LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Mimpi Gadis Bukit Meratus

Angin sore bertiup di atas perbukitan melambaikan ranting-ranting pohon yang ringan daun-daun tua berjatuhan biji ilalang tua berhamburan ketanah lapang membentuk bibit baru tatkala angin bertiup. Di sebuah desa Mamigang Kecamatan Halong Kabupaten Balangan, Kaliman Selatan jauh dari keramaian kota seorang gadis bernama Iik Sugianti yang terbiasa di sapa Iik kini tengah beranjak usia puber namun terbilang masih cukup kecil tidak seperti remaja pada umumnya dimana masa pertumbuhan remaja melesat naik kini berbanding terbalik oleh bertumbuhan Iik yang terbilang lambat disebabkan oleh kurangnya asupan gizi.

Sore itu di sebuah batang pohon yang telah bertahun-tahun tergeletak di tanah tepat beberapa langkah di belakang rumah panggungnya, tidak satu sore pun Iik lewatkan duduk dengan sekeping buku kusam nan usang dan sebuah pena tinta hitam, selalu ia ceritakan cita dan mimpi, di setiap doanya meminta agar suatu hari cita-citanya menjadi seorang guru terealisasikan untuk mengangkat taraf hidup keluarganya dan pendidikan warga desa di Bukit Meratus kelak, dan kadang kala ia menulis puisi ketika kemilauan jingga mengantarkan matahari untuk pamit terbenam, begitulah cara ia menutup hari pada setiap tarikan nafas seringkali ia sertakan syukur atas nikmat ke indahan dan kedamaian hidup yang ia terima, ketika fajar dan senja silih berganti tidak pernah sejengkal pun Iik mengeluh meski peluh kerap kali menyertai harinya.

Malam pekat berhias kemilau bulan sabit malu-malu menampakan dirinya di antara ranting dan semak, malam itu Iik bersama dua adik kembarnya yang berusia 5 tahun dan orang tuanya tengah menyantap makan malam beberapa umbi kayu hasil panen kemaren sore dan sudah dua hari berturut-turut makan malam dan pagi mereka adalah sebuah umbi yang di rebus dan kadang di goreng, sesederhana itu keluarga kecil ini tidak pernah lupa caranya tertawa dan bergurau hangat, rumah kecil Iik dan keluarga nampak mengasing di ujung desa, meski jauh dari kerumunan warga desa namun tidak pernah absen dalam budaya kearifan lokal yang setiap tahun sekali menggelar acara aruh membatur, atau aruh adat ketika panen padi telah selesai, itulah kesempatan iik dan keluarganya untuk makan enak bersama warga desa mamigang yang layaknya menjadi sebuah keluarga besar.
Arloji dinding berdetak nyaring kentara dengan sunyi dini hari Iik melirik detakan tersebut tepat pukul satu ia bersiap-siap untuk tidur sebelumnya tidak pernah selarut ini dan kini ia sadari lupa waktu dengan rutinitasnya yang bergelut dengan kertas dan pena tiap malam, ia selalu menulis cerita pendek begitulah kegemarannya yang sudah habis beberapa keping buku berisi judul cerita pendeknya namun tidak pernah terpublikasi, di balik tubuh yang kecil tampak kurang gizi itu terpatri bakat menulis tidak hanya itu juara kelas selalu tersemat atas namanya, kecerdasannya dalam berbagai disiplin ilmu terbukti nyata dalam kejuaraannya di tiap lomba cerdas cermat tidak hanya cerdas Iik tumbuh menjadi kembang desa yang cantik, di balik gigi gingsul yang sejak kecil menciutkan jiwanya dalam hal cabut gigi kini malah tampak manis alami setiap senyumnya yang menggambarkan ia adalah sosok periang dan mudah dalam bersosialisasi, Iik bagaikan emas harta karun yang tersembunyi di sebuah gubuk kecil nan tua di hutan belantara ujung desa pedalaman.

Rasanya baru saja sang sulung larut kedalam dunia mimpi sekunyung-kunyung bagai kecepatan akselerasi cahaya, malam memuntahkan subuh begitu saja, udara dingin menusuk pori-pori kulit, ayam jago berkokok tidak pernah lalai dalam tugasnya membagunkan warga desa. Tepat setiap pukul empat subuh dapur di rumah Iik telah mengepul asap untuk memasak.

”ik, bantui mama ambil banyu ka sungai” lulungan ibunya membuyarkan mimpi hingga terkaget-kaget ia cepat berdiri dan berlari kearah dapur sempuyungan dalam keadaan setengah sadar tepat di dapur bola mata iik terbelalak seperti ingin keluar dari tempatnya “mama, mama a, api” tergagap gagu melihat ibunya yang kerepotan memadamkan api di dapur rumahnya yang membesar, sadar akan hal itu iik dan ayahnya yang baru bangun langsung mengambil beberapa ember dan berlari secepat mungkin menuju sungai.

Setengah jam berlarian mencari air, ‘gubuknya habis dilalap api’ begitulah sang bapa menyadari, satu kalimat itu menghantam persendiannya, kaki yang sedari tadi menopang untuk terus berdiri dan berlari kini melemah jiwanya melebur layaknya rumah yang runtuh menjadi abu sang bapa terjatuh duduk dengan air mata yang mengaliri garis-garis tua kedua belah pipinya yang tirus badannya yang kurus gemetar menggil sesugokan dengan isak tangis sembari menggilingkan kepala tidak percaya.

“abah” lirih kalimat Iik sayup-sayup tidak terdengar di bawa angin yang kian kencang berhembus “rumah kita bah, mama dan adik-adik mana bah” ia tidak melihat dua anak dan istrinya, berharap api tidak melalap ketiga orang terkasihnya. Mata sang bapa bersirat tajam mengamati tiap inci dan di sekeliling yang dapat ia lihat berharap ada tanda-tanda kehidupan meski fajar belum juga bercungul kepermukaan bumi, matanya kian tajam dan air di pelupuk mata belum juga kering sesekali mulutnya memanggil istri dan anaknya kian lirih dan nyaring, berharap ada sahutan, namun nihil.
Harapannya sirna. Sang laki-laki tua berumur itu lagi terduduk tunduk atas takdir tuhan dan menangislah menyisakan penyesalan di sisi tempat tidur tepat kedua anak kembarnya lelap di lalap si merah dan istrinya yang jatuh di dapur ikut lenyap begitu sempurna sang takdir merenggut orang-orang terkasihnya.

Siluet merah sang mentari pagi memasuki celah-celah dinding kamar yang tersusun dari kayu-kayu seadanya telah membangunkan Iik. Kendati ingi melanjutkan rutinitasnya ke kesekolah tak jarang tiap pagi ia di rundung sesal yang memilukan, lagi ia bermimpi buruk selalu dengan mimpi yang sama, air dari kelopak matanya mengalir lurus sejuru dengan hatinya yang terasa sesak sakit yang kian mendalam menyesali kejadian yang begitu nyata dua tahun terakhir, hidupnya yang nyaris tidak memiliki harapan tongkat-tongkat mimpinya yang sedari dulu kokoh terpatri di hati terdalampun ikut terlempar atas ujian hidupnya yang lebih keras dari ombak memecah karang, lebih besar dari angin puting beliung hingga tongkat-tongkat pondasi cita, mimpi dan harapan jatuh terpental ntah kemana, takdir kehidupannya yang begitu kelam tidak serta merta menjadikannya pribadi yang anarkis namun runut rumit sulit di jabar dalam angka derajat, jiwanya yang periang telah berubah menjadi pendiam, tidak pernah lagi manjadikan kertas dan pena sebagai teman, rutinitasnya kini sepulang sekolah membantu sang bapa menjadi kuli bangunan di desa sebelah dan kadang-kadang menjadi buruh tani apabila musim panen telah tiba, semua itu ia lakukan agar terus dapat menyambung hidup dan bersekolah, kini ia telah memasuki kelas tiga sekolah menengah atas, meskipun ia menjadi sosok pendiam namun karismanya sebagai gadis yang cerdas tidak pernah lekang oleh ujian hidup yang begitu kental kesakitan. Iik tetap menjadi siswi yang berprestasi di bidang akademik dan non akademik sebagai penari daerah, menguasai berbagai tarian daerah khas kalimantan selatan satu-satunya bakat yang ia sadari semenjak kelas satu SMA dengan kelihaiannya menari ia dapat melihat Banjarmasin ibu kota Kalsel dalam rangka lomba menari daerah tingkat provinsi.

Tiga tahun telah Iik lewati menempuh sekolah menengah atas kini kelulusan telah di depan mata, ia bagaikankan orang yang kehilangan arah tidak tahu jalan akan meneruskan pendidikannya kemana, alih-alih teman sebayanya menyiapkan diri memasuki perguruan tinggi, kini ia rutin membantu sang bapa bekerja berharap recehan sedikit demi sedikit terkumpul membantunya untuk mendaftar keperguruan tinggi sekali lagi semua itu hanya mimpi. Lagi Iik di jatuhkan oleh faktanya penghasilan sang ayah yang hanya dapat memenuhi biaya makan sehari-hari. Pertaruhan hidup membawanya keambang kata menyerah akibat perekonomian yang tidak mendukung mimpinya.

Hari pengumuman kelulusan telah tiba, seluruh siswa siswi kelas tiga di kumpulkan di tengah lapangan, guru-guru berjejar di depan sekolah yang tampak tua dan lusuh muridnya yang tidak seberapa namun bersyukur sekolahnya telah lama di resmikan hingga menjadi sekolah negeri, ia memandangi lekat satu persatu wajah-wajah yang telah berjasa mengajarinya dengan tulus seketika hatinya teriris bak sembilu menyayat. Iik membayangkan sebuah perpisahan di depan mata, ia benci perpisahan, namun di balik itu ia sadar hidup tidak mungkin stagnan dan jalan di tempat, ia sepenuhnya menyadari akan pendidikan yang harus di tempa sejauh kaki bisa melangkah untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman.
Lamunan Iik tersadar akibat suara khas guru kepala sekolahnya yang begitu lantang, bagaikan di sembar petir di tengah terik siang hari yang begitu menyengat, ia menjadi pemenang telak mendengar sebuah nama Iik sugianti adalah juara satu UN tingkat provinsi itulah fakta hidup yang dapat membuatnya mati berdiri sekaligus menyusun rapi mimpinya yang sedari kemarin abstrak berantakan kini tergambar jelas, ia mengantungi sebuah beasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri, kini senyum khasnya yang manis terpatri sempurna.

Satu-satunya kesimpulan hidup detik ini yang dapat ia tarik adalah hidup begitu penuh kejutan, hal sederhana berdampak besar yaitu menyusun mimpi sebaik mungkin sebab mimpi mebawa kepada sosok cahaya yang bernamakan harapan dan sebuah harapan tidak akan lalai dari doa dan usaha.
~selesai~

Karya Tinah
Peserta lomba Pekan Jurnalistik Kinday 2018