LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

PERJALANAN MIRNA

Oleh Eka Fauzia

“KAMPRETTT sekali sih tu orang tua! Kokberantem di rumah orang?” batinku.

Ada sepasang suami istri yang membawa masalah rumah tangganya ke rumahku. Gila!!! Aku gak bisa bayangin bagaimana kalau jadi Mirna.
            Mirna adalah sahabat sekaligus tetanggaku. Orangtua kami juga dekat, sedekat dua meter rumahnya dari rumah kami. Haha… Gak lah. Ya, orangtua kami dekat udah kayak keluraga.
            Awalnya, Mirna datang ke rumahku dengan mata sembab. Dia memintaku untuk mengantarnya ke rumah bibinya yang bertempat di desa Mawangi, lumayan jauh dari sini, kira-kira dua jam setengah. Mamaku yang juga sudah menganggap Mirna seperti anaknya sendiri tentu menanyakan apa yang terjadi pada Mirna.
“Mirna, kamu kenapa? Ayo cerita sama tante.”
“Gak papa Tan.”
“Pasti ada apa-apa. Kamu berantem lagi? Sama siapa? Sama ibumu atau ayah tirimu?”
Mirna kukuh tidak mau bercerita.
“Sudah ma, mungkin Mirna belum siap atau malu mencerita masalah keluarganya melulu.”
Tidak lama kemudian, datanglah ibu dan ayah Mirna. Mereka mencoba menjelaskan dan membujuk Mirna agar tidak pergi dari rumah. Namun, Mirna tetap ingin pergi. Akupun mengantarnya, karena Mirna kembali menangis.
Ibu dan ayah Mirna ribut di rumahku.
“Tolong kau jujur sekarang! Ngapain saja kau di luar? Mabuk-mabukkan lagi?” kata ibu Mirna pada suaminya.
Aku yang bukan anaknya saja begitu sekuat tenaga menahan air mata. Perih rasanya melihat pasangan suami istri ini berantem di depan anaknya sendiri dan orang lain. Kejadian seperti ini kerap terjadi hampir setiap hari.
Baru-baru saja Mirna berbahagia karena kemarin ibunya keluar dari penjara terkait kasus pencurian di sebuah minimarket, sedangkan ayah Mirna seorang pemabuk.
Selain itu, Mirna juga memiliki dua adik laki-laki. Adik pertama Mirna bernama Agung, ia sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan yang kedua bernama Ryan berumur tujuh tahun, baru saja ingin memasuki Sekolah Dasar (SD). Satu lagi, kedua orang tua Mirna tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga kebutuhan ekonomi keluarganya sering tidak terpenuhi. Benar-benar keras kehidupan Mirna.
Mamaku yang sebenarnya tidak ingin ikut campur mencoba menengahi dan terpaksa mengusir mereka. Kami saja pusing mendengarnya.
Beberapa hari kemudian Mirna kembali ke rumahnya. Bagaimanapun yang namanya sedarah pasti ada rindu yang mendalam kepada orangtua. Namun tidak berubah, keluarganya rutin berkelahi.
Untungnya tetangga kami yang baik hatinya menawarkan untuk mengangkat Ryan, adik Mirna yang kedua sebagai anak asuhnya dan menyekolahkan keluar kota. Walau berat,  Mirna dan ibunya menyetujui, demi kebaikan Ryan.
Adik-adik Mirna, manusia yang tidak berdosa itu, Ryan disekolahkan di sebuah Pesantren yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Ternyata walau ibu dan ayahnya tidak begitu pintar dalam mendidik, tetapi adik-adik Mirna punya bakat yang terpendam.
Ryan dikabarkan menjadi murid yang berprestasi di Pesantren tempat ia belajar, sedangkan Agung menetap tinggal di kampung halaman. Sekarang ia pun mulai belajar mencari uang sendiri dengan mengamen.
Suatu hari ketika Aku dan Mirna pergi ke Pasar, Mirna melihat Putri teman sekelas kami duduk di pinggir jalan dengan menangis, sedangkan aku melihat Agung dari jauh.
“Mir, itu adikmu bukan?” teriakku kaget, karena baru pertama kali melihat Agung mengamen.
“Mana?”
“Arghh, itu terlindung mobil putih. Agung mengamen Mir?”
“Apa? Aku tak tahu menahu sama sekali. Apa kamu tidak salah lihat?”
“Aku rasa tidak. Mari kita dekati.” tarikku pada Mirna.
“Tunggu. Itu, aku melihat Putri menangis.”
“Dimana?”
“Itu! Mirna menarik tanganku untuk menghampiri Putri dan melupakan Agung.
Sesampai di depan Putri. Pelan-pelan Aku dan Mirna menyapanya.
“Putri kamu kenapa?”
“Oh, kalian. Aku punya masalah besar.” kata Putri.
“Cerita sama kita yuk, siapa tahu bisa sedikit banyaknya melegakanmu,” tawar Mirna.
“Yasudah kita tidak jadi ke pasar, ke rumah saja.” lanjutku.
Tiba di rumah.
“Assalamuaikum… Kok sepi ya? Yasudah masuk saja Put, Mir langsung ke kamarku ya, aku ambil minum sebentar.”
Lima belas menit kutinggal ke dapur dan Putri masih diam membisu. Kemudian Putri berkata.
“Aku hamil,” ujar Putri.
“Apa?” teriak Mirna dan aku yang datang bersamaan dengan membawa tiga gelas minuman.
PRANKKKKK… Gelas yang kubawa pecah.
“Si siapa yang menghamilimu?” kataku terbata.
Putri yang tidak dapat berkata apa-apa lagi memperlihatkan foto lelaki yang menghamilinya.
Seketika, mata Mirna nanar melihat foto tersebut. Itu ayah tiri Mirna. Mirna langsung beranjak, tapi aku menahannya. Putri yang kebingungan.
Sekarang, dihadapanku ada dua teman sekelasku yang menangis. Perih sekali hati ini. Namun aku mencoba menahan tangisku dan berpikir keras untuk mencairkan keadaan.
“Mirna jangan marah dengan Putri dulu ya, kita dengarkan ceritanya,” kataku.
Putri mengaku tidak tahu bahwa lelaki itu ayah tirinya Mirna. Tentu saja, pikirku. Mirna kembali beranjak dan berlari ke rumahnya, ia ingin segera memberitahu ibunya. Mirna bukan kecewa dengan Putri tapi dengan Ayahnya.
“Kamu tetap di sini dulu ya Put, tenangkan dirimu. Aku mengejar Mirna dulu.”
“Iya.”
Tiba di rumah Mirna.
“Bu, Ayah telah bermain wanita lain di luar sana dan yang menyakitkan sekali adalah wanita yang ia hamili adalah teman satu kelasku. Aku malu!” kata Mirna sambil menjatuhkan badannya ke lantai.
“Mirna… Pelan-pelan, sabar sayang,” ujarku sambil memeluk Mirna.
Mama Mirna shok dan tidak memercayai hal tersebut. Mirna yang kecewa mengancam untuk minggat dari rumah.
“Yasudah, kamu jauh-jauh dari mama dan pergi saja ke tempat bibimu.” kata ibu Mirna.
Aku tak dapat berkata-kata lagi. Aku pun heran mengapa ibu Mirna masih saja percaya kepada ayah tiri Mirna yang bajingan itu.
Mirna kembali ke rumah bibinya di desa Mawangi. Mirna tetap melanjutkan sekolahnya yang tinggal setahun lagi lulus SMA. Tidak terasa Aku dan Mirna akhirnya lulus. Aku mealnjutkan kuliah tetapi tidak keluar kota, masih di kota yang sama, sedangkan Mirna tidak melanjutkan kuliah melainkan ia memilih bekerja membantu bibinya yang mempunyai usaha pengrajin tas.
Sampai sekarang aku dan Mirna masih saling mengabari. Beberapa kali terlintas pikiran Mirna untuk pulang dan beberapa kali juga ia menunda. Kali ini mungkin rindunya pada ibu, adik dan aku sahabatnya sudah tak tertahan lagi.
“Hari ini Aku pulang.” bunyi sms Mirna kepadaku.
Setelah menempuh hampir tiga jam perjalanan karena macet, Mirna hampir sampai. Mirna melihat ada keramaian di dekat lampu merah, ia penasaran dan turun dari taksi.
“Ya Allah… Agung!”
Mirna melihat Agung yang tergelatak tak berdaya sambil memegangi satu alat musik yang biasa dipakai seorang pengamen. Ternyata benar, pikir Mirna.
“Apa ibu tidak merlarangnya? Apa ibu tidak tahu? ujar Mirna sambil menangis.
“Apa mbak mengenal anak ini?” tanya salah seorang yang ada di tempat kejadian.
“Iya dia adik saya, tolong kita ya Pak.”
Terlihat Bapak itu menelpon ambulans dan Mirna segera membayar taksi yang ditupanginya sebelumnya dan ikut mobil ambulans yang baru saja tiba untuk membawa Agung ke Rumah Sakit.
Mirna menelponku dan meminta aku membawa ibunya menyusul ke Rumah Sakit.
Ibu Mirna juga menghubungi Ryan untuk meminta bantuan, karena kata tetangga yang menyekolahkan Ryan, Ryan memiliki banyak tabungan atas prestasi yang diperolehnya, sedangkan ibu Mirna sudah bercerai dengan suaminya setelah terbukti mantan suaminya itu menghamili teman Mirna.
Ibu Mirna yang tidak mengetahui pekerjaan Agung, sebenarnya pernah diceritakan para tetangga yang melihat Agung secara tidak sengaja ketika mereka pergi ke Pasar, karena di pasarlah tempat pangkalan para pengamen. Namun, selalu saja ia kaget dan tak memercayai hal tersebut. Ia akan percaya jika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, sedangkan ibu Mirna orang yang pemalas termasuk untuk sekadar pergi ke Pasar.
Syukur-syukur Mirna memiliki tabungan untuk biaya Rumah Sakit Agung.
Setelah kejadian ini, Ibu Mirna banyak memperoleh nasihat dari Mirna anaknya sendiri, Mamaku, dan tetangga yang peduli. Lambat laun, ibu Mirna mulai menyadari sikapnya yang pemalas dan tak mendidik anaknya dengan benar. Ia malah memberikan contoh yang tidak baik kepada anak-anaknya. Ia suka mengambil jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu dengan mencuri.
Akhirnya ibu Mirna sadar dan berniat untuk memperbaiki dirinya dengan memulai usaha yang halal. Mirna dan Ryan kembali ke rumah untuk menemani ibunya merawat Agung yang kini kakinya lumpuh pasca kecelakaan kemarin. Mirna dan Ryan memberikan  tabungan mereka untuk modal usaha Ibunya.
Sore itu Aku dan mama duduk santai di teras rumah sambil memandang rumah di seberang yaitu rumah Mirna yang saat itu terbuka. Terlihat Ryan membantu Agung melatih kakinya agar bisa berjalan lagi, di samping itu ada Mirna yang juga mengajarkan ibunya cara membuat tas seperti yang telah ia pelajari dari usaha bibinya.
“Senang sekali ya nak, melihat Mirna dan ibunya rukun lagi.”
“Iya ma, syukur sekali. Jadi jika ibunya tidak lebih baik, bukan berarti anaknya menjadi buruk ya kan ma?”
“Iya sayang. Allah juga pasti sayang dengan Mirna dan adik-adiknya yang berilmu.”
“Dengan aku juga kan Ma?”
“Tentu,” jawab mama sambil mencium keningku.
-Selesai-