Oleh: Marfuah.
Sumpah pemuda, seperti namanya dirumuskan oleh para pemuda pada 28 Oktober, 87 tahun silam. Menjadikannya sebagai dasar untuk membangkitkan rasa nasionalisme, para pemuda berjuang bersama-sama dengan landasan tekad untuk bersatu dan semangat persatuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Bangsa Indonesia khususnya para pemuda perlu tahu makna dibalik sebuah kalimat yang merupakan ikrar pemuda Indonesia, ditulis oleh Moehammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir Kongres Pemuda II pada tahun 1928, yang berbunyi (dengan ejaan yang telah disempurnakan) :
“Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Ikrar yang selalu di ulang setiap tahunnya kini, apakah hanya sebatas ikrar yang dibacakan pada upacara pagi 28 Oktober dan hanya sebatas diperingati lalu menjadi sebuah narasi tak berarti? Masihkah ada pengakuan untuk bertanah air yang satu, berbangsa yang satu dan berbahasa yang satu?
Tak sedikit para pemuda kita bahkan untuk tahu apa itu isi sumpah pemuda saja masa bodoh, apalagi untuk mengerti sebuah makna dibalik ikrar yang merupakan tonggak utama pergerakan kemerdekaan Indonesia dan dapat merefleksikannya di hari-hari kemerdekaan ini.
Tidak perlu jauh-jauh untuk merasakan tanah air yang satu dan menghargainya, cukup dengan menjaga sumberdaya yang ada dibumi pertiwi ini saja, tanpa melakukan eksploitasi alam yang berlebihan. Contoh yang kini sedang kita hadapi adalah kabut asap yang menutupi udara bersih wilayah Kalimantan dan sekitarnya. Tanpa peduli dengan masyarakat lain yang tidak bisa menghirup udara bersih, oknum-oknum tak bertanggung jawab demi memperkaya dirinya sendiri mengidupkan api dilahan tak berpenghuni membuat kabut besar penuh penyakit yang dapat mematikan. Disinilah peran pemuda untuk sadar, memilah-milah mana yang benar, mana yang salah. Toh, nantinya pemuda sekarang lah yang akan memimpin negeri ini. Bagaimana berbuat untuk kepentingan diri sendiri tanpa mengusik kenyamanan saudara setanah airmya.
Ketika kita, seorang yang dilahirkan di tanah Indonesia pernahkan kita merasa iba dengan keadaan yang ada disekitar kita. Ketika kemiskinan dan pengangguran masih menjadi faktor momok bagi negeri ini dengan mental pegawai yang dimiliki sebagaian besar bangsanya. Disini bukan hanya peran pemerintah, namun kita sebagai rakyatnya tidak hanya menunggu untuk disuapi namun belajar untuk bangkit menciptakan lapangan kerja tidak hanya untuk diri sendiri namun untuk yang lain juga, dibanding hanya berfikir dengan kegalauan pribadi saja ataupun menunggu dengan ongkang-ongkang kaki di warung kopi pinggir jalan.
Bahkan, ketika Bahasa Indonesia tak lagi dijunjung, sedangkan bahasa asing menjadi bahasa lumrah di pakai sebagai selingan sehari-hari dan merasa bangga bisa berbahasa asing. Tidak mudah memang menepis arus globlalisasi yang selalu datang memengaruhi pemuda kita, apalagi dalam bidang bahasa. Dengan niat peduli rasa tulus cinta terhadap Bahasa Indonesia kemudian menularkannya pada paling tidak orang disekitar kita untuk berbahasa persatuan, Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa.
Sebagai pemuda yang hidup di masa kemerdekaan, kita harusnya malu dengan pemuda yang susah payah berjuang di zaman penjajahan dan dapat berkaca dari semangat perjungan mereka.
Seperti yang Soekarno ungkapkan dalam pidatonya “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” dimana pentingnya kaum muda sebagai penerus tonggak perjuangan, dan sebagai agen perubahan dalam melihat situasi yang sedang dihadapi bangsanya. Bukan hanya mengkritik, namun juga melakukan dengan aksi nyata.