Namaku Nadi, usiaku 19 tahun. Tidak seperti anak-anak lainnya, aku memiliki prestasi yang berbeda. Aku adalah seorang penari dan tari yang kugeluti bukan tari sembarang tari. Aku melakukan tari khusus, ritual tradisional yang bertujuan membuat orang sakit. Namun, kalian takkan menemukan namaku di internet ataupun rekor muri, tapi kalau kalian menanyakan namaku pada orang-orang di desa ini dan di beberapa desa tetangga, mereka bisa menjelaskan siapa aku dan apa keahlianku.
Upacara pertama kulakukan saat berumur 16 tahun. Ketika itu, aku tinggal berdua dengan nenekku setelah kedua orang tuaku bercerai. Nenek bersikap semena-mena denganku membuatku geram. Saat itulah aku menemukan buku usang di lemari milik almarhum kakek. Aku mencoba menirukan gerakkan yang ada pada gambar dalam buku itu, beberapa jam kemudian nenekku meninggal. Tentu saja tak seorangpun menyadari perbuatanku.
Target kali ini ialah seseorang yang cukup terkenal di daerahnya. Seseorang yang memiliki kebiasaan bermabuk-mabukan, berjudi dan main perempuan. Hingga kebiasaannya tersebut membuat anak dan istrinya nekat bunuh diri karena tak tahan menanggung malu dan hinaan dari masyarakat. Oleh sebab itu, tuan yang merupakan saudara iparnya berambisi untuk membuatnya lumpuh dan tersiksa sepanjang hidup. Setelah mendengar kisahnya aku berinisiatif memberikannya bonus dengan merusak wajahnya, agar para selingkuhannya kabur tak bersisa.
“Non, saya sudah siapkan semuanya,” ujar seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah pelayan di rumah ini.
“Saatnya bekerja,” kataku seraya menjinjing ujung gaun agar tidak kotor terkena lantai. Salah satu syarat ritual ini adalah aku harus mengenakan pakaian serba putih dari ujung
kepala hingga kaki, tak terkecuali.
“Dimana tuanmu?” tanyaku seraya mengurai rambut panjangku, lalu mengikat kembali dengan benang putih.
“Sedang menuju kesini, Non. Mari saya antar ke ruangan bawah tanah, diujung lorongnya terdapat sebuah kamar yang cukup luas. Nanti tuan akan menyusul,” kata pelayan.
Aku mengangguk dan segera mengikutinya. Itulah tempat pentasku hari ini.
Pintu ruangan telah terbuka. Aku dipersilahkan masuk terlebih dahulu. Kupandangi seluruh sudut ruang kosong itu, seluruh dindingnya dicat putih sesuai permintaanku. Di lantai terdapat 2 mangkok besar yang terbuat dari kayu, yang satu berisi selendang 7 warna dan yang satunya lagi berisi bunga 7 warna.
“Apa ada yang kurang, Non?” tanya si pelayan.
“Tidak.Namun, pastikan tak seorangpun masuk ke ruangan ini sebelum mendapat izin dariku. Siapapun itu, termasuk tuanmu.Jangan coba-coba jikatak mau kehilangannyawamu. Mengerti?” ujarku.
“Baik,” jawabnya dengan wajah memucat. Kemudian mundur dan mengunci pintu dari luar.
Aku tidak membunuh mereka, aku hanya membuat mereka sakit. Kebanyakan dari mereka sembuh beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian, bahkan tidak pernah sembuh sama sekali.
Target kedua adalah seorang buronan pemerkosa gadis dibawah umur. Aku menemui gadis yang merupakan korban dan menawarkan pertolongan padanya, dengan syarat bahwa bayi yang dikandungnya harus tetap dibiarkan hidup.
Orang tua si gadis berterima kasih karena aku sudah membuat pelaku itu sakit parah dan ia menceritakan jasaku pada orang lain, sehingga aku mendapat banyak sekali panggilan.
Hanya saja, sudah beberapa hari ini aku mendapat permintaan yang tak mungkin kupenuhi. Seorang wanita memintaku untuk membunuh suaminya agar warisan suaminya itu jatuh padanya. Wanita itu selalu memakai alat perubah suara saat menelpon, tentu saja aku makin ragu, jangan-jangan dia bukan orang biasa. Lagipula mengapa ia tega ingin membunuh suaminya hanya demi harta?
Kriinggg… kriinngggg.. HP-ku berbunyi.
Setelah menengok ke layar yang tertera, aku tak berniat untuk mengangkatnya. Wanita itu lagi. Namun, nada dering terus berbunyi dan akhirnya aku terpaksa mengangkatnya.
“Halo?” Aku mengangkatnya dengan ogah-ogahan.
“Halo Putri Semanggi, ini saya, Saya mohon terima tawaran ini, jika tidak kamu akan…” ujarnya belum selesai mengutarakan.
“Maaf, saya tetap tidak bisa.” Aku menutup telepon sepihak.
Keesokan harinya.
Trriiinnggg… Trrinnggg… Alarm HP-ku berbunyi menandakan pukul sembilan pagi. Saat itu aku ada kelas setengah jam lagi. Kuambil tasku dan bersiap berangkat ke kampus. Saat mengunci pintu kamar, terlihat lorong kos-kosan begitu sepi karena yang lainnya sudah berangkat sejak tadi pagi.
“Aaaa…”
Terdengar teriakkan dari kamar sebelah yang merupakan kamar Rida, teman akrabku di Kos ini. Aku segera berlari ke arah suara. Kucoba membuka pintu yang ternyata tak terkunci. Tepat di atas ranjang, Rida tengah tewas bersimbah darah, dengan pisau menancap di tubuhnya.
Buggh!
Sesosok manusia bertopeng dan berambut panjang memukulku dari belakang hingga aku tak sadarkan diri. Saat bangun, aku sudah di dalam ruangan dingin tanpa alas dan dikelilingi jeruji besi.
“Selamat siang. Besok kamu akan diperiksa oleh polisi sebagai tersangka utama,” ujar Polisi wanita memberitahuku diiringi oleh seorang wanita yang memandangku sinis.
“Aku dijebak oleh pembunuh Rida. Lalu, siapa wanita dibelakang polisi wanita itu? Sepertinya aku mengenalnya,” ujarku dalam hati.
Keesokkan harinya, petugas membuka gembok sel. Kemudian, mengantarku ke ruang interogasi.
Aku dinyatakan bersalah dan mendapat putusan sepuluh tahun penjara. Ketika keluar dari ruang persidangan, aku bertemu dengan seorang wanita yang beriringan dengan polisi wanita kemarin. Ia mendekat dan berbisik padaku.
“Rasakan! Ini akibatnya kau tak memenuhi perintahku,” ujar wanita itu.
Aku hanya terdiam sambil mengingat-ingat. Beberapa saat kemudian barulah aku ingat. Namun petugas kembali membawaku ke sel.
“Oh, rupanya kau. Kau yang selalu mengganggu waktuku dengan menelpon dan memaksa membunuh suami sendiri,” ujarku sambil berlalu.
Aku mengenali wanita itu karena kebetulan dia pernah menelponku dengan videocall.
Aku tak bisa menari di penjara, persiapan yang harus kugunakan tak tersedia disini, dan aku tak punya teman untuk dimintai pertolongan. Semua orang hanya tahu kalau aku pelaku kasus pembunuhan Rida.
Tiba-tiba aku ingin menghubungi ibuku lagi, ini yang kedua kalinya sejak pertama aku masuk penjara satu tahun yang lalu. Aku mencoba meminjam telepon dengan petugas. Petugas itu pun meminjamkan HP-nya. Aku mulai mengetik nomor HP ibuku yang untungnya tak pernah berganti dari sebelum kami terpisah.
Tut… Tut… Kukumpulkan nyali untuk bicara pada ibu yang mungkin ini terakhir kali aku berbicara padanya.
“Halo?” terdengar suara ibu di seberang sana.
“Bu, ini Nadi,” ujarku.
“Apa uang yang kemarin dikirimkan cukup ?” tanyanya.
Air mataku menetes, tidak bisakah dia menanyakan keadaanku terlebih dahulu?
“Halo, ada apa kamu menelpon siang-siang begini? Ganggu waktu tidur ibu saja,” lanjutnya.
“Nadi mau minta maaf, semoga setelah ini Ibu dan Ayah gak marah-marah lagi kalau mendengar nama Nadi,” ujarku sambil menahan isak tangis.
“Ngomong apa sih anak ini ?” ujar ibu Nadi kesal lalu menutup teleponnya.
Aku minta diantar ke ruang pengasingan sebentar, dengan alasan untuk menenangkan diri sebentar.
“Jangan lama-lama ya,” ujar seorang sipir perempuan.
Aku mengangguk. Setelah tiba di ruang pengasingan yang sebelas dua belas dengan gudang, aku melihat sekeliling. Aku menemukan kursi. Kemudian membuka lemari yang ada di sana.
Sempurna. Aku menemukan tali untuk mengakhiri kisah hidupku.
Kuikatkan tali tersebut pada sekat-sekat kayu di atas kepalaku. Kemudian, aku memasukkan leherku ke lingkaran tali, nafasku tegang tak beraturan, kutendang kursi yang kupijak hingga tubuhku melayang hilang arah. Sakit sekali, tapi ini jauh lebih baik, pikirku.
“Hidup ini sulit, dan aku tak ingin membuat hidupku semakin sulit. Semoga setelah ini aku bisa tenang, ya semoga saja,” batinku.
Oleh: Gloria Lanina