persmakinday.com – Ekologi merupakan istilah yang biasanya muncul ketika kita masih menduduki bangku sekolah–dan mungkin terngiang-ngiang hingga kini, tepatnya pada pelajaran biologi.
Definisi klasik dari ekologi sendiri adalah sebuah ilmu yang mengkaji hubungan timbal-balik antara makhluk hidup (biotik) dengan lingkungannya (abiotik). Makhluk hidup tidak hanya berhubungan dengan sesamanya sebagai bentuk sosial. Akan tetapi, berhubungan dengan selainnya (abiotik) demi menunjang kehidupannya.
Namun, sayangnya makhluk hidup–terutama manusia–malah kerap tidak menjaganya dengan baik, hingga memunculkan kerusakan baik di darat maupun di laut.
Pemicu kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini berasal dari keserakahan, sikap apatis, dan keegoisan yang ada pada diri manusia. Beragam upaya pun dikerahkan untuk mengikis perangai buruk itu.
Ternyata, karya sastra juga turut andil dalam hal menyadarkan manusia terhadap pentingnya menjaga lingkungan agar tetap asri. Sebagai bentuk perayaan terhadap hari Lingkungan Hidup Sedunia, maka kali ini saya akan mengulas sebuah novel dari sisi kajian sastra.
Kajian Ekologis Sastra
Kajian ekologis sastra atau ekokritisisme secara sederhana diartikan sebagai kajian sastra yang bertujuan menonjolkan aspek ekologi dalam karya sastra.
Endraswara (dalam Andriyani dan Piliang, 2016: 4-5) menjelaskan bahwa ekologi sastra perlu mengungkap:
- Aplikasi konsep ekologi ke dalam sastra, ketika pendekatan dilakukan dengan menjadikan bumi (alam) sebagai pusat studinya;
- Menangkap sastra sebagai teks yang memantulkan keadaan ekologis, mungkin kotor, bersih, tergenang, dan sebagainya;
- Mempelajari resepsi lingkungan tertentu terhadap karya sastra;
- Menangkap peran lingkungan dalam cipta kreatif sastra. Selanjutnya, konsep-konsep yang terkait dengan sastra ekologis adalah pencemaran, hutan belantara, bencana, perumahan/tempat tinggal, binatang, dan bumi.
Di antara karya sastra yang dapat dikaji dengan ekokritisisme. Terdapat pada sebuah novel berjudul “Sampah di Laut, Meira” karya Mawan Belgia. Dari judulnya saja telah menyiratkan aspek ekologi.
Novel tersebut diterbitkan Buku Mojok pada April 2020. Novel yang terdiri dari 246 halaman itu menonjolkan tiga tokoh bernama Cola, Meira, dan Ohana yang dikisahkan dalam babnya masing-masing.
Cola
Cola merupakan botol minuman yang dapat berbicara. Dia memiliki wawasan luas berkat ilmu yang disampaikan oleh Ilham kepadanya. Perjalanan Cola dimulai saat dirinya dibeli oleh seorang lelaki. Lelaki itu meminum isi Cola hingga habis lalu membuangnya begitu saja. Berikut cuplikan kutipannya:
Lelaki itu memandangi saya kemudian. Barangkali dia sedang membaca sesuatu yang tertera di diri saya. Tidak lama, hanya sebentar saja. Dengan sangat keterlaluan melemparkan saya di bibir jalan. Saya hanya bisa mengumpat manusia sialan itu. Setelah isi saya dikuras habis, malah ditelantarkan (Belgia, 2020: 15).
Cola pun berubah status dari minuman kemasan menjadi sampah. Beberapa waktu kemudian ia dibully oleh dedaunan yang gugur. Mengapa sampai dibully? Karena adanya perbedaan kelas di antara mereka.
Dedaunan menyombongkan diri karena mereka adalah sampah yang mudah terurai, sedangkan Cola sebaliknya.
Kekurangan Cola yang sulit terurai. Cenderung jarang dimanfaatkan manusia menjadi pemantik terjadinya bullying di kalangan para sampah. Maka dari itu, manusia perlu bergerak untuk menghadirkan inovasi terkait pemanfaatan sampah yang sulit terurai seperti Cola.
Meira
Berikutnya ialah Meira. Seorang gadis polos, cantik, dan melek literasi. Meski begitu, nasib mengharuskannya putus sekolah karena himpitan ekonomi keluarganya.
Meira adalah gadis yang gemar membaca. Meskipun ia putus sekolah, ayahnya berupaya membuat anggaran keuangan agar bisa membelikan buku tiap bulan untuk Meira. Namun, keadaan laut yang semakin tercemar membuat pekerjaan ayahnya melayang.
Masa di mana hasil tangkapan Amadi tidak banyak lagi. Karena ikan-ikan semakin sukar ditangkap. Banyak penyebabnya. Laut tidak bersahabat lagi dengan ikan karena ulah manusia. Karena begitu banyak limbah, juga semakin banyak kapal-kapal yang menjadi saingannya (Belgia, 2020:88).
Ohana
Terakhir, Ohana. Sebuah botol berisi skincare pelembab badan yang dimiliki Meira. Memiliki kelebihan bisa mendengar suara dari tempat yang jauh. Selain itu, ia juga pandai bernyanyi dan menghibur benda-benda di sekitarnya.
Takdir mempertemukannya dengan Cola saat berada di bawah laut. Ia juga berpetualang mengelilingi laut dengan cara diangkut oleh ikan.
Kehidupan di laut sangat ramai. Sama halnya di daratan tempat manusia hidup. Tidak hanya makhluk laut yang aku temui dan tidak selamanya pemandangan alam laut yang indah. Dia pernah membawaku ke tempat yang kotor, banyak benda-benda sepertiku tenggelam di dalam laut, mencemari kehidupan yang ada.
“Aku tidak mengerti mengapa di dalam laut bisa hadir sampah sebanyak ini,” gumamku. Tanpa bersuara apa-apa, ikan besar bergerak ke atas membawaku ke permukaan. Lebih terhenyak lagi diriku melihat keadaan di permukaan, begitu banyak sampah plastik mengapung bahkan mereka bergabung seluas lapangan bola (Belgia, 2020:192).
Saya rasa kita sering melihat indahnya laut yang dihiasi oleh terumbu karang dan ikan-ikan. Meskipun hanya melalui tayangan televisi. Namun, novel ini mengungkap sebuah fakta. Yaitu tak selamanya pemandangan laut itu indah.
Melalui kutipan di atas, baik di dasar ataupun permukaan laut ada sampah yang ramai berkerumun. Sungguh sayang jika sampah itu jadi penghuni tetap dan menggusur indahnya pemandangan laut yang kita nikmati selama ini, bukan?
Mulai dari judul sampai isinya, terlihat bahasan terkait ekologi memang mendominasi dan sangat kental pada novel ini. Saya yakin novel ini adalah bentuk ekspresi penulis atas keresahannya terhadap kondisi lingkungan saat ini.
Sepintas saya melihat ada sisi feminisme pada bab Meira. Akan tapi tetap saja bobotnya tidak sebesar ekologi. Melalui tulisan ini saya harap kita terus menyadari pentingnya menjaga lingkungan, karena seperti kata pepatah “sedikit demi sedikit menjadi bukit”, sampah yang awalnya sedikit nanti akan menjadi banyak dan menjadi permasalahan yang terus diungkit.
Oleh: Anggi