LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

 Oleh Siti Nurdianti

“membiarkan anak kita tanpa pendidikan sama dengan melepaskan orang buta di belantara kota”
Demikianlah kurang lebih kalimat yang diucapkan oleh guru SMA saya. seseorang tanpa pendidikan dianalogikan sebagai orang buta, yakni orang tak mampu melihat dan memahami keadaan di sekitarnya, sehingga ketika dilepas atau dibiarkan di tengah kota maka ia akan kesulitan.

Penghabisan bulan juni 2015 saat liburan kuliah saya menyempatkan diri mampir di tempat Sahabat di kabupaten Lumajang. Saya memanggilnya Teh Nay. Seorang pendamping Program Keluarga Harapan yang diadakan oleh Kementerian Sosial di desa yang sejuk  di kecamatan Klakah. Tepatnya di desa Tegal Ciut. Ada sebuah kehidupan sederhana yang menggelitik saya untuk menuliskannya.
Berawal dari ajakan Teh nay untuk mengunjungi seorang gadis yatim piatu yang menjadi tulang punggung untuk adik dan neneknya untuk meyakinkannya agar mau melanjutkan sekolah nya yang telah putus. Namanya Anisa, gadis 12 tahun yang telah dua tahun putus SD dua tahun lalu. Tentu, saya sangat antusias menyambut ajakannya.
Pagi itu matahari terlihat perkasa. Perjalanan kami  mengendarai sepeda motor ditemani debu dari tanah yang berterbangan karena kemarau. Kami memasuki desa yang jalan aspalnya berlubang-lubang. Tak ada ruang sama sekali untuk memilih jalan.
Kami tiba di rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Di sana kami disambut oleh seorang laki-laki setengah baya yang mengaku pamannya Anisa dan mempersilakan kami masuk . Di rumah itu ada sebuah dipan, meja, dan  kursi yang sudah terlihat sangat tua. Kami duduk di kursi itu.  Tampaknya, yang lantai yang diplester hanya sebatas ruang tamu. Di dapur lantainya masih berupa tanah.
Tak lama, seorang nenek tertatih-tatih membungkuk keluar dari arah dapur dan duduk di dipan. Kami menyalaminya dan memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa kedatangan kami untuk mencari cucunya. Sepertinya, pendengaran dan penglihatannya sudah tidak begitu waspada.
Gadis itu akhirnya datang bersama adik laki-lakinya yang langsung menghambur ke pelukan Teh Nay. Lalu si kecil, duduk di pangkuannya.  Mereka terlihat sangat akrab.
Setelah sedikit berbasa-basi tentang kegiatannya sehari-hari, Teh Nay langsung menuju pokok persoalannya. Mengajak Anisa untuk melanjutkan sekolahnya yang putus dua tahun lalu. Namun ia terus saja mengelak dan terus menerus beralasan. tentu saja; ia tidak memiliki biaya dan tidak ada yang membiayai.  
Ia tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk adik dan neneknya.  Meski ia punya bibi dan paman, namun mereka juga bukan orang yang mampu menyekolahkan sekaligus menafkahi mereka. Mau tak mau ia harus bekerja menafkahi nenek dan adiknya.
Sungguh sulit membujuknya meski kami telah berusaha menjelaskan dengan kalimat yang sederhana betapa pentingnya pendidikan. Pendidikan formal yang di zaman ini telah difungsikan sebagai alat pengubah nasib seseorang.
 Yah, setidaknya untuk mengubah nasib hidupnya sendiri dan keluarga dekatnya di masa depan dengan bertemu banyak orang dan menambah wawasannya tentang hidup yang tengah dijalaninya. Untuk itu kami memberikan solusi-solusi untuk permasalahan-permasalahnnya untuk tidak memikirkan biaya sekolahnya. Namun ia terus saja berkata lelah dan tak mau melanjutkan sekolah.
Jantung saya tiba-tiba berdebar. Bagaimana seorang gadis belia benar-benar mampu melewati kehidupan seperti ini? Tentu, ia sudah banyak berkorban untuk orang-orang di sekitarnya.
Bagaimana mungkin nurani saya membiarkan saya  untuk berdiam diri. Saya berusaha mengajaknya berbicara dengan sangat hati-hati dan intens. Terang permasalahannya,  sebenarnya ia sangat ingin sekolah namun takut berkata dengan bibinya. Walau bagaimana juga, bibinya yang tetap bertanggung jawab atas kehidupannya sebagai orang terdekat.
Memang, dalam kondisi seperti itu mungkin memang sangat sulit untuk memikirkan keperluan sekolah. Karena untuk makan sehari-hari pun bibinya belum tentu ada. Nanti siapa yang akan mengurus dan memberi uang sakunya  sekolah adiknya? Oleh karena itu, bibinya tidak setuju Anisa melanjutkan sekolah dan harus tetap bekerja membantu bibinya untuk menafkahi keluarganya.
Kalimat yang telahkami tunggu-tunggu itu keluar juga dengan malu-malu;
“saya mau, jika diizinkan oleh bibi.”
Saya lega setelah merasa ikut menanti keputusannya selama berbulan-bulan agar mau melanjutkan sekolah. Namun permasalahan kini telah berganti. Bagaimana kami bisa meyakinkan hati bibinya agar mengizinkan Anisa untuk melanjutkan kembali sekolahnya?
Akhirnya usaha kami bertemu dengan jalan gantung hari itu. Mau tak mau kami harus kembali.
Sepanjang perjalanan pikiran kami tidak bisa lepas dari Anisa. Bagaimana kehidupannya di masa depan? Kami sama sekali tidak mempunyai hak untuk menghakimi dan menentukan kehidupan orang lain. Tapi setidaknya generasi muda Indonesia harus diperhatikan. Anisa masih beruntung, terdaftar sebagai peserta Program Sosial dasn mendapatkan pendamping yang sangat peduli dengan pesertanya.
Saya sangat yakin, masih banyak Anisa-Anisa lain di Indonesia yang sama sekali berjalan tanpa didampingi dan diperhatikan oleh siapapun.
Barito Kuala, September 2015