Oleh: Muhammad Yahya
Belakangan ini isu pemindahan ibukota negara Indonesia kian santer diberitakan di media media seluruh Indonesia. Kemudian dipertegas dan diperjelas kembali oleh presiden kita pada waktu pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2019.
Gagasan awal pemisahan antara kota pusat ekonomi bisnis Jakarta dengan pusat pemerintahan negara memang sudah ada sejak presiden pertama kita masih menjabat. Namun, hal tersebut belum kesampaian untuk dilaksanakan. Barulah pada masa kepresidenan republik Indonesia sekarang yang dikepalai oleh Ir. H. Joko Widodo rencananya akan direalisasikan.
Hingga saat ini rencana tersebut masih berada dalam tahap pengkajian, seperti yang dikatakan oleh presiden masih ada beberapa kajian lagi yang harus dilakukan (wawancara tvOne dengan presiden Jokowi) sebelum benar-benar memindahkan ibukota.
Alasan pemerintah pusat menginginkan pemindahan ini ialah agar perkembangan yang ada di Indonesia bukan hanya terpusat di pulau Jawa saja. Namun, merata ke seluruh penjuru kota. Adanya pemerataan pembangunan, yang tentu saja menurut mereka hal itulah yang bisa membuat Indonesia lebih baik ke depannya.
Di samping itu dikatakan pula oleh politisi PSI Tsamara Amany jika diibaratkan sebagai manusia, kota Jakarta saat ini sedang depresi, sudah tak dapat lagi menanggung beban berat sebagi pusat ekonomi sekaligus pusat pemerintahan (ILC tvOne 20 Agustus 2019).
Sekarang saja kondisi Jakarta sudah sangat parah dengan bencana banjir tiap tahunnya serta kemacetan dan polusi moda transportasi, belum lagi jika sewaktu-waktu gempa menghampiri Jakarta jelas akan sangat merugikan. Jika diteruskan pastinya akan ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Namun, sesuatu yang perlu kita perhatikan bukan hanya soal kota Jakarta saja, tetapi lebih besar daripada itu yakni negara kita Indonesia. Jika Jakarta diibaratkan sebagai manusia yang sedang depresi maka Indonesia jika boleh kita ibaratkan juga, bukan hanya depresi tapi menderita penyakit kronis jikalau Kalimantan benar-benar diambil alih menjadi ibukota yang mana katanya Kalimantan adalah paru-paru dunia.
Coba bayangkan apa yang terjadi jika paru-paru kita rusak, pernapasan kita pasti akan terganggu dan bukan tidak mungkin akan membawa kita pada ‘kematian’. Sekadar menyampaikan, di bawah adalah tulisan dari situs resmi WWF (organisasi non-pemerintah internasional yang menangani masalah-masalah tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan) yang memaparkan tentang kekayaan hutan Indonesia berikut.
Hutan tropis Indonesia adalah rumah dan persembunyian terakhir bagi kekayaan hayati dunia yang unik. Keanekaragaman hayati yang terkandung di hutan Indonesia meliputi 12 persen spesies mamalia dunia, 7,3 persen spesies reptil dan amfibi, serta 17 persen spesies burung dari seluruh dunia. Diyakini masih banyak lagi spesies yang belum teridentifikasi dan masih menjadi misteri tersembunyi di dalamnya. Sebuah contoh nyata misalnya, data WWF menunjukkan antara tahun 1994-2007 saja ditemukan lebih dari 400 spesies baru dalam dunia sains di hutan Pulau Kalimantan.
Mengapa presiden beserta jajarannya menginginkan adanya pemerataan pembangunan, sementara pemerataan akan ruang hijau tidak kita pikirkan secara mendalam? Perlu kiranya di bumi kita ini terdapat keseimbangan antara 2 hal, pembangunan dan ruang hijau.
Apa jadinya gedung-gedung pencakar langit menghiasi awan kita, jika hutan beserta isinya dilahap habis? Mungkin semuanya akan tersadar jika yang kita hirup sehari-hari bukan lagi hasil oksigen olahan pohon melainkan polusi-polusi yang ditimbulkan dari alat-alat transportasi dan debu proyek pembangunan.
Penulis adalah mahasiswa S1 Arsitektur angkatan 2017
==========================================================
Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab pengirim