya saja mengatakan dia seperti ini, dia seperti itu. Apa hak mereka.. Mungkin Darma bisa berteman dengan Fahmi, bisa membuat Fahmi senang bertemannya dengannya. Tapi tidak untuk mengambil hati dan keyakinan Fahmi. Kami akan tetap berteman selama dia tidak mengganggu aktivitas beribadah Fahmi, begitu juga dengannya. Kan, begitu menyenangkan jika hidup ini damai walaupun berbeda. Kalau, ayah bagaimana ?,” aku balas bertanya.
“Ayah senang dengan jawabanmu. Tak apalah kalau hanya sekedar berteman, tapi tidak untuk agama. Toh, benar seperti yang kamu bilang tadi Fahmi, kalau hidup ini indah jika kita tidak saling mengganggu aktivitas masing-masing. Intinya sih saling menghargai,” jawab ayah mengena.
Akhir-akhir ini malam terasa semakin dingin saja. Hingga aku kembali teringat kejadian yang begitu membekas. Malam itu udara terasa semakin dingin. Suasana yang sama seperti malam ini. Senyap dan sunyi. Saat itu begitu menggetarkan. Saat dimana adikku berjalan-jalan menyusuri jalan raya dan terlihat begitu senang. Anak kecil yang begitu lucu. Seketika, dari arah berlawanan mobil hitam melaju semakin kencang dan akan menabraknya.
Tapi syukurlah dengan cepat seorang laki-laki mengangkat tubuh mungilnya dan mendorongnya menjauh dari jalan. Laki-laki yang sangat ku kenal, yang begitu baik. Temanku, Darma Adji.. Dia yang malam itu mengaku kepadaku bahwa dia merasa tidak nyaman hingga membuatnya pulang sebelum misa Natal berakhir. Tak ada lagi kata yang bisa ku katakan saat itu selain ungkapan terima kasih. Aku sangat-sangat berterima kasih dengan apa yang telah dia lakukan. Kebaikanmu, ya kebaikanmu tak bersyarat. Terima kasih…