Orang kedua yang ada dalam benak saya ketika mudik ke Kasongan adalah Vony Lawi. Kami kenal sejak 2013 silam. Tahun itu, kami adalah mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Kelas II Kasongan. Ia jurusan Pendidikan Ekonomi sedang saya PGSD. Nasib itu kesunyian milik masing-masing. Jalan hidup membuat saya keluar dari kampus hijau itu dan mengadu nasib ke Banjarmasin.
Melalui kanal di media sosial, saya mendengar kabar ia telah menjadi kepala sekolah di Sekolah Islam Terpadu Alam Kasongan. Usianya 22 tahun saat itu. Ketika muda-mudi lain berbondong-bondong mencari pekerjaan dengan gaji tinggi di institusi bergengsi, ia memilih menjadi guru. Merintis sekolah baru dengan total gaji kurang dari separuh di bawah UMR. Padahal sekolah alam tak tenar-tenar amat di sana.
Sekolah Islam Terpadu Alam Kasongan ini dibuka pada 2017 silam. Dengan jumlah lima anak didik. Tiga di antara mereka pengidap disabilitas kategori berat.
Awalnya tak tenang
Ia kira, menjadi guru akan menyisakan banyak waktu luang. Jauh panggang dari api. Apa yang diharapnya untuk bisa bersantai seketika mengabu. Ritme sekolah alam yang berbeda dari sekolah pada umumnya justru membuat hidupnya tidak tenang.
Setiap hari ia dituntut untuk membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP yang dibuat tidak disamaratakan seperti halnya kurikulum pendidikan nasional. Di sini RPP harus sesuai dengan kondisi lingkungan dan memperhatikan kearifan lokal. Tergolong masih sekolah baru, kurikulumnya pun masih menyontek dari Sekolah Sahabat Alam Palangka Raya.
“Dari Sahabat Alam cuma dikasih satu kata. Misalnya Air. Selanjutnya kita sendiri yang mengembangkan. Beda dengan sekolah umum. Di sini harus banyak eksplorasi. Setiap hari selesai sekolah langsung mikir dan bikin kurikulum (RPP, red.) untuk mengajar besok. Begitu terus setiap hari,” ujar Vony.
Sekolah alam ini menggunakan metode pembelajaran aktif dan kooperatif. Di mana anak didik dituntut untuk terlibat aktif. Karena itu pembelajaran yang dilksanakan harus memberi kesempatan kepada anak didik untuk bereksplorasi dan berkreasi secara individu atau kelompok.
Misalnya pembelajaran hari itu tentang daun. Maka dimulai dari daun itu apa? Dijawab tumbuhan. Coba ambilkan buat Ibu, daun itu seperti apa. Lalu coba ambilkan lima daun yang beda bentuk. Anak didik mengeksplorasi lanjut, bedanya apa saja. ada daun yang lonjong, daun yang bulat, daun yang pipih. Baunya seperti apa. Tidak hanya itu, anak didik juga diminta untuk mencium dan meraba. Sehingga semua sensor indranya distimulasi untuk aktif.
Pembelajaran tidak selesai di situ. Lalu, kira-kira kenapa ada tumbuhan ini, siapa yang menciptakan? Nah, di sana critical thinking anak didik dilatih. Pada akhirnya semua instruksi pembelajaran akan dikaitkan kepada ilmu tauhid.
Secara umum, konsep sekolah alam yang dipelopori Lendo Novo mengusung alam sebagai bahan pembelajaran dengan tujuan membangun kecerdasan emosi dan spiritual secara bersamaan yang dibingkai syariah islam. Tujuannya agar anak didik beradab dan memiliki empati dalam berperilaku. Kerja otak, jasad dan ruh berjalan selaras.
Sedangkan di Sekolah Islam Terpadu Alam Kasongan, targetnya tidak banyak. Target utamanya dilihat dari kekurangan individu anak didik. Kemudian meningkatkan kapasitasnya.
“Hafsah, IQ-nya tinggi, pintar, emosinya tingkat tinggi. Suka ngamuk menjadi-jadi. kalau keinginananya tidak dipenuhi bisa menangis seharian. Targetnya hanya mengendalikan emosi dia selama satu semester, nggak ada yang lain,” paparnya.
Hafsah masih belum bisa membaca saat pertama kali masuk sekolah. Lalu setiap pagi ia diajari dengan program fonik. Fonik adalah metode membaca dengan pendekatan bunyi huruf/fonem. Berturut-turut anak didik dikenalkan pada bentuk, warna, huruf, kata, baru kalimat. Misalkan sehari murid dikenalkan pada tiga huruf. Anak didik belajar huruf melalui motoriknya melalui mainan papan huruf. Anak diminta meraba sehingga tahu garis huruf k itu bagaimana bentuknya. Ketika huruf di punggung atau di telapak tangan anak didik disuruh menebak huruf apa. Anak tidak langsung diajari mengeja.
Satu semester dengan proses tersebut, Hafsah sudah bisa membaca.
Selain itu, Vony juga prihatin dengan kondisi generasi anak-anak pada hari ini.
“Kadang anak bisa menyebut tapi maknanya tidak paham. Itu kebanyakan sekarang,” terangnya.
Peristiwa itu dialami Hafsah. Ketika salah satu guru pendamping di kelas sedang duduk sambil mendengarkan musik Maher Zein, Hafsah refleks menyorak bahwa gurunya itu sedang pacaran.
“Saya tanya, Hafsah tahu nggak pacaran itu apa? Tahu pacaran dari mana? Dijawabnya dari orang tuanya. Pacaran itu kalau laki-laki dan perempuan duduk naik motor berdua-duaan. Terus saya tanya lagi, kalau pak guru sedang duduk sambil dengarin musik artinya pacaran tidak? Hehe, tidak, jawabnya. Itulah kenapa, kadang anak sekedar sebut tapi tak tahu makna. Pendidik juga harus lebih kritis dalam menyikapi,” papar Vony.
Fonik diajarkan agar anak dapat memahami apa yang dia baca. Ketika anak menyebut kata “kambing”, ia dapat memaknainya dengan tepat. Apa itu kambing? Kambing punya apa saja? Apa saja yang bisa dilakukan kambing? Kambing bisa dimanfaatkan untuk apa saja? Dengan begitu, anak tidak sekedar membaca teks, tapi juga memahami konteksnya.
Output pembelajaran hanya difokuskan pada kekurangan individu anak didik. Hafsah yang belum bisa membaca maka targetnya bisa membaca dan tingkat emosinya yang tinggi, ia harus bisa belajar mengendalikan.
Contoh lain Muhammad. Muhammad termasuk ABK dengan jenis Global Delay Development. Selalu berbicara dengan nada rendah. Mengucap salam hampir tidak terdengar. Ketika berbicara seolah takut sambil meremas-remas baju. Masalah lain, ia selalu menangis kalau mengerjakan soal matematika.
Setelah ditelusuri, ternyata ia sering di-bully oleh teman-temannya karena sering lamban. Dan dihukum di depan kelas sambil melipat kaki oleh guru matematika di sekolah sebelumnya karena tidak bisa mengerjakan soal.
“Awalnya tidak mau cerita dan takut, tapi lama-lama setelah didekati, pelan-pelan ia mau menceritakan masalahnya. Saya bujuk, di sekolah alam sini kalau Muhammad salah Bu Vony tidak marah. Akhirnya sekarang dia tidak menangis lagi dan Alhamdulillah sudah bisa teriak Assalamualaikum dengan kencang,” ceritanya.
Selama satu semester target perbaikan anak-anak mulai menunjukkan hasil. Hafsah sudah mulai bisa mengendalikan emosinya, dan Muhammad sudah mulai berbicara dengan berani.
Namun, target untuk tahun ajaran baru ini (2018/2019) akan lebih dari per-individu. Sekolah Islam Terpadu Alam Kasongan akan mulai menetapkan tiga target utama. Anak harus mampu tiga: mengantri, makan sambil duduk, dan mau bertanya.
Sebelum kegiata belajar mengajar dimulai, sekolah dan orang tua akan bertemu untuk menyamakan persepsi. Sekolah akan melakukan sosialisasi kurikulum pembelajaran yang akan dilaksanakan selama satu semester. Kegiatan pembelajaran akan melibatkan orang tua anak didik secara bergiliran. Khususnya pada setiap Jumat.
Contohnya ada orang tua si A yang bisa menjahit, nanti orang tua akan diundang mengajari menjahit di sekolah. Orang tua si B bisa memijat, maka orang tua itu akan diundang ke sekolah mengajar memijat. Terus bergilir. Hingga semua orang tua anak didik mendapat giliran.
Belum populer
Konsep sekolah alam masih belum populer di alam pikiran masyarakat Kasongan. Kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan cara anak didik lebih banyak bereksplorasi di alam sekitar dan bermain. Ruang belajarnya pun tidak di dalam bangunan gedung, melainkan di pendopo yang terletak di tengah-tengah alam.
Selama ini, dalam pemikiran masyarakat belajar di sekolah formal harus selalu memakai seragam. Belajar di ruangan kelas yang tertutup. Setiap hari dijejali oleh berbagai macam mata pelajaran.
Sekolah alam dengan konsep inklusi yang sebagian besar diminati oleh orang tua anak didik difabel akhirnya membuat masyarakat masih memandang miring. Apalagi, difabel yang dalam konstruksi derajat kerentanan masyarakat ditempatkan dalam posisi paling rendah. Akhirnya daripada melihat sekolah ini sebagai konsep pendidikan yang modern, masyarakat malah menganggapnya sebagai sekolah tidak mampu. Bahkan, pemikiran tersebut justru melekat pula dalam mentalitas pejabat pemerintah.
Dianggap sekolah tidak mampu
Dikisahkan Vony, suatu ketika Dinas Sosial di Kabupaten Katingan melakukan kunjungan ke Sekolah Islam Terpadu Alam Kasongan. Tanpa surat. Tanpa pemberitahuan. Mendadak membawa sembako berupa mie instan dan bahan-bahan makanan lainya.
Seminggu kemudian, dinas tersebut mengadakan kegiatan One Day For Children. Kegiatan di mana anak-anak perwakilan dari tiap sekolah menampilkan pentas seni. SDIT Sekolah Alam Kasongan mendapatkan pemberitahuan secara mendadak.
Tak sempat persiapan, akhirnya Sekolah Islam Terpadu Kasongan berpartisipasi menjadi tamu.
“Yang bikin kaget ketika sambutan, tiba-tiba kepala dinasnya memperkenalkan di Kabupaten Katingan ada sekolah alam,” kisahnya. “Itu sekolah orang tidak mampu dan harus diperhatikan,” lanjutnya.
Vony dan teman-temannya yang hadir di acar itu lirik-lirikan seketika.
“Mungkin karena dilihat sekolah pendopo doang, terus yang belajar cuma lima murid, tiga diantaranya kelihatan banget ABK (Anak Berkebutuhan Khusus, red.)-nya. Dia tidak tahu, rata-rata orang tuanya punya mobil semua. Sedikit tersinggung karena ada kata anak-anak tidak mampu,” ujarnya sambil menyebutkan pekerjaan orang tua anak muridnya satu persatu dengan lancar.
Mayoritas orang tua peserta didiknya adalah pegawai negeri sipil dengan jabatan kepala dinas di pemerintahan atau pengusaha besar. Dalam kategori ekonomi, bisa disebut golongan menengah ke atas. Dari segi biaya belajarnya pun lebih mahal dibandingkan sekolah umum. Di Sekolah Islam Terpadu Alam Kasongan, setiap anak didik dikenakan biaya pangkal, dan iuran bulanan yang dipatok sesuai kemampuan orang tua. Semakin orang tuanya mampu, maka biayanya semakin tinggi.
Sekolah alam yang masih eksklusif masih belum banyak yang tahu. Biayanya pun lebih tinggi daripada sekolah negeri. Peminatnya para orang tua yang memiliki punya wawasan terbuka tentang pendidikan. Atau orang tua ABK yang kesulitan menyekolahkan anaknya di sekolah umum.
Penulis: Siti Nurdianti
Foto: Istimewa