LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Masih Perawankah Hutan Kita?

Oleh : Ramona Safitri
Tidak tahu, atau tahu tapi pura-pura tidak tahu. Atau jangan-jangan sangat mengerti tapi dengan sengaja tidak peduli? Apa bedanya? Kalau kalian tidak tahu maka berusahalah untuk mencari tahu, dan kalau kalian tahu tapi pura-pura tidak tahu maka cobalah untuk merobek dan mengoyak mata hati kalian, barangkali disana masih terdapat secuil hati nurani, dan jika kalian sudah sangat mengerti tapi dengan sengaja tidak peduli maka kalian adalah sampah yang tergenang dipermukaan air saat banjir, asap hitam diudara saat kebakaran hutan, dan gumpalah tanah kotor yang menggeliding saat longsor karena hutan gundul. Itulah status yang tepat untuk para oknum yang memasukkan alat berat kekawasan hutan untuk mengeksploitasi hutan sehingga istilah hutan gundul pun menjadi status tetap untuk hutan di Kalimantan Selatan saat ini. 
Sebelumnya Kalimantan Selatan secara umum merupakan kawasan hutan terbesar di Indonesia, namun akibat penebangan dan kebijakan yang salah kini kawasan hutan tersebut nyaris hilang. Hutan di Kalimantan Selatan memiliki struktur yang utuh, rapat, padat dan berpotensi besar. Hutan yang sangat mempesona nan serasi ini mungkin akan membutuhkan waktu ribuan tahun untuk pemantapannya. Berbagai jenis kayu hidup bergantian, tumbuh kembang. Mereka seakan-akan menjadi satu kesatuan hutan yang saling melindungi. Didalam hutan jika kita dapat membaca secara arif maka kita akan merasakan kehidupan yang tak terjamah. Suatu perpaduan yang harmonis, kehidupan luar biasa yang akan binasa jika para pemerintah dengan segala kebijakannya tidak memiliki komitmen yang jelas untuk melestarikan hutan.  
Menurut catatan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Kalsel, dari 1,8 juta hektare (ha) kawasan hutan yang ditetapkan pemerintah, hanya tersisa sekitar 300.000 ha hutan perawan. Dan kawasan hutan perawan tersebut hanya tersisa di puncak Pegunungan Meratus. Hutan perawan merupakan hutan dengan kerapatan utuh 100 persen sehingga sinar matahari tidak tembus kebawah dan menyebabkan daun-daun lapuk selalu basah walau di musim kemarau sekalipun sehingga tidak mudah dilalap api. Lebatnya hutan di Kalimantan Selatan oleh tumbuhan hijau memberikan suplai oksigen bagi manusia sehingga dulunya hutan di Kalimantan Selatan disebut-sebut sebagai sumber oksigen atau paru paru dunia. Namun sekarang hutan di Kalimantan Selatan telah dicukur habis layaknya kepala botak yang berkumis oleh para oknum yang tak bertanggung jawab. 
 Sebenarnya, apapun itu yang kita lakukan terhadap hutan baik ladang berpindah, perambah hutan, penebang liar, lahan perkebunan, produksi bahan bangunan seperti balok-balok ulin dan ekploitasi hutan oleh pemilik HPH (Hak Pengusahaan Hutan) kesemuanya itu akan mengganggu ekosistem dan merusak habitat hutan. Perbedaannya hanya terletak pada besar-kecilnya kerusakan yang ditimbulkan akibat permanfaatan hutan tersebut. Namun sejauh yang saya ketahui ladang berpindah dan penebangan hutan liar bukanlah penyebab utama rusaknya hutan di Kalimanta Selatan saat ini. Berladang bagi masyarakat dayak (Kalimantan Selatan) merupakan suatu keharusan alami, dan berladang bagi mereka merupakan suatu keperluan pangan bukan komersil. Mereka mencukupi kebutuhan mereka hanya dengan mengambil segala sesuatu yang bernilai ekonomis yang ada dihutan. 
Lain halnya dengan alasan para penghuni kawasan hutan yang berladang demi memenuhi kebutuhan pangan maka untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lainnya merupakan alasan kuat bagi mereka untuk memanfaatkan sumberdaya hutan lainnya. Namun bagi mereka yang memanfaatkan kawasan hutan dengan menebang pohon secara manual (tradisional) adalah merupakan suatu tuduhan yang tidak adil jika hanya kegiatan berladang dan penebangan liarlah yang menjadi sorotan penuh atas rusaknya hutan di Kalimantan Selatan saat ini. Karena jelas dalam berladang, bekas ladang di tepian hutan akan ditumbuhi rumput dan tanaman muda yang akan menjadi lahan santapan yang sangat diperlukan marga satwa penghuni hutan sehingga menjadikan kawasan ini sebagai ekosistem yang sangat harmonis. Sedangkan untuk penebangan liar masyarakat yang hanya memanfaatkan cara manual dalam menebang pohon tidak akan sanggup mengambil kayu yang jaraknya melebihi 500 m dari anak sungai, apalagi kalau sudah dibatasi bukit. Lalu bagaimana dengan efek yang ditimbulkan dari penebangan pengusaha HPH yang sama sekali nyaris tidak terdengar habar bunyinya. Apakah mungkin penebangan yang dilakukan pengusaha HPH yang melakukan eksploitasi hutan dengan menggunakan alat berat yang terancang dengan sangat modern dan canggih tidak menimbulkan kerusakan yang parah terhadap hutan? Atau mungkin telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah namun disembunyikan? Apa yang disembunyikan? Hutan gundul? Atau banjir dimusim hujan? Atau kekeringan dimusim kemarau? Kalau memang pelaku yang mengakibatkan kerusakan hutan tersebut disembunyikan, lalu siapa yang menyembunyikan? 
Kebanyakan dari mereka yang melakukan penebangan hutan liar merupakan masyarakat dengan perekonomian yang rendah sehingga ketika diberi modal oleh seseorang untuk menebang maka mereka akan menebang, Jadi seolah-olah penebangan dilakukan oleh rakyat. Padahal rakyat hanya menjadi kambing hitam. Lalu siapakah orang atau pengusahanya dan dimana lokasinya mungkin kebanyakan orang sudah tahu dan bahkan pihak kepolisian pun juga sudah tahu. Hanya saja untuk mencari bukti kuat untuk menyeret pelaku yang sebenarnya bukanlah suatu perkara mudah. Hingga kini, walaupun para penegak hukum menyatakan perang terhadap penebang liar dan penambang liar yang merupakan prioritas pertama, tetap saja ada cukong- cukong yang tak tersentuh oleh badan hukum. 
Kita tidak dapat mengukur berapa juta pohon yang sudah dibabat dan bukan rahasia umum lagi jika illegal logging (pembalakan liar) dan penyitaan kayu kayu illegal pada akhirnya tetap lolos bahkan kayu hasil sitaan dilelang dan ditebus kembali oleh para cukong. Kita juga tidak dapat merincikan bagaimana kejahatan KKN di instansi kehutanan, perilaku tidak bijak dalam mengelola hutan atau manipulasi data dan dokumen di mana terdapat kayu yang tidak memiliki dokumen resmi atau dokumen kayu yang volumenya lebih kecil bisa melindungi kayu yang volumenya lebih besar.
 Antara ada dan tiada itulah ucap sebagian besar masyarakat Kalimantan Selatan mengenai hutan mereka. Yang menghijau kini memudar, yang sejuk kini menjadi gersang dan yang mempesona kini telah menua. Pohon-pohon besar dan kecil ditebang dan tidak ada regenerasi menyebabkan banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau. Hutan di Kalimantan Selatan yang terbuka dalam hamparan yang luas seperti pasca eksploitasi HPH, dengan kerapatan dibawah 50 persen menyebabkan dedaunan busuk dengan humus yang tebal, ranting dan dahan menjadi kering lekang sehingga dengan pemantik kecil saja kawasan ini akan segera terbakar. 
Dalam mengelola hutan kepentingan ekonomi lebih dominan daripada kepentingan ekologi, sehingga kerusakan hutan tidak bisa dihindari. Penegakkan hukum yang lemah, birokrasi liar, tidak ada koordinasi, komitmen, kerancuan wewenang antara pusat dan daerah, tumpang tindih perizinan serta masyarakat yang masih belum mempunyai rasa kepemilikan atas hutan mereka membuat hutan di Kalimantan Selatan menjadi bobrok dan bahkan mungkin telah hilang. Lalu sampai kapan perilaku kejahatan terhadap hutan akan dibiarkan? 
Ketidak tahuan atau ketidak pedulian mereka atau apapun itu yang membuat mereka tidak takut membabat habis hutan telah merugikan semua kalangan dan bahkan untuk dirinya sendiri dikemudian hari. Hutan-hutan di Kalimantan Selatan telah beralih fungsi mulai dari lembar daun yang hijau berubah menjadi lembar tipis kertas merah yang terselip dikantong para manusia jalang. Tapi bukankah adalah suatu keharusan bagi kita yang masih berfikiran waras untuk membudidayakan apapun itu yang setidaknya dapat meminimalisir kerusakan hutan misalnya saja dengan penghijauan kembali dengan menanam pohon jarak dan pembangunan hutan-hutan buatan. Namun terlepas dari itu semua kita harus terlebih dahulu menumbuhkan komitmen yang jelas dan berakar, sehingga dengan itu semua bukan tidak mungkin kita dapat menghijaukan kembali Kalsel kita atau setidaknya mengurangi kerusakan yang ada. Dan mulai sekarang berhentilah mengganggu kami, cintailah hutanmu, dan biarkan kami tumbuh. 
 *sumber gambar dari google