LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Hegemoni Perempuan Jawa Atas Dunia

perempuan jawa

Judul                                      : Perempuan Perempuan Perkasa Di Jawa Abad XVIII-XIX

Penulis                                   : Peter Carey dan Vincent Houben

Penerbit, tahun terbit         : Kepustakaan Populer Gramedia, 2016

Jumlah halaman                  : xiv +114

 

“Tak perlu menjadi maskulin. Untuk berkuasa, perempuan Jawa justru harus memanfaatkan kefeminitasnya.”

Dalam berbagai literatur sastra warisan zaman kolonial belanda (1602-1942), bangsa Jawa seringkali diungkapkan sebagai masyarakat yang terkenal amat halus dan menurut. Perempuan Jawa dari kalangan elit atau priyayi digambarkan sebagai boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri. Perempuan yang sangat sensual, subur, dan memiliki gairah seks yang tak pernah pudar. Elok namun kepalanya kosong. Serba manut tak berdaya. Para perempuan tidak memiliki tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya ada urusan pribadi.

Kisah Raden Ajeng Kartini (1879-1904) yang diterbitkan oleh H. Abendanon berusaha mendobrak dinding tradisi dan mencari jalan keluar untuk merajut harkat sebagai perempuan bangsawan di dunia yang terdidik menjadi sebuah legendaris tragis. Seolah budaya Jawa mengamini terbelitnya hidup perempuan elite Jawa. Benarkah demikian?

Buku yang ditulis oleh Peter Carey dan Vincent Houben ini memberikan narasi sejarah alternatif bahwa perempuan Jawa pada masa pra-era Hindia Belanda (1818-1942) sesungguhnya mengambil peran cukup signifikan dalam urusan politik dan publik. Carey dan Houben menjelaskan dengan sangat baik, bahwa perempuan tidak sekedar konco wingking, melainkan turut andil menentukan di berbagai bidang, termasuk politik, perdagangan, militer, budaya, keluarga, dan kehidupan sosial istana Jawa Tengah Selatan. Bagaimana andil para perempuan elite Jawa akan saya bahas berikutnya.

Imaji sosok Perempuan Jawa dalam kisah rakyat

Kisah tentang perempuan utama dalam pewayangan seringkali digambarkan sebagai tokoh yang sakti, piawai dalam hal keprajuritan, serta memiliki fungsi pengabsah wangsa atau wadah kesaktian dan penerus warisan leluhur. Perempuan memiliki karakter yang sama berani dan perkasanya dengan suami. Drupadi, istri Yudhistira, misalnya, sampai bersumpah tidak akan mengonde rambutnya lagi sebelum bermandikan darah Dursosono yang pernah menghinanya (hlm 5). Kisah ini menggambarkan betapa perempuan memiliki tekad dan niat yang sama bulat dengan niat lelakinya.

Masyarakat Jawa percaya, sosok pelindung bangsanya adalah Ratu Kidul yang juga merupakan penjelmaan Batari Durga/Dewi Uma. Sebagai Dewi Uma, dia bisa membawa perlindungan dan kemakmuran. Sebagai Batari Durga dia bisa menimbulkan bencana dan penghancuran besar-besaran (hlm. 13). Untuk menjamin Ratu Kidul selalu melindungi masyarakat Jawa, para Raja Mataram setiap tahun mengadakan upacara khusus di Parangtritis dan bersetubuh dengan roh halus Ratu Kidul. Bahkan dalam Babad Tanah Jawi, hubungan intim dan istimewa dengan Ratu Kidul ini membawa kerajaan ke puncak kejayaan pada awal abad ke-17. Kisah-kisah ini menunjukkan bagaimana perempuan dengan daya gaib memiliki peran penegakkan kedaulatan kerajaan.

Peran laki-laki dan perempuan

Masyarakat Jawa tidak mengenal peran identitas antara laki-laki dan perempuan. Di Keraton Jawa Tengah Selatan pada abad 17, perempuan bebas turun ke medan perang berpakaian seperti laki-laki, sedangkan laki-laki berpakaian perempuan dan naik ke panggung menarikan Bedoyo Semang. Artinya tidak ada konstruksi gender seperti paham kekinian yang mengikat peran antara laki-laki dan perempuan.

Banyak perempuan yang menjadi prajurit di keraton tergabung dalam “Korps Srikandi.” Mereka ahli dalam berkuda dan menggunakan aneka senjata seperti tameng, busur, panah beracun, tombak, tulup, dan bedil. Para prajurit estri bahkan menulis buku harian yang kemudian disunting oleh Anne Kumar, diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul “Prajurit perempuan Jawa.” Dari buku harian ini diketahui bagaimana para prajurit perempuan tidak hanya dilatih memainkan senjata, melainkan juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik (hlm. 19). Perempuan dilatih berbagai macam keterampilan.

Perempuan elite dan klaim urusan finansial

Dalam hal urusan finansial dan keuangan, Raffles pada abad ke-19 mencatat perempuan di Jawa secara universal jauh lebih unggul daripada laki-laki. Dari buruh umum hingga kepala provinsi sudah dianggap lumrah bahwa urusan uang diserahkan sepenuhnya kepada istrinya. Perempuan melakukan jual beli dan mungkin berdagang di pasar. Para laki-laki menganggap bahwa kegiatan dagang atau tawar menawar itu merendahkan harga dirinya. Namun, terdapat pengecualian bila laki-laki itu memang diserahi jabatan sebagai pengatur keuangan atau perdagangan oleh keraton.

Penghubung istana dan dunia pedesaan

Selama berabad-abad, kaum bangsawan Jawa mempunyai ikatan darah erat dengan rakyat kebanyakan. Pernikahan antara Raja Jawa dengan perempuan desa sering terjadi. Perempuan-perempuan itu membawa nilai-nilai dunia petani Jawa ke keraton. Dampaknya, keraton memiliki jaringan yang kuat dengan dunia pedesaan. Kekuatan jaringan itu terlihat pada peristiwa seputar jatuhnya keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Ketika itu, sejumlah pangeran mencari perlindungan dari desa-desa yang berjarak cukup jauh dari desa, di mana ibunda mereka berasal.

Penjaga tradisi Jawa, pembimbing anak, dan penjunjung agama

Sebagai ibu dari anak-anak kerajaan, istri-istri para raja Jawa Tengah bukan hanya bertugas memastikan kelangsungan dinasti, melainkan juga dituntut melestarikan nilai-nilai budaya dan spiritual Jawa melalui pemeliharaan adat keraton dan pendidikan anak raja. Sebagai pendidik dan wali anak-anak kerajaan, perempuan memiliki pengaruh paling besar di dalam keraton pada akhir abad ke-18 dan awal ke-19. Ketika mengasuh, perempuan dapat menanamkan nilai-nilai kepada anak hingga mereka dewasa. Baik itu nilai-nilai agama, pengetahuan, maupun karakter.

Para keturunan kerajaan menjadi dekat dengan ibu biologis atau ibu angkat mereka. Tak heran, pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh keturunan kerajaan merupakan hasil waris dari perempuan yang mengasuhnya. Pangeran Diponegoro, misalnya, mengikuti jejak eyang buyut yang merawatnya menjadi penganut tarekat Shattariyah.

Kesimpulan

Buku ini merupakan pengantar singkat tentang sejarah perempuan dan kontribusi mereka dalam kehidupan sehari-hari di keraton Jawa Tengah Selatan pada abad ke-19. Kesempatan perempuan priyayi hingga akhir perang Jawa, menikmati kebebasan dan kesempatan untuk bertindak atau mengambil inisiatif pribadi yang jauh lebih luas daripada perempuan pada akhir abad 19. Jejak perempuan di bidang yang kemudian dianggap sebagai urusan laki-laki di dunia militer dan politik masih begitu terasa di dalam arsip Belanda dan karya sastra Jawa.

Sayang, Carey dan Houben hanya menarasikan sejarah perempuan Jawa dalam 80 halaman isi. Besar harapan, kemudian akan lahir karya-karya dengan kajian lebih dalam dan mampu memberikan gambaran yang terang tentang kehidupan perempuan dalam sejarah bangsa Indonesia.

Penulis: Siti Nurdianti