LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

HARI IBU ADALAH PERLAWANAN

Oleh : Frimaputra Sandi
Kasih ibu kepada beta, 
tak terhingga sepanjang masa, 
hanya memberi, tak harap kembali, 
bagai sang surya menyinari dunia… 
Itulah sepenggal lirik lagu yang sering di dengungkan pada peringatan Hari Ibu Nasional diperingati pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Dalam peringatan hari ibu ini, kita lihat di berbagai media televisi, koran, majalah, radio, maupun jejaring sosial internet facebook. Twitter dan lain-lain turut serta membicarakan hari ibu nasional ini dengan ucapan-ucapan terima kasih kepada ibu yang telah memberikn jasa kepada anak-anaknya. 
Bukan hanya dalam lingkup nasional, peringatan Hari Ibu juga dirayakan di berbagai belahan dunia dengan waktu yang beda. Lalu apa bagaimana kita memaknai Hari Ibu dalam lingkup Nasional ini. 
Penetapan Hari Ibu tanggal 22 Desember sebagai perayaan, diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Dan pengakuan secara nasional Presiden Ir. Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.  
Peringatan Hari Ibu saat ini dinilai bahwasannya kita harus selalu menyadari bahwasannya seorang ibu adalah sosok yag selalu di banggakan dan harus selalu kita hormati. Dalam konteks ini ada beberapa cara perayaan hari ibu ini dilaksanakan, misalnya dengan membebas tugaskan seorang ibu agar ibu tersebut merasa nyaman dan semua tugas-tugas sorang ibu sebagai ibu umah tangga dilakukan oleh anaknya yang merayakannya. ada juga merayakannya dengan lomba memasak, lomba merangkai bunga, lomba memandikan bayi, karoke, baca puisi, lomba merias wajah istri oleh suami, dan lain-lain. 
Kalau sepintas, penulis melihat dengan berbagai macam cara merayakan hari ibu di atas merupakan cara-cara yang bersifat seremonial belaka dan hanya menonjolkan peran Ibu sebagai pekerja rumah tangga. Lantas, apakah dengan membebas tugaskan seorang ibu, lomba merangkai bunga, lomba memandikan bayi, karoke, baca puisi, lomba merias wajah istri oleh suami, dan lain-lain di hari ibu maka selesailah sudah tugas kita untuk merayakan hari ibu tanpa memaknainya dengan sudut pandang yang lain. 
Secara historis pada umumnya diawali dengan Kongres Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928 yang mana diselenggarakan sekitar dua bulan setelah Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928. Memaknai hari Ibu ini dengan cara melihat sudut gender, bahwasannya di dunia ini secara umum dihuni oleh laki-laki dan perempuan, dengan adanya Hari Ibu yang notabenenya berasal dari Kongres perempuan Indonesia, kita melihat bahwasannya peranan seorang perempuan sangatlah penting dalam perjuangan dari belenggu penjajahan, misalnya tokoh perempuan Cut Nyak Dien bahkan kisah perjuangannya pernah di filmkan di layar lebar yang berhasil mengusir penjajah Belanda. 
Selain itu harus kita ketahui 3 orang perempuan, yakni Sujatin, Ny. Soekanto dan Nyi Hajar Dewantoro pada tahun 1928 menggelar Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Kongres dan mengeluarkan deklarasi pertegas melawan kolonialisme dan mendesain konsep negara bangsa. Hal ini menunjukkan bahwasannya perempua Indonesia juga turut serta menginginkan kemerdekaan yang hakiki agar konsep negara bangsa yang dimaksud dalam deklarasi tersebut tercapai. 
Kaum perempuan pada masa Hindia Belanda era tahun 1920-an diselimuti berbagai masalah. Sangat sedikit kaum perempuan yang bisa menempuh pendidikan, sebagian besar dari mereka sudah dikawinkan saat usia muda, sehingga tak punya kedudukan kuat untuk menggugat atas tindakan sepihak dalam hal perkawinan. Penetapan hari Ibu disini penulis hanya ingin menegaskan bahwasannya perayaan Hari Ibu telah bergeser atau bahkan menyempitkan makna dari Kongres Perempuan yang menetapkan Hari Ibu Nasional. 
Pergeseran ini pada umumnya dikarenakan 2 faktor, pertama kurangnya pengetahuan tentang sejarah ditetapkanya hari Ibu Nasional, agar masyarakat dapat memaknai secara historis, maka dalam masalah ini peran pemerintah harus gencar memberikan pengetahuan kepada masyarakat melalui sosialisasi. Selain itu, para pendidik dalam hal ini guru harus memberikan informasi kepada murid didikannya, karena pola pikir remaja itu sedikit banyak akan terbentuk pada saat dilingkungan sekolah. Kemudian media juga berperan aktif dalam memberikan informasi bagaimana sejarah Hari Ibu itu sebenarnya, mengingat media merupakan salah satu alat propaganda yang efektif. 
Kedua, penyempitan makna Hari Ibu merupakan terbentuknya pola pikir masyarakat akibat faktor pertama tadi, yaitu meniru perayaan di negara lain agar gaya hidup terlihat trend atau modern. Misalnya meniru Amerika Serikat yang merayakan Hari Ibu dengan hari libur nasional dan sebagaimana menurut IBISWorld belanja masyarakat Amerika Serikat meningkat tajam dari hari-hari biasa. Artinya kehedonisan dalam merayakan hari ibu tersebut sangat tidak wajar, bahkan masyarakat tertarik dengan membeli bunga untuk perayaan hari ibu tersebut. Disini pada tatanan masyarakat modern saat ini pemerintah telah mengalami kegagalan dalam konteks Ketahanan nasional Nasional dalam fungsinya sebagai doktrin dasar nasional perlu untuk menjamin tetap terjadinya pola pikir dalam menyatukan langkah bangsa Maka dari itu kehedonisan budaya-budaya barat pada hari ibu di negara lain jangan sampai terjadi di Indonesia. 
Dari kedua faktor diatas, menunjukkan pemahaman hari ibu nasional ini hanya dipahami secara kontekstual saja, tanpa meninjau secara historis ditetapkannya hari ibu nasional ini. 
Dengan peringatan Hari Ibu Nasional ini kita harus tetap bertahan dengan Hari Ibu Nasional versinya Indonesa agar semua elemen bangsa dapat memaknai Hari Ibu dan jangan sampai hari Ibu dirayakan dengan kegiatan-kegiatan hedonis yang justru mengaburkan makna dibalik hari Ibu. 
Untuk itu mari kita maknai Hari Ibu Nasional bahwa perempuan juga berperan melakukan perlawanan terhadap penindasan oleh para imperialisme. Selamat Hari Ibu Nasional, selamat berjuang kaum perempuan pemberani Indonesia.