LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Mengais Sesuap Nasi di Lumbung Padi Bumi

Oleh : Saputra (J1B110009), 
Mahasiswa Kimia FMIPA Unlam

Miris memang saat menyaksikan ribuan bahkan jutaan saudara kita kelaparan di tengah melimpahnya produksi pangan, di negeri yang mengaku berhasil melakukan swasembada beras. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah karena kita tidak punya lahan yang luas untuk bercocok tanam? Atau karena tanah di negeri ini tidak subur? Atau iklim di negara kita yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman pangan? Jawabannya (kita semua tahu) tidak. 

Sejak dahulu negeri ini dikenal sebagai zamrut khatulistiwa, dengan “tanah surga” yang katanya kalau tongkat di tanam bisa jadi pohon. Negeri kita kaya akan tanaman pangan dengan beraneka ragam jenis, kita semua tahu itu. Tapi, dengan jumlah penduduk yang terus membengkak dan banyaknya sawah yang di sulap menjadi lahan beton, tentu produksi pangan kita tidak bisa seperti dulu. Ditambah lagi dengan opini masyarakat bahwa bertani itu pekerjaan kelas dua, keuntungannya tidak menjanjikan apabila biaya operasionalnya terus melonjak seiring menghilangnya pupuk dan pestisida di pasaran.  
Satu hal yang harus kita garis bawahi, tidak semua wilayah memiliki potensi yang sama dalam produksi pangan. Masyarakat pesisir tentu lebih mengandalkan hasil laut daripada bercocok tanam, karena lahan yang tersedia kurang cocok untuk tanaman pangan seperti padi. Begitu pula dengan wilayah lain seperti pengunungan, rawa, dataran rendah, dan sebagainya. Setiap wilayah memiliki potensi yang berbeda-beda. Tetapi semua manusia sama, selain perlu sumber karbohidrat, seperti nasi, juga perlu asupan protein, lemak, vitamin, mineral, dan sebagainya. Untuk memperoleh itu semua, harus ada aliran bahan makanan tersebut dari produsen ke konsumen. 
Di sinilah peran pemerintah sebagai distributor bahan makanan tersebut, agar kebutuhan gizi semua rakyatnya terpenuhi. Inilah jawaban atas pertanyaan di awal tadi. Permasalahan bukan karena produksi pangan kita kurang, tetapi karena distibusinya yang tersendat dan tidak merata. Jadi, tidak mengherankan kalau banyak masyarakat di pelosok bahkan di ibu kota sendiri yang kelaparan karena tidak mendapatkan jatah sembako dari pemerintahnya sendiri. Hal ini sangat erat kaitannya dengan masalah lain seperti belum meratanya pembangunan dan pendidikan, Korupsi yang mengakar, serta masalah-masalah lain yang menjadi benang kusut dalam merajut baju negeri ini. Permasalahan ini harus diatasi satu persatu, sebagaimana kita mengurai benang kusut, agar baju yang dihasilkan kelak menjadi kebanggaan negeri ini.