“Do you know why people like violence? It is because it feels good. Humans find violence deeply satisfying, but remove the satisfaction and the act becomes … hollow.”[1]
Kata itu terus terngiang di kepalaku—aku mulai memahami sedikit demi sedikit mengapa semua orang menyukai kekerasan dan tidak pernah mempertimbangkan tindakannya. Sudah hampir tengah hari, sejak pukul sembilan pagi tadi, aku terdampar di bahu jalan berlumuran darah dari wajah hingga kerah. Wajahku yang sebelah kanan membengkak, sedangkan satunya hanya membiru, lebam. Tidak hanya itu saja, gigi yang sudah bertempat tinggal di mulutku sekian lama itu kini rontok—entah di mana sekarang gigi-gigiku yang rontok itu berada.
Kusadari kesadaranku sendiri sudah berada di ambang batas, di sekitar, kini hanya terlihat remang-remang dengan silaun keperak-perakannya yang menusuk mata. Tubuhku tak mampu lagi bergerak sesuai kehendakku. Sudah tak sempat lagi mulutku berucap, tak mampu lagi kurangkaikan kalimat untuk menjelaskan situasi ini, tubuhku tergeletak tak bernyawa.
Dari kejauhan, memori itu terulang singkat.
Masih kuingat bagaimana batu, balok dan kayu itu berterbangan ke arahku, tepat mengenai punggung, dada serta bagian tubuh lain—yang pasti mendapat porsinya masing-masing. Seakan tak pernah selesai, benda-benda itu terus menghantam setiap bagian tubuhku, aku tergeletak, hingga seorang pria menghantamkan baja ke kepalaku. Aku merasakan getirnya, bagaimana darah mengalir dari selasar rambut, anyir.
Tak ada seorang pun yang mencoba melerai, tak ada seorang pun yang menolong, aku tenggelam dalam kerumunan yang terus memukuliku tanpa belas kasihan.
Tak pernah kubayangkan hal ini harus terjadi, setelah sekian tahun, aku harus kembali ke kota di mana aku dilahirkan. Aku sungguh tak mengerti, sungguh, mengapa aku harus pergi ke sana hanya untuk menyelesaikan tugas kuliah?
Memang tak ada masalah mengenai aku dan kota kelahiranku. Namun, seperti kau tahu, betapa canggungnya seorang pria jikalau kembali ke kampung halamannya tanpa seorangpun mengenalnya. Ini agak aneh!
“Ah sudahlah.”
Daripada membingungkan dan memertanyakan hal-hal aneh seperti itu, bukankah lebih baik jika aku mengemas barang dan bersiap untuk pergi? Tentu saja!
Hampir satu setengah jam kuhabiskan untuk memersiapkan hal-hal yang harus kubawa ke kota kelahiranku, tentunya sebentar saja mengemasnya. Namun, butuh waktu satu jam memikirkan apakah masih ada barang yang ketinggalan atau adakah lagi yang harus kubawa.
Di depan rumah, sudah menunggu beberapa teman dan tetangga hanya untuk mengucapkan selamat tinggal, kesannya seperti diriku sedang bersiap menuju perjalanan yang begitu jauh. Aku memasuki taxi yang sudah dipersiapkan oleh kerabat tetanggaku hanya untuk mengantarku sampai ke pelabuhan dengan selamat katanya—ini lebih gila lagi! Sebenarnya aku sedang menuju ke mana?
Setibanya di pelabuhan, aku menitip salam ke pada supir taxi yang mengantarku agar menyampaikan ke pada—entah teman atau keluarga—kerabat tetanggaku itu atas tumpangannya. Ia hanya diam, menatap lamat-lamat ke arahku, lalu mengangguk.
Aku selalu menyukai betapa indahnya pemandangan pulau-pulau yang kutinggalkan, mengingat betapa banyaknya kenangan yang akan tersimpan di sana. Lalu hamparan laut yang menyambut dengan tenang seluas mata memandang. Sore hari ini, langit begitu cerah memerah, semburatnya menyala dan berurat-urat, mungkin langit sedang murka dan berakhir terkena tumpahan darah di sana.
Seperti biasanya, selalu ada karya yang tercipta pada setiap perjalanan yang kutempuh, seperti puisi, cerpen, naskah—meskipun hanya berupa konsep. Sebelum kutuangkan segala pikiranku yang membludak ini tentu saja harus kupersiapkan dulu medianya—buku dan pulpen. Kucari beberapa lama, ke dalam tas, kantong celana, saku depan, belakang. Sial! Tidak ada!
Mulai kumarahi diriku sendiri sebab keteledoran yang sudah menjadi kebiasaan itu, gumaman-gumaman tak penting mengenai betapa lamanya aku mempersiapkan barang dan ternyata masih ada sesuatu yang tertinggal.
“Yah! Takkan pernah kutemukan pulpen dan buku itu”
Kutenggelamkan wajahku yang memerah ini ke dalam telapak tangan. Beberapa menit, pikiranku berkecamuk, amarah, kesal, sedih, segala emosi bercampur di setiap detiknya. Lalu, tanpa diundang, seorang perempuan menyodorkan pulpen dan bukunya ke arahku.
Kutatap ia, kacamata yang bulat bertengger pada wajahnya yang manis, senyum yang akan membuat setiap pria memohon untuk mengasup dan mencernanya setiap pagi hingga senja. Rambutnya terurai kala itu, berayun seirama dengan angin yang syahdu. Ia memakai gaun, pink cerah yang diikuti warna langit sore kemerah-merahan, ia seakan menyatu dengan langit dan terlihat lebih mendominasi daripada langit itu sendiri, kurang ajar! Sampai-sampai langit harus dibuat mengalah oleh parasnya.
“Ulun[2] lihat pian[3] mencari sesuatu, entah kenapa ulun merasa pian mencari ini,” ucapnya. Jelas sudah aku satu kampung halaman dengannya, dari logat yang ia gunakan, dari bahasa yang ia gunakan, dari takdir yang mempertemukan kami berdua.
Terlupakan olehku mengenai seluruh konsep karya tadi, semuanya luluh, menyatu-padu menjadi seorang bidadari di hadapanku, ialah karya murni yang sesungguhnya.
“Kak?”
“Eh, maaf, iya, eh-aduh,” sahutku tergagap-gagap, sungguh bukan hal yang mudah menahan gelora yang berapi-api dalam tubuh ini. “Ini buatku?”
“Inggih[4], gasan[5] pian.”
“Oh iya, terima kasih.”
Mungkin agak aneh jika kejadian ini berlangsung lama, setelah buku note kecil itu kuterima, ia menjauh. Aku lantas bingung dengan pertemuan itu, kenapa ia tak bertanya mengapa aku mengerti bahasa yang ia gunakan? Ataukah di kampung halamanku itu sudah berkembang sangat pesat sehingga masyarakat umum bisa memahami bahasanya?
Ah! Sudahlah!
Aku terlelap di luar, tepat di kursi depan kabin, malam merayap begitu cepat, hawa dingin menyelimuti kulitku, merasuk hingga ke tulang. Aku berharap ia—perempuan aneh sore tadi—datang lagi membawakan selimut atau apapun untuk menutupi tubuhku dari kedinginan.
Namun, harapan tetaplah harapan.
Tepat keesokan harinya aku telah turun di sebuah pelabuhan. Hari masih subuh, penghuni jalan dan orang-orang masih menggeliat dalam tidur dan mimpinya. Akan tetapi, para buruh dan nelayan sudah berangkat kerja sepagi buta ini, ada yang menurun-naikkan jangkar, ada yang mendorong sampan, melambaikan ke pada keluarganya sambil tertawa bahagia.
Semua penumpang sudah turun dari kapal, tetapi tak kutemukan ia. Mungkinkah ia hanya khayalanku saja? Namun buku ini nyata dan secara fisik memang ada. Kutunggu beberapa menit. Namun, tak ada tanda-tanda keberadaannya. Hingga akhirnya kutinggalkan saja pelabuhan itu, bersama kenangan yang terkunci rapat di dalamnya.
Hanya beberapa langkah, sebelum kudengar suara teriakan perempuan yang melengking nyaring, digotong beberapa pria yang tertawa terkekeh-kekeh. Badan mereka masing-masing kekar dengan kulit hitam legam serupa baja. Kutatap perempuan yang digotongnya, ia adalah pemilik buku dan pulpen itu!
Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju kerumunan pria kekar itu, terus berlari cepat. Perempuan itu menatapku, lalu menyampaikan isyarat yang tidak jelas. Aku dihadang seorang pria, ia berdiri paling depan, entah karena apa, tanpa banyak bicara ia langsung membenamkan pukulannya tepat ke ulu hatiku. Aku terkapar, perempuan itu meronta-ronta, satu pukulan saja sudah membuatku goyah. Bagi seorang pria kurus sepertiku tentu saja mudah untuk mereka mengalahkanku. Akan tetapi, masalah tekad, aku yakin tekadku untuk menyelamatkannya lebih besar daripada pikiranku mengenai keselamatanku sendiri.
Aku berdiri, meloncat ke arah pria yang berbalik setelah memukulku. Menggigit bahunya lalu menarik gigitanku kuat-kuat, hingga terlihat dagingnya terkoyak menjadi daging putih yang nampak dari belakang kausnya. Dihempaskannya tubuhnya sendiri ke tanah, hingga aku yang di belakang tertekan oleh massa tubuhnya, dipukulkannya kepalan tangannya yang serupa godam itu ke wajahku, seketika wajahku terhuyung dengan gigi yang bertebaran di mana-mana.
Untuk kedua kalinya aku terjatuh, belum sempat berdiri, pria itu menjatuhkan diri di atas tubuhku. Aku merasa tertekan, nafasku tersengal-sengal, kuingat pulpen yang diberikan wanita itu, kuambil dengan tangan bergetar di saku celana. Kutusukkan pulpen itu ke lehernya, salah satu matanya dan terakhir tepat menghunus bahu yang telah robek itu.
Ia mengerang kesakitan. Berguling-guling di atas tanah. Lalu, temannya lain mengambil barang masing-masing dan dilemparkan ke arahku. Aku tak sanggup berlari, salah satu baja yang dilemparkan mengenai kakiku, kakiku terkilir. Tanpa kusadari pria yang mengerang kesakitan tadi telah berdiri memegang baja di belakangku. Ia menatap tajam dengan sebelah mata yang terluka serupa bajak laut.
Lucu sekali! Mengapa aku harus menderita karena hal ini?
Karya: Muhammad Rifki
Suara senyap
Merayap
Merasuk tulang
Seorang yang malang
Akan kutemukan jalan pulang
Banjarmasin, 09 Oktober 2019
[1] “Kau tahu kenapa manusia suka kekerasan? Karena rasanya nikmat. Manusia merasa kekerasan sangat memuaskan. Tapi untuk membuang kepuasaan itu maka tindakannya akan jadi hampa.” Dikutip dari kata yang diucapkan Alan Turing dalam film The Imitation Game (2014). [2] Bahasa Banjar yang berarti aku [3] Bahasa Banjar yang berarti kamu [4] Bahasa Banjar yang berarti iya [5] Bahasa banjar yang berarti untuk