Oleh: Nur Azis Hidayatulloh
Sungguh ironi jika kita memperhatikan kehidupan dunia internet belakangan ini, semakin cepatnya arus informasi yang kita dapatkan selama ini bukan hanya informasi positif yang didapatkan, sisi negatif juga menunggangi dari kecepatan informasi yang ada.
Menjamurnya produk teknologi di kalangan masyarakat telah mengubah tatanan kehidupan kita dari yang dahulu gadget bukan menjadi kebutuhan primer berubah cepat era sekarang gadget menjadi salah satu kebutuhan setiap individu. Dari anak sekolah hingga orang tua tidak lepas dari peran smarthphone di genggaman.
Hal ini berbanding terbalik dengan tujuan diciptakan smartphone dan internet, mungkin dahulu diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia akan tetapi sekarang sudah bergeser kepada hal-hal yang bisa merusak tatanan kehidupan manusia. Berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hatespeech) dapat kita lihat bertebaran dan menjadi wajah dunia media sosial yang sering kita gunakan.
Permasalahan berita hoax yang semakin pelik selaras dengan minat baca dan pemahaman literasi digital masyarakat yang kurang. Dari hasil survei Central Connecticut State University, melaporkan bahwa peringkat literasi kita berada pada posisi kedua terbawah setelah diteliti dari 61 negara dan itu hanya lebih baik dari Botswana.
Berarti hal tersebut juga membenarkan dari catatan bahwa indeks membaca Indonesia menurut UNESCO (2012) hanya 0,001. Artinya, di antara 1.000 orang hanya satu orang yang membaca secara serius. Selain minimnya akan budaya baca, masyarakat kita juga semakin terkikis akan pemahaman terhadap budaya asli daerah mereka.
Selain sebagai ciri khas dari kearifan lokal daerah, budaya juga sebagai manifestasi dari pemahaman akan nilai, spiritualisme dan harmonisasi keberagaman masyarakatnya.
Kampanye Klik, Login, Bagikan Konten
Terlepas dari semua dampak negatif yang ada, media sosial harus dimanfaatkan untuk kebaikan bersama dan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan membuat sebuah kampanye di lini masa setiap media sosial agar konten yang hadir di hadapan kita bersama tidak melulu membahas konflik kepentingan dan konten politik identitas yang semakin gencar dihadapkan di masyarakat.
Melalui kampanye ini, selain memperkenalkan kembali nilai-nilai budaya banjar juga dapat menjadi wadah bagi kalangan generasi ‘zaman now’ untuk lebih memahami budaya lokal. Kebudayaan harus hadir di tengah kondisi zaman seperti sekarang, dengan kehidupan seimbang antara modernitas dan budaya akan mengisi kedua elemen tersebut.
Apabila teknologi tidak kita isi dengan konten budaya, modernitas akan menjadi kering dari ciri khas kearifan masyarakat lokal.
Alasan dari kampanye konten budaya banjar adalah:
Pertama, banyaknya pengguna media sosial online di kalangan muda-mudi Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan hasil survei mereka pada tahun 2016 bahwa media sosial online menempati urutan pertama jenis konten yang biasa diakses pengguna internet dengan presentase 97,4%. Lebih lanjut, Hasil riset online diselenggarakan oleh ComScore menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara ke empat yang paling banyak menggunakan facebook di dunia.
Tak hanya itu, mereka memberikan julukan “Twitter Nation” kepada Indonesia sebagai negara yang paling kecanduan twitter di dunia. Hasil penelitian lembaga riset pasar e-marketer mengatakan bahwa populasi netter tanah air sudah mencapai 83,7 juta orang pada 2014.
Kedua, pengaruh media sosial online yang begitu masif. Tidak diragukan lagi bahwa media sosial sekarang merupakan arus informasi utama yang digunakan masyarakat Indonesia dalam mendapatkan Informasi. Ketidakpahaman akan alur jurnalistik telah membuat mereka menjadikan media sosial sebagai sumber informasi yang diserap secara mentah-mentah. Sehingga alur jurnalistik yang seharusnya digunakan untuk proses verifikasi informasi ditinggalkan.
Hal seperti ini tidak dapat begitu saja dicegah akan tetapi memanfaatkan yang ada dalam proses persebaran informasi untuk meningkatkan budaya baca.
Budaya banjar menjadi salah satu dari ribuan kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia selama ini. Kebudayaan banjar juga sebagai wajah tersendiri dari keberagaman masyarakat Indonesia, ketika arus modernitas memasuki wilayah-wilayah desa seperti sekarang bukan penolakan yang dilakukan, tapi proses menyeimbangkan antara kedua elemen tersebut akan menjadi salah satu unsur yang akan saling mengisi satu sama lain.
Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan angkatan 2014
==========================================================
Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab pengirim