Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) adakan seminar nasional pada Sabtu (29/4) di Gedung Serba Guna Universitas Lambung Mangkurat. Mengusung tema “Mempertahankan Eksistensi Budaya Pada Era Modern Melalui Kreasi Sastra”. Acara ini membahas tentang kesenjangan antara sastra daerah dengan estetika kepenulisan sekarang.
Jamal T. Suryanata, seorang sastrawan Kalimantan Selatan mengemukakan dalam kesempatannya, “Penulis masa kini dianggap telah kehilangan jati diri. Fokus mereka bukan lagi pada kebudayaan lokal di negeri sendiri, melainkan gaya tulisan berjenis teenlit dan yang bersifat global.”
Hal ini bermula sejak tahun 1940, dimana tokoh sastrawan terkemuka seperti Chairil Anwar melakukan gebrakan besar dalam sastra Indonesia, sehingga sejak saat itu lokalitas dalam kepenulisan sastra mulai mencair.
Beliau menambahkan, banyak pengamat sastra yang mengatakan bahwa sastra di Indonesia saat ini sangat rampung. Penulis mengembangkan kreativitas, tetapi mencabut lokalitas dari memori, sehingga tulisan yang mereka hasilkan lebih menonjol kepada gaya hidup yang hedonis dan metropolis.
“Ini yang perlu ditekankan, kita harus menanam kembali lokalitas pada jiwa-jiwa muda Indonesia. Sehingga mereka tahu bahwa ada titik batas pada imajinasi mereka yang bebas.” ungkap bang Jamal.
Berbeda dengan Jamal T. Suryanata, Sandi Firly yang berprofesi sebagai penulis yang cukup terkenal ini memiliki pandangan tentang problematika lokalitas dalam kepenulisan sastra di Indonesia yang menurutnya, lokalitas tidak diangkat melalui imajinasi, tetapi berangkat dari realita yang ada di lingkungan, yang mungkin dialami, disaksikan, atau secara emosi dirasakan oleh sang penulis. Setiap penulis memiliki gaya tulisan yang berbeda-beda, tergantung pola pikir dan pengaruh lingkungan di sekelilingnya.
Sastrawan dan kritikus sastra memandang bahwa persoalan lokalitas dalam sastra yang sebenarnya itu tentang wilayah kultural dengan segala situasi dan persoalan sosial budaya yang melekat di dalamnya, termasuk ideologi yang terlihat melalui pandangan dan interaksi tokoh-tokoh masyarakat, sehingga kearifan lokal secara tidak langsung akan tercermin dari jalinan teks yang ditulis.
“Lokalitas dalam dunia sastra digambarkan seperti dimana penulis itu berada, sehingga tempat dalam unsur kepenulisan sangat mempengaruhi tema yang akan penulis ciptakan,” ujar sastrawan yang akrab dipanggil bang Sandi.
Sedangkan dari Faisal Oddang mengusung tentang menabung dan membelanjakan kata-kata. Menabung dan membelanjakan kata-kata merujuk pada pembelajaran sosiologi sastra. Sastra yang menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial.
Jika yang ingin dicapai mengenai kepenulisan proses kreatif kepengarangan. Kita bisa memulai dari buku-buku yang dibaca, musik yang didengar, film yang ditonton dan interaksi yang dilakukan oleh seorang pengarang adalah sebagai proses menabung.
“Sederhananya, jika ada seorang pengarang yang berusia 30 tahun, dan sejak lahir dia tinggal di sebuah kamar yang berisi; kipas angin, kasur, sejumlah pakaian, makanan, minuman dan kamar mandi dan selama 30 tahun, dia hanya dikenalkan pada kata-kata yang berupa nama-nama benda yang ada di kamarnya (taruhlah sepuluh kata). Dari ilustrasi tersebut, maka kata yang ia dapat kombinasikan hanya ada sepuluh kata. Dengan kata lain, ia akan kebingungan ketika harus mendeskripsikannya” ucap Faisal.
Ahsani Taqwiem, salah satu dosen prodi PBSI mengungkapkan bahwa tema yang diangkat teman-teman Hima mengenai seminar ini, yang berfokus pada lokalitas tentu sangat kekinian, karena memang diangkat dari kecemasan teman-teman bahwa karya-karya yang memfokuskan diri pada lokalitas terlihat kalah oleh karya-karya yang berjenis teenlit. Tentu acara ini harus didukung dan ditindaklanjuti dengan cara teman-teman mahasiswa lebih giat lagi menulis. Sehingga pada akhirnya tidak hanya teori tentang lokalitas, tetapi juga membuktikan teori itu dapat diaplikasikan dalam tulisan-tulisan yang diharapkan mampu diterbitkan baik dalam buku, koran, maupun majalah.
“Antusias teman-teman terlihat sangat baik, karena kita memang berasal dari jurusan yang fokus pada sastra dan indonesia. Hanya saja kedepannya seminar seperti ini harus lebih terbuka lebih besar lagi, agar masyarakat juga dapat menikmati sajian-sajian mengenai kepenulisan, proses kreatif, dan aspek-aspek dalam tulisan itu sendiri. Harapannya tentu seminar ini bukanlah sebuah akhi, tetapi sebuah awal. Kedepannya mungkin bisa difokuskan ke workshopatau teknik, pelatihan-pelatihan sehingga kepenulisan tidak hanya datang dan mendengarkan seminar. Namun, mereka datang, menulis, dan ketika keluar menghasilkan sebuah karya,” tutur pak Awiem.
Faturrahman selaku ketua pelaksana kegiatan mengatakan salah satu tujuan dari tema seminar kali ini, bahwa agar kita dapat memunculkan tulisan berbudaya lokal. Misalnya, penulis tidak hanya untuk menghasilkan uang saja dari tulisannya, tetapi budaya lokal dari tulisannya, karena sebenarnya budaya lokal itu punya kekuatan tersendiri, khas dan warnanya sendiri.
“Acara ini sangat bagus. Tema yang diangkat sesuai dengan perkembangan zaman. Bahwa budaya lokalitas itu perlu ditindaklanjuti, karena sekarang ini budaya lokal sudah semakin luntur. Narasumber yang diundang sudah sangat lugas dalam menyampaikan materinya menyampaikan tema tentang budaya lokalitas. Harapannya semoga Himbisastra bisa membuat acara yang lebih lagi dan menciptakan inovasi,” komentar salah satu peserta, Muhammad Muddakir. (Vn/EF/Hjr)