RAMAI, seperti berada di pasar saja. Orang-orang asyik sendiri dengan kesibukan mereka. Ada yang sedang bergosip, ada yang pacaran, ada yang baca buku, latihan menari, menyanyi, dan ada yang sibuk menyendiri di sudut ruangan dengan earphone di kedua telinganya.
“Organisasi macam apa ini? Seharusnya sekarang ini pelatihan, eh malah pada sibuk sendiri-sendiri. Apa hanya satu orang yang berpikir dan akhirnya harus menyelesaikan sendiri? Agar tak ada ba-bi-bu, ba-bi-bu,” gumamku.
Baiti jannati itulah semboyanku. Rumahku adalah surgaku. Semboyan yang selalu kuterapkan pada diriku setiap aku berorganisasi. Aku menganggap organisasi sebagai rumah kedua setelah kos, karena aku sedang merantau di kota orang. Aku sedang berjuang demi meraih apa yang kuingini, bukan hanya dengan bermalas-malasan.
“Ta, kenapa melamun?” tanya Kiran teman satu organisasiku.
“Hanya sedikit bingung,” jawabku malas.
“Apa yang membuatmu bingung?” tanya Kiran yang penasaran.
“Bagaimana mengubah organisasi kita menjadi satu, bukan seperti sekarang ini. Kau lihatkan?” kataku balik bertanya.
“Aku tahu. Tapi aku bisa apa?” tanya Kiran.
“Hampir 90% dari sekian banyak orang yang kutanya jawabannya sama. Kita bukan hanya berpijak pada satu sisi teman, masih ada jalan lain. Semua orang pasti bisa, ia mengatakan tidak bisa hanya karena ia tidak bisa melawan ketakutannya. Takut? Gugup? Apa itu yang kau pikirkan?” tanyaku balik meminta jawaban Kiran.
“Aku memang takut dan gugup dalam hal mengemukakan argumen yang kumiliki, maka dari itu aku tidak berani,” jawab Kiran menunduk.
“Takut dan gugup itu wajar. Bahkan pejabat hingga Presiden pasti gugup dalam berpidato atau mengemukakan pendapat mereka. Hanya saja mereka dapat menguasai takut dan gugup yang ada pada diri mereka. Begitu juga yang harus kita terapkan. Jika di dunia ini semua takut dan gugup, kapan ada kemajuan? Akankah kita tetap disitu-situ saja, hingga dianggap orang ketinggalan Zaman. Penampilan boleh mengikuti perkembangan zaman dan tren masa kini. Akan tetapi, apa sebanding dengan pengetahuan kita?” Aku ingin mengeluarkan semuanya yang ada dalam benakku, sudah cukup aku berdiam diri dengan segala kebisuan yang membuncah.
“Lalu apa hubungannya perkembangan zaman dengan organisasi yang kita bahas?” tanya Kiran yang masih tidak paham.
“Organisasi adalah kumpulan dua orang atau lebih yang memiliki tujuan yang sama dan memiliki tanggung jawab masing-masing dalam mencapai tujuan sebuah organisasi. Lantas kesuksesan sebuah organisasi sendiri sangat bergantung pada anggota organisasi yang ada di dalamnya. Jika anggota organisasi mampu bekerjasama, saling menghargai dan memiliki loyalitas yang tinggi, maka akan cukup mudah dalam mencapai tujuan organisasi. Loyalitas sendiri adalah salah satu isu yang tidak pernah sepi untuk diperbincangkan dalam dunia organisasi, kesetiaan dan komitmen yang dimiliki setiap anggota organisasi sangat berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Tidak jarang dalam sebuah organisasi kita menemukan orang-orang yang memiliki loyalitas rendah atau bahkan tidak memilikinya, dan seringkali kita terganggu dengan kondisi tersebut,” terangku.
Kemudian aku menarik nafas sebentar sebelum melanjutkan.
“Kau menyadari loyalitas dalam organisasi yang sedang kita geluti tidak mencapai kadar maksimal? Bahkan mungkin minimum. Dalam Islam mungkin berhubungan dengan merapatkan shaf, dengan dalam dunia politik berhubungan dengan kesatuan. Kita harus merapatkan shaf antar anggota. Kita semua satu, begitu juga dengan semboyan negara kita. Tidak ada yang membedakan antara fisik maupun kondisi sosial. Semua sama, hanya saja perlu ada orang yang harus merapatkan shaf tersebut atau menyatukannya”.
“Bicara kau sok bijak. Padahal, selama ini kau banyak diam di organisasi,” ucap Kiran mulai sedikit emosi.
“Maaf, jika menyinggungmu. Coba kita pahami dari tokoh Socrates dalam dunia filsafat. Begini katanya, “…Orang yang paling bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa dia tidak tahu…”. maksud dari Socrates terletak pada fakta bahwa dia tidak ingin menggurui orang. Sebaliknya, dia memberi kesan sebagai seseorang yang selalu ingin belajar dari orang-orang lain yang diajaknya berbicara. Jadi, bukannya memberi kuliah seperti layaknya seorang guru tradisional, dia mengajak berdiskusi,” tambahku lagi.
Aku tersenyum menatap Kiran, melihat ekspresi wajahnya yang masih tidak mengerti.
“Aku bukannya sok bijaksana, hanya ingin berdiskusi. Mungkin dengan berdiskusi kita akan mendapatkan jalan keluar dari apa yang kita dilihat di dalam organisasi ini. Di dalam organisasi perlu adanya komunikasi, saling mengemukakan pendapatnya. Jika komunikasi di dalam suatu organisasi mati, maka organisasi itu pun akan disebut mati. Aku memang pendiam. Tapi, bukan berarti aku harus diam melihat kondisi organisasi kita yang tidak kunjung berevolusi,” ujarku.
“Terserah kau saja. Aku tidak mau ikut campur. Apalagi dengan orang teoritis sepertimu. Ikuti saja semua teori yang kau pelajari. Politik, Filsafat dan lainnya” ucap Kiran sambil berlalu meninggalkanku.
Keesokan harinya, di kampus tercinta.
Acara Pemilihan diadakan di ruang 38. Ruangan yang tidak sebesar aula, tetapi terlihat meriah dengan para hadirin yang datang. Mengharukan melihat Kiran menahan tangis dalam pidatonya pidato sebagai calon Pemimpin Umum di organisasi kami.
Dipenghujung acara langsung dilakukan penghitungan suara dan keputusannya yang menjadi Pemimpin Umum tahun ini tidak lain dan tidak bukan ialah Kiran.
Aku berharap ini yang terbaik.
Tiga bulan setelah jabatan Pemimpin berada ditangan Kiran, peraturan tegas mulai diberlakukannya. Kiran tidak akan segan-segan memberi sangsi kepada anggotanya yang malas atau pun tidak berhadir tanpa alasan jelas.
Pelatihan yang dilaksanakan selama satu kali dalam seminggu ini semakin berkemajuan. Mereka aktif dan fokus, tidak ada lagi yang sibuk sendiri. Sedikit demi sedikit semua berevolusi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Seseorang itu tidak akan mundur ataupun diam, jika masih ada orang yang mengingatkannya. Aku rasa obrolanku dengan Kiran sehari sebelum pemilihan kemarin tidak sia-sia. Ternyata diam-diam Kiran memikirkan semuanya. Kini aku tak henti-hentinya tersenyum melihat keadaan yang mulai berdamai dan bersatu untuk pencapaian tujuan kami.
“Hei, mengapa kau senyum-senyum begitu?” tegur Kiran dari belakang.
“Ah Kiran, mengagetkan saja.” keluhku.
“Hayo cerita ada apa…,” goda Kiran.
“Karena… karena aku sayang kamuuu,” ujarku memeluk Kiran. (Malia)