Review Buku, Pendidikan Kaum Tertindas
Oleh: Siti Nurdianti
Identitas Buku
Judul : Pendidikan Kaum Tertindas
Pengarang : Paulo Freire
Penerbit : LP3ES
Tahun Terbit : 2008
Tebal : xxxvii +221 hlm; 11 x 17.5 cm
Karena cinta adalah laku keberanian, bukan ketakutan, maka cinta adalah pemihakan pada orang lain. Tidak peduli di mana pun kaum tertindas ditemukan, maka laku mencintai adalah pemihakan pada perjuangan mereka—perjuangan bagi pembebasan. –Paulo Freire
Pengantar
Pendidikan dipercaya sebagai isu yang sangat penting dalam membangun sebuah bangsa. Melalui pendidikan, bangsa ini berharap dapat menggapai cita-citanya untuk menyejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Bukan hal-hal yang begitu unik, namun melihat betapa tingginya harapan yang diletakkan di pundak pendidikan, membuat pendidikan menjadi misi penting dalam sebuah program pembangunan.
Pendidikan begitu dipuja, alokasi anggaran dan waktu pun ditinggikan. Tapi pendidikan akan disalahkan ketika pembangunan bangsa tidak sesuai denga harapan. Banyak yang mengelukan, namun banyak pula yang merasa tak masalah.
Pendidikan adalah komponen utama yang akan dituding kalau moral bangsa rusak, atau apabila kualitas sumber daya manusia tidak bisa menghasilkan pembangunan seperti yang diharapkan.
Namun, sebenarnya apa yang terjadi di dalam sistem pendidikan Indonesia? Di mana letak salahnya pendidikan kita? Bagaimana mengatasinya? Serta pendidikan seperti apa yang bisa membangun kesadaran bagi peserta didik?
Buku yang ditulis oleh Paulo Freire 1972 silam memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Menurut Freire, ada sebuah kebutuhan pendidikan bagi kaum yang ia sebut sebagai kaum tertindas.
Pendidikan Kaum Tertindas lahir dari hasil pengamatan Freire selama enam tahun dalam pengasingan politik, diperkaya oleh apa yang telah ia hasilkan melalui kegiatan-kegiatan kependidikannya di Brazil.
Meski setting pengamatan dan pengalaman Freire berlokasi di Brazil, saya secara pribadi berpikir situasi ini juga relevan dengan permasalahan-permasalahan praksis di Indonesia. Selain itu, bukankah nilai-nilai pendidikan itu berlaku universal?
Pembenaran
Pada bab pertama, buku ini berbicara tentang penindas dan tertindas. Penindasan digambarkan sebagai usaha dehumanisasi yang sistematis dan terstruktur melalui pemolaan-pemolaan. Karenanya, humanisme merupakan masalah sentral yang harus diperjuangkan untuk membebaskan manusia tertindas melalui perlakuan-perlakuan yang tidak adil, pemerasan, penindasan, dan kekejaman kaum penindas. Dehumanisasi semacam ini terjadi karena adanya tatanan kehidupan yang tidak adil.
Pada bab kedua, Paulo Freire menjelaskan proses pendidikan yang selama ini dialami oleh kaum tertindas. Menurut Freire, pendidikan yang dialami kaum tertindas tak ubahnya seperti pendidikan gaya bank. Konsep pendidikan gaya bank cenderung membuat dikotomi terhadap apa saja yang membedakan dua tahap kegiatan seorang pendidik.
“Guru mengajar, murid diajar. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa. Guru berpikir, murid dipikirkan. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan. Guru menentukan peraturan, murid diatur. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui. Guru berbuat murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka,” (hal 54).
Pada bab ketiga, Paulo Freire menguraikan dialog sebagai unsur penting dalam pendidikan. Inti dari dialog adalah kata. Kata mempunyai dua dimensi refleksi dan aksi yang berada dalam interaksi radikal. Tanpa refleksi hanya akan terjadi aktivisme, dan tanpa aksi hanya akan terjadi verbalisme.
“Jika dalam mengucapkan kata-katanya sendiri manusia dapat mengubah dunia dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai manusia,” (hal.77).
Dengan berdialog tidak ada lagi satu orang aktif menabung gagasannya ke pada orang lain, sementara orang lain pasif menerima gagasannya. Dialog hanya dapat terjadi bila didasari pada cinta, kerendahan hati dan keyakinan.
Pada bab ke empat, Freire membandingkan antara pendidikan dialogis dan antidialogis. Teori pendidikan (tindakan) dialogis bertentangan dengan teori tindakan antidialogik. Tindakan dialogis selalu bersifat kooperatif, artinya ada kesatuan dan kerjasama antara pemimpin dan masyarakat dalam upaya berproses mencapai pembebasan. Sedangkan “tindakan antidialogik ditandai dengan usaha menguasai manusia, membuat manusia tunduk, pasif, menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga tetap tinggal tertindas.”
Teori tindakan antidialogis digambarkan dengan istilah penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Sedangkan teori tindakan budaya dialogis digambarkan Freire dengan istilah unsur kerja sama, persatuan untuk pembebasan, organisasi, dan sintesa kebudayaan.
Kelebihan dan Kekurangan buku ini
Pendidikan Kaum Tertindas sangat tidak mudah untuk dicerna. Saya sendiri perlu berulang kali membaca satu alinea untuk berusaha memahami apa yang coba disampaikan Freire. Untung, dalam prawacana, F. Danuwinata menyajikan ringkasan gagasan Freire.
Ringkasannya sangat membantu pembaca pemula seperti saya untuk memahami pemikiran Freire secara lebih mendalam. Namun, bila kita berhasil menangkap keresahan dan keprihatinan Freire, kritik-kritik terhadap pemikirannya atau cara penyampaian gagasannya akan menjadi kurang berarti.
Bagi Freire, yang terpenting adalah kebebasan, yang hanya bisa dicapai dari usaha pembebasan dari ketidakadilan dan penindasan yang bersifat struktural. Pendidikan Kaum Tertindas adalah refleksi kritis yang muncul dari konteks pergumulan untuk mencapai humanisasi.
Paulo Freire selalu berusaha mengaitkan kondisi masyarakat dengan dunia pendidikan. Dia mengemukakan dengan tegas bahwa tidak ada pendidikan yang netral. Inilah yang mengajak kita untuk berlaku kritis, jeli, dan waspada terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan.