Minggu, siang terik (30/4) dengan berbekal rasa penasaran dan sedikit informasi terkait konflik penggusuran lahan karet masyarakat Desa Ambawang, Kru Kinday tiba di Desa Ambawang Kabupaten Tanah Laut, Kecamatan Batu Ampar.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam lebih dari kota Banjarmasin, Kru Kinday singgah di salah satu warung untuk melepas penat sejenak. Sambil menyeruput kopi, informasi awal kami peroleh dari pemilik warung di desa tersebut. Bersama dua pembeli lain, mereka bercerita tentang peristiwa yang baru mereka alami di desa mereka. Tanpa pemberitahuan yang jelas sebelumnya, Buldozermilik PT. Sarana Subur Angrindotama (SSA) langsung merobohkan ratusan kebun karet milik masyarakat setempat, Kamis malam (27/4).
Atas aksi manajemen PT SSA itu, Ibu Muskayah pemilik warung tempat kami berteduh itu mengatakan tidak sepakat.
“Yo ora sepakat, (ya tidak sepakat, red.) milik orang kok digusur. Ini kan tanah desa, (masyarakat, red.) kan punya sertifikatnya,” ujar Ibu pemilik warung itu.
“Ini tinggal berapa hari kena nggak kena itu nanti digusur, kalau sawit mungkin masih bisa diberi kerjaan, lahkalau batu bara ya mana mungkin dikasih kerjaan. Yo wes pokoknya bertani aja. Nggakmikir batu bara, nggak mikirin apa,” tegasnya.
Selesai bercerita, Ibu Muskayah memberi KruKinday alamat Pak Darso, salah seorang warga desa korban penggusuran PT SSA.
Setelah beberapa kali bertanya kepada warga, sampailah KruKinday di rumah kuning milik Pak Darso dan disambut oleh putrinya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya KruKinday dapat bertemudengan Pak Darso.
Sambil mengenang peristiwa Kamismalam lalu, beliau menceritakan ba’da Subuh ketika ingin menengok kebun karet miliknya, ternyata sudah rata dengan tanah.
“Kejadiannya malam Jumat, ketika mau nengok kebun sudah bersih semua kayak lapangan bandara,” tutur pak Darso.
Begitu menyadari 149 pohon karet miliknya telah lenyap dalam semalam, ia langsung menuju ke kepala desa untuk melapor.
Berdasarkan ceritanya, sebelumnya memang sempat terdengar desus dari pihak perusahaan akan mengambil alih lahan, tapi masih belum jelas. Ia sudah menggarap tanah ini sejak pertama kali datang transmigran pada tahun 1976. Sebelum digarap masyarakat, wilayah tanah itu merupakan milik negara yang dipersilakan kepala transmigran untuk digarap masyarakat transmigran karena tanah yang dibagikan oleh pemerintah untuk kurang produktif. Karenanya, masyarakat transmigran awal diarahkan untuk mencari lahan yang produktif untuk bertahan hidup.
“Wilayah ini dulu masih berupa hutan, lalu saya yang buka buat digarap hingga seperti sekarang ini,” kenangnya.
Secara kebetulan, di tengah cerita pak Darso tentangkronologi kejadian, serombongan Himpunan Mahasiswa Pelajar Tanah Laut (HIMTALA) mengunjungi kediaman Pak Darso. Sebagai putra daerah mereka turut terpanggil untuk mengawal isu ini.
“Kami meninjau ke lapangan dari wawancara, intinya masyarakat ini korban perampasan hak mereka, atas aspirasi dari teman-teman kami berusaha mengadvokasi kasus ini,” ujar Wakil Sekjen Himtala.
Namun, Kru Kinday belum mendapat akses untuk mengonfirmasi langsung kepada pihak manajemen PT. SSA untuk dimintai keterangan terkait peristiwa penggusuran lahan sawit milik warga pada Kamis malam lalu.
Kronologi Konflik
Konflik ini bermula dari dua bulan sebelumnya, manajemen dari PT SSA datang ke kelurahan meminta data luas tanah yang menjadi milik PT SSA. Dari sana pihak perkebunan kemudian mulai membuat batasan-batasan lahan yang akan mereka garap termasuk lahan-lahan yang telah digarap oleh masyarakat.
Mula-mula mereka menggarap tanah yang kosong tanpa pemilik, sambil melaporkan beberapa warga ke kepolisian setempat atas tuduhan penggusuran tanah, atas lahan yang telah mereka jadikan kebun untuk dimintai keterangan. Pelaporan ini dimaksudkan untuk menunjukkan legalitas mereka atas penggarapan tanah dengan menunjukkan bukti sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan pada tahun 1995.
Menurut Eko Subianto salah satu petani karet di Desa Ambawang, HGU yang dimiliki PT SSA itu “cacat hukum”. Pasalnya, masih banyak masyarakat yang memegang sertifikat tanah atas wilayah tanah tersebut. Seperti lahan Pak Darso yang mempunyai sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN pada tahun 2000.
“Sertifikat memang dikeluarkan tahun 2000, tapi Pak Darso sudah menggarap lahan itu sejak tahun 1976, mulai memproses sertifikat tanah ke BPN sekitar tahun 1991-1992. Artinya lebih dulu proses kepemilikan Pak Darso daripada PT SSA,” terang Pak Eko.
Di atas itu, penerbitan HGU tidak disertai koordinasi dengan pihak aparat desa. Namun, atas dasar legalitas HGU yang dikeluarkan pada tahun 1995 itu pihak manajemen PT SSA bersikeras mengklaim hak penggarapan tanah.
“Lurah Desa Ambawang yang menjabat sejak tahun 1995 sudah bersedia dimintai surat keterangan bahwa mereka tidak pernah mengeluarkan surat referensi persetujuan penerbitan HGU untuk PT SSA,” lanjutnya.
Sebab, ia menilai kesalahan juga terjadi pada pihak BPN karena mengeluarkan surat tanah dua kali atas klaim tanah yang sama.
“Masyarakat di sini taat hukum tidak menggarap tanah kosong yang dimiliki orang lain, karena tahu tanah itu bukan miliknya. Tanah kosong yang dianggap tidak berpemilik itulah yang digarap terlebih dahulu oleh PT SSA,’’ tutur Pak Eko.
Ketika manajemen PT.SSA bertemu dengan warga Desa Ambawang di kantor Polres Tanah Laut manajemen PT.SSA secara terus terang mengatakan menyasar daerah batu bara untuk menambang.
“Terang-terangan mereka (Manajemen PT SSA, red.) mengatakan bahwa penggusuran ini dilakukan untuk menunjukkan siapa yang punya hak atas lahan ini,” cerita Pak Eko yang didengarnya langsung pasca pelaporan warga ke Polres (Jumat, 28/4).
Pasca penggusuran ini, pihak masyarakat Ambawang manajemen PT.SSA menghentikan aktivitas di perkebunan selama satu minggu. Sayangnya,pihak manajemen PT.SSA tetap bersikeras untuk terus menggarap lahan meski konflik dengan masyarakat masih belum tuntas.
“Entuk tak jaluk, ra entuk tak jaluk (boleh tidak boleh lahannya akan tetap kami ambil, red). Lha kalau mereka (pihak perkebunan, red.) bilang begitu hukum apa tidak berlaku?” tutur Pak Darso.
Berdasarkan keterangan yang Kru Kinday peroleh, keadaan Desa Ambawang ini sedang pada situasi genting karena saat ini manajemen PT SSA telah mengerahkan preman untuk berjaga-jaga di wilayah konflik.
“Kami tidak bisa tinggal dalam situasi ini, Rabu (2/5) kami akan melakukan protes unjuk rasa ke kabupaten dan DPRD” terang Eko Subianto, salah seorang petani karet di Desa Ambawang. (SN/AH)