LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

APRESIASI FILMMAKER

FILM kini menjadi media hiburan terpopuler. Tak hanya di televisi ataupun di bioskop, dengan  membeli DVD/VCD bajakan maupun orisinil kita juga sudah bisa menonton film yang digemari.
Dahulu film dianggap sebagai suatu hiburan yang eksklusif. Sebab, awalnya film hanya dapat disaksikan di bioskop. Tentu hanya kalangan tertentu yang mampu menikmatinya. Ya, hanya orang-orang berkantong tebal yang mampu membeli tiket masuk bioskop.
Ade Hidayat dari Forum Sineas Banua (FSB) menilai iklim dan kultur film di Banjarmasin jika dibandingkan dengan film di kota-kota lain masih berada pada tingkat memulai.
“Teman-teman FSB Banjarmasin perlu memahami semua lini sektor yang mendukung sebuah film agar bisa berjalan. Analoginya sederhana, ketika film itu ada yang memproduksi, maka akan ada yang mengonsumsinya,” ujar Ade Hidayat saat berdiskusi dengan Kru LPM Kinday.
Tak hanya sampai di situ. Ia menjelaskan bahwa sektor yang harus diisi dalam film adalah hal yang berkaitan erat dengan review film maupun kritik film. Kemudian, ada pula apresiasi dalam bentuk diskusi. Menurut Ade, bagaimana ruang itu bisa dibuat misalnya filmmaker bertemu dengan penonton, karena sampai hari ini banyak yang masih percaya bahwa prestasi tertinggi  pembuat film itu adalah energi yang sangat besar yang didapat filmmaker ketika film itu bertemu dengan penontonnya.
Alumni Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini mengatakan kondisi Banjarmasin dalam skala itu masih jauh, sehingga perlu sentuhan. “Seperti sekarang yang banyak bergelut dalam pembuatan film pendek,”ujar Ade.
Menurutnya, film pendek yang punya karakter karena kebanyakan melihat beberapa festival di Banjarmasin yang pernah diadakan, masih cenderung demi lomba. Ade membandingkan dengan kondisi di kota Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Jakarta, Solo dan kota-kota lainnya yang sudah terbangun iklim sineasnya.
“Padahal, kawan-kawan sineas percaya bahwa festival itu sebuah ajang pesta untuk para filmmaker. Nah kecendrungan inilah yang menurut kami masih jauh dengan kota-kota lain. Banjarmasin condong lambat, padahal sudah beberapa kali memenangkan festival di luar negeri,” ujarnya.
Mengapa harus film pendek? Ade menjelaskan  bahwa yang pertama adalah karena film pendek cenderung memakan biaya yang minim. Kemudian, cerita tidak bertele-tele atau to the point.
“Film pendek itu dekat dengan realita kehidupan sehari-hari, itulah yang membuat menarik,” tutur Ade.
Ade berharap pemerintah serius memerhatikan para sineas, karena sudah diatur dalam undang-undang  untuk menjamin dan mengalokasikan dana yang dihibahkan kepada filmmaker dan komintas-komunitas film yang ingin memasyarakatkan film di daerahnya masing-masing.
“Adal lima belas pasal yang saya tahu. Silakan dilihat bahwa negara menjamin atau memberikan hibah setiap tahun kepada film maker dan itu sumber para sineas untuk tetap eksis,” tandasnya.
Ketua Forum Sineas Banua, Zainal Muttaqin menambahkan harapannya agar dana hibah dari pemerintah bisa diraih. (Ahmad Husaini)