LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Belajar Berbhinneka dari Desa Kapul

Desa Kapul

Jum’at 29 Oktober 2016. Pukul 22.30 di  Desa Kapul, Kecamatan Halong, Balangan

Penatnya tubuh terlipat-lipat selama delapan jam perjalanan di dalam Taksi L 300 sejak keberangkatan dari halaman GSG kampus Unlam Banjarmasin sirna sudah. Aku dan kawan-kawan sejurusanku telah tiba di Desa Kapul. Desa yang menjadi tujuan kami melakukan kuliah lapangan. Kuliah rutinitas.

Desa Kapul

Tabuhan musik pengiring Aruh Mambatur terdengar jelas. Rombongan kami berhenti tepat di tengah kerumunan masyarakat desa yang sedang menghadiri acara Aruh Mambatur seribu hari meninggalnya polisi wanita di desa itu.

Dalam bahasa umum, aruh ini merupakan acara penghormatan atas keluarga yang telah meninggal selama empat hari empat malam. Aruh Mambatur dilaksanakan dua kali, yaitu saat memperingati seratus hari kematian dan seribu hari kematian.

Pada prosesinya, pada peringatan ke seratus hari, memerlukan kurban berupa kambing, sedangkan peringatan seribu hari memerlukan hewan kerbau.

Bila yang meninggal adalah tokoh penting, maka akan dibuat Bluntang, yaitu nisan dari kayu yang diukir menyerupai wajah manusia. Namun apabila yang meninggal adalah orang biasa, maka nisan kayu cukup dipahat dengan bentuk bunga atau tumbuh-tumbuhan. Kali ini, di desa Kapul sedang mengadakan Aruh Mambatur untuk memperingati seribu hari meninggalnya polisi wanita di desa itu.

Masyarakat yang sedang menyaksikan aruh sejenak teralihkan perhatiannya menuju kami. Dari mata mereka, aku bisa menebak-nebak. Tebakanku, dalam hati mereka bertanya-tanya; rombongan dari mana lagi Gerang yang berkunjung ke desa ini?

Baca juga: TPA Bintang Kecil Barabai Berjalan Tanpa Pemasukan, Akibat Pandemi

Kupikir, masyarakat di desa ini telah terbiasa dengan kedatangan rombongan yang berkunjung ke desa mereka. Tujuan yang hampir semuanya sama; melihat rukunnya keberagaman agama di antara mereka.

Biasanya aruh ini diadakan selama satu minggu. Kedatangan kami adalah hari ke 3 Aruh, besok adalah hari puncak penyembelihan kerbau.

Lelah menjalari tubuh kami. Lalu koordinator mengatur kami untuk tinggal di rumah-rumah warga yang bersedia menampung kami. Biasanya, kami tinggal di balai adat. Dengan penuh syukur, kelompokku bersama sekitar 36 teman dari angkatan lain ditampung di rumah Bapak Asitam (48). Ketenangan di rumah itu, rubuh seketika dengan kegaduhan-kegaduhan ala mahasiswa.

Desa Kapul

Kami tidur di lantai-lantai ruang keluarga dan ruang tamu. Jadilah rumah bapak Asitam menjelma seperti tempat pengungsian dari dunia lain selama tiga hari ke depan. Ada dua kamar mandi yang bisa kami gunakan; kamar mandi utama dan kamar mandi di kamar tidur depan. Biasanya; kami mandi di sungai-sungai. Bagiku, ini adalah perjalanan kuliah lapangan termewah sejak pertama kali mengikuti program kuliah lapangan dari semester satu.

Sabtu, 30 Oktober 2016, Pukul 8.42 WITA

Aku bangun pukul 6 lewat. Teman-teman yang lain masih tidur, kecuali teman-teman yang melaksanakan sholat subuh.
Dengan bahasa Banjar yang pas-pasan campur bahasa Indonesia, kusempatkan diri berbincang dengan empunya rumah. Sebagai tamu yang berusaha terlihat sedikit baik. Sedikit basa-basi perkenalan diri.

Setelah itu aku menemani Mutia, salah seorang teman sekelas mencari penjual gula aren. Sayangnya, berdasarkan informasi warga, sudah tidak ada lagi di desa ini yang memproduksi gula aren. Entah kenapa, aku sendiri tidak sempat wawancara karena produsen terakhir tidak bisa kami temui. Kami bereksplorasi menuju pasar Halong, pasar yang hanya beroperasi selama dua hari.

Seperti pasar pada umumnya, di sana menyediakan kebutuhan hidup masyarakat dan aneka jajanan khas. Aku menyempatkan diri mencoba laksa ala Halong.

Sekembalinya dari pasar, kami dikumpulkan untuk mendengarkan cerita dari ketua adat Suku Deyah. Nama beliau Bapak Juhdi. Masyarakat desa memanggil beliau Ijuh. Beliau datang langsung dari Desa Kiyu.

Beliau mengisahkan, masyarakat Dayak Deyah di Desa Kapul ini awalnya mendiami daerah Banjarmasin. Istilah Deyah sendiri dalam bahasa masyarakat Deyah berarti “tidak”. Menurut cerita, istilah “deyah” ini muncul karena mereka menolak agama Islam, dengan mengatakan “deyah” yang berarti “tidak”.

Bagi mereka, menerima agama Isam berarti menjadi Banjar. Selain itu, Semenjak para kolonial Belanda berdatangan ke Banjarmasin dan mengatur-atur. Masyarakat Deyah sangat tidak suka diatur-atur. Alternatifnya, masyarakat ini memutuskan menyingkir ke daerah pedalaman hingga ke desa ini.

Lanjutnya, desa ini juga desa yang sangat toleran. Ada hampir semua rumah ibadah. masjid, gereja, dan balai adat. Dalam satu rumah bahkan ada 3 agama yang berbeda.

Soal keberagaman, sepertinya telah menjadi konsep hidup masyarakat Kapul. Menurut Pak Asitam, di desa ini ada empat gereja, satu vihara, dan satu balai adat.

“Dulu sempat ada langgar di dekat gereja dekat gerbang sebelah sana, tapi karena terbakar akhirnya di bangun lagi di desa sebelah. Di sini umat Islam tidak terlalu banyak”.

Kutanya soal bagaimana caranya hidup dengan banyak sekali perbedaan begini jawabnya;

“Ya harus saling memahami, kalau enggak ya susah,” ucap bapak kelahiran tahun 1968 silam.

Salah satu contohnya, apabila Umat Kaharingan mengadakan Aruh maka umat lain turut membantu. Entah masak atau makan.

“Kalau mereka mengadakan aruh kami bantui masak dan makan” ujarnya.

Menurut pak Asitam, hal itu dilakukan untuk menjaga nilai-nilai keluargaan.

Di keluarga besar pak Asitam sendiri, juga ada dua etnis lain, yaitu Jawa dan Batak.

Hubungan sosial manusia memang selalu dinamis. Walau berusaha saling memahami, adanya perbedaan dalam banyak hal bukan berarti tak pernah ada masalah. Apabila ada masalah keluarga, maka masing-masing akan berusaha saling menghargai pendapat. Dengan begitu, masalah akan membaik sendirinya.

Pak Asitam juga menuturkan, di desa ini dulu sempat hampir bentrok karena masalah anak muda yang pacaran beda agama. Sayangnya, ketika kutanya detil ceritanya pak Asitam tidak menjelaskan. Hanya saja ada anak muda yang mabok lalu berkelahi, tapi masalah itu tidak berlarut-larut hingga menjadi rusuh.

“Orang tua di sini selalu mengajarkan pada anaknya untuk saling hormat, saling memahami, saling mengerti, karena beda tidak dapat disatukan”

Sore hari, aku juga menemukan toleransi beragama dari Acil warung. Sambil mawarung, Acil bercerita,

“Saya sendiri di rumah yang beda agama. Ya, kan saling memahami. Suami saya orang Jawa beragama Islam dan saya Kaharingan, anak ikut saya. Kami saling memahami satu sama lain.”

Tadi malam jam sekitar jam sembilan lewat aku ke tempat aruh dilaksanakan untuk mengambil dokumentasi kunjungan. Kedatanganku tepat sekali saat ketua adat menyampaikan hasil keputusan rapat dengan para pemimpin desa.

Dari hasil rapat itu ada dua pokok utama yang harus dipatuhi masyarakat desa Kapul. Pertama tetap hidup saling menghargai dan menghormati walau pun ada banyak sekali perbedaan di dalam masyarakat. Kedua, Judi yang dilakukan saat aruh ini adalah bagian dari tradisi ritual. Bentuk penghormatan kepada nenek moyang karena itu adalah permainan yang sangat mereka suka.

Oleh kerena itu, masyarakat lain diharapkan untuk menghormati judi ini sebagai bagian dari ritual adat mereka.
Setelah ketua adat selesai menyampaikan hasil keputusan rapat, kemudian dilanjutkan dengan menari memutari sangkar. Masyarakat sini bilang; Tari Giring-Giring. Acara terus berlanjut. Hingga pagi, tanpa henti.

Minggu, 1 November 2016, Pukul 9.15 WITA

Aruh berlanjut ke acara puncak. Hari ini adalah penyembelihan kerbau dua ekor. Satu kerbau disembelih dengan cara muslim, dan satu lagi disembelih dengan cara ritual adat. Begitu, umat agama lain dapat ikut menikmati kerbau yang disembelih.

Desa Kapul

Aruh masih belum usai. Kisah masyarakat Desa Kapul juga belum usai. Kurang lebih jam dua lewat, aku dan rombongan kampusku meninggalkan Desa Kapul di tengah gerimis kecil. Melanjutkan hidup yang belum usai dengan pelajaran baru. Indonesia adalah bangsa besar yang toleran. Bangsa terkeren yang pernah kutau.(SNd)