LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

33 Kasus Represif, Penekenan MoU sebagai Perlawanan Pers Mahasiswa Indonesia

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) teken MoU tentang perlawanan represifitas yang diikuti oleh seluruh Dewan Kota (DK) PPMI saat acara Sarasehan Budaya, Festival Media dan Kongres Nasional ke XV di Vihara Avalokitesvara, Pamekasan, Madura, pada Senin (17/02/2020).

Isu itu sesuai dengan tema yang diangkat yaitu, “Memperkokoh Militansi Pers Mahasiswa di Bawah Tekanan Oligarki.” Ada 75 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang terdiri dari 23 kota, menyaksikan kegiatan tersebut dalam kesepakatan yang dibuat oleh demisioner Badan Pekerja (BP) Advokasi, Wahyu Agung.

Setelah itu, tanggung jawab ini diserahkan kepada BP Advokasi Nasional yang terpilih, yaitu Muhammad Firman. Dalam isi suratnya, Ia berjanji akan memberikan pengawalan hingga pengajaran ilmu advokasi tersebut.

“BP Nas akan siap mengawal kasus represif yang belakangan ini makin masif terjadi di kampus-kampus. Khususnya lagi, represi terhadap Pers Mahasiswa mulai dari pelarangan meliput hingga pemberedelan sekret.

BP Nas akan mengupayakan semaksimal mungkin, membangun paradigma kritis Persma untuk terbangunnya kesadaran kolektif demi melawan represifitas,” kata BP Advokasi Nasional Muhammad Firman kepada BP Media PPMI DK Banjarmasin, pada Rabu (19/2/2020).

Berdasarkan hasil riset, Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI mencatat ada 58 jenis represi dari total 33 kasus yang dialami oleh Pers Mahasiswa pada medio 2017-2019. Jenis represi yang paling sering dialami oleh Pers Mahasiswa adalah berupa intimidasi sebanyak 20 kali. Berikutnya ada pemukulan 8 kali, ancaman drop out 4 kali, kriminalisasi 4 kali, dan penculikan 3 kali.

Ada juga penyensoran berita, ancaman pembekuan dana, pembubaran aksi, pembekuan organisasi, kekerasan seksual, serta ancaman pembunuhan yang masing-masing tercatat pernah terjadi sebanyak 2 kali.

Selain itu, represi juga dilakukan oleh pihak luar kampus seperti Polisi 7 kali, masyarakat sipil 1 kali, dan oknum organisasi masyarakat sebanyak 2 kali.

“Kami berharap MoU itu tidak sebatas selembar kertas saja, melainkan sebagai sikap politik Persma dalam menyikapi masalah represi yang semakin masif,” Ucap Firman.

Adapun untuk langkah ke depan, Firman akan berupaya maksimalkan sosialisasi terkait pengadvokasian dan membuat Fokus Grup Diskusi (FGD) tentang masalah-masalah Persma dalam membangun kesadaran kritis tersebut.

Pelaku represi terhadap Pers Mahasiswa yang paling banyak adalah pejabat kampus dengan jumlah 18 kali. Berikutnya ada mahasiswa 7 kali, dosen 3 kali, Satuan Keamanan Kampus 3 kali, oknum organisasi mahasiswa 2 kali, serta warganet kampus 2 kali.

“Praktik represi yang dipraktikkan oleh birokrasi kampus tentu tidaklah bisa dibenarkan, karena itu sangat menyalahi prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan Perguruan Tinggi,” ucap Firman.

Firman memandang kampus sebagai instrumen penyuplai tenaga kerja untuk diperbudak nantinya dalam industri kapital. “Makanya memahami fenomena ini, seluruh mahasiswa menjadi korban, dan perlu membangun gerakan solidaritas bersama karena ini masalah mahasiswa bersama,” tandasnya.

Sumber: PPMI