Hal terakhir yang kulihat adalah rambut panjangnya yang menjuntai, sebelum akhirnya kepalaku membentur tembok lalu semuanya menjadi gelap.
Kata Mbak Sumi, kamar mandi di samping gudang itu memang sudah lama tidak digunakan lagi. Alasannya bermacam-macam, mulai dari keran air yang seringkali rusak dengan sendirinya, sampai dengan bau anyir darah yang kerap tercium di sana. Aku sendiri tidak terlalu peduli ketika Mbak Sumi menceritakan. Katanya juga di kamar mandi itu dahulunya ada seorang perempuan yang depresi lalu bunuh diri.
“Tiga hari kamar mandi itu terkunci. Walaupun saya sudah lama mengurus vila ini, saya sama sekali ndak tahu kalau di dalam kamar mandi itu ada seorang perempuan. Pada hari pertama dan kedua kamar mandi itu masih terkunci, saya pikir ada yang salah dengan gagang pintunya. Namun, pada hari ketiga, bau busuk itu mulai tercium …”
Aku memalingkan muka, tidak lagi memandangi Mbak Sumi yang masih menuturkan ceritanya. Tidak kudengar lagi apa yang dikatakannya setelah itu. Tatapanku lurus kepada kamar mandi di samping gudang yang tepat berada beberapa meter di hadapan kami. Tumbuhan merambat menjalar di dinding-dinding dan juga pintunya, aku menghela napas.
“Mbak, saya ke dalam dulu, lupa membereskan barang-barang,” ucapku kemudian yang tanpa menunggu jawaban dari Mbak Sumi aku langsung bergegas meninggalkannya.
“Ann, nih, handuk. Buruan mandi.” Rupanya Abang sudah menungguku di kamar, setelah menyodorkan handuk dan beberapa perlengkapan mandi ia lalu tersenyum. Abang pasti tidak lupa bahwa aku sudah berjanji akan menemaninya melihat langit jingga.
Aku duduk di atas tempat tidur tepat di samping Abang. “Baru jam empat sore, Bang. Bunda mana?”
“Ada, di dapur.”
Aku diam, Abang pun sama. “Ann, kata Bunda kamar mandi yang di dekat tangga itu keran airnya tersumbat, jadi gak bisa mandi di sana,” ujarnya kemudian.
Kutatap Abang sebentar lalu mengangguk. Tidak mandi juga tidak apa-apa, ah, andai saja aku berani bicara begitu. “Kamu pinjam kunci kamar mandi yang di samping gudang itu sama Mbak Sumi, coba dibersihkan. Kayaknya masih bisa digunakan,” tambahnya.
Aku membelalak, Abang memang tipikal kakak yang kejam. Selain memintaku mandi di saat-saat seperti ini, rupanya dia juga memintaku untuk membersihkan kamar mandi di samping gudang itu. Ayolah, Abang tidak sedang bercanda, bukan?
“Ann, jangan lupa pastikan bahwa keran airnya tidak bermasalah.” Aku merengut. Abang memang menyebalkan, setelah berkata begitu dengan entengnya dia melangkah keluar.
Pukul 16.12 p.m, aku sudah berada di kamar mandi yang terletak di samping gudang itu, sendirian. Tadinya sempat merengek meminta Mbak Sumi menemani, tapi lagi-lagi Abang hanya menyuruhku sendiri.
“Ann, setelah selesai dibersihkan cepat mandi, jangan lama,” pesan Abang setelah aku melaporkan padanya bahwa keran air itu masih berfungsi. Aku mengangguk.
Namun, bukan Rana namanya jika harus selalu patuh pada perintah Abangnya. Ada saat-saat di mana aku juga bisa membangkang, seperti sekarang. Mandi berjam-jam memang sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu. Selain Abang, Bunda juga sering memperingatkan, katanya pamali. Tapi aku selalu saja tidak peduli, larangan tentang jangan mandi lama bagiku hanya mitos-mitos orang tua. Dongeng pengantar tidur lebih cocoknya.
“Ann, buka pintunya!!”
Samar-samar teriakan Abang kudengar, masih dengan balutan handuk aku berdiri tegak sembari menutup mata rapat-rapat. Sepertinya sudah hampir satu jam aku berada di posisi ini. Bau busuk dan anyir darah itu semakin kuat tercium. Aku membuka mata sedikit dan mengintip, ada seorang perempuan bersimbah darah di depanku. Perempuan itu tengah menunduk, lalu saat ia mengangkat wajahnya… astagfirullah! Kututup mataku kembali. Sekujur tubuhku bergetar.
“RANA!!”
Aku tahu jika Abang sudah memanggil namaku begitu dia pasti sudah marah padaku. Tapi aku tidak berani membuka mata, aku takut. Kali ini aku benar-benar takut. Abang, tolong…!
BRAKK!! Aku membuka mataku ketika menyadari pintu kamar mandi itu didobrak. Hal terakhir yang kulihat adalah rambut panjangnya yang menjuntai, sebelum akhirnya kepalaku membentur tembok lalu semuanya menjadi gelap.
—
“Makanya, kalau Abang atau Bunda kasih tau tuh didengerin terus patuhin, jangan cuma iya-iya aja.”
Abang memang selalu seperti itu, baru saja aku sadar dari pingsan ia sudah langsung mencecarku dengan omelan. Aku tersenyum. “Pamali, Ann, pamali,” lanjutnya.
Syukurlah aku baik-baik saja sekarang, meski kepalaku masih kerap terasa sakit akibat benturan keras di tembok kamar mandi itu. Namun jika saja ketika itu aku kehilangan nyawaku, mungkin aku tidak akan bisa menceritakan ini kepada kalian.
Selamat memahami isi dari ceritaku, maaf jika hanya sesingkat ini. Aku tidak bisa menulis terlalu panjang, perempuan itu masih seringkali mengamatiku. Aku bisa merasakannya.
Karya: Nur Isma
—oSELESAIo—