Rilisnya film bertajuk Pengabdi Setanpada September 2017 lalu telah merubah dunia perfilman Indonesia, terlebih dalam unsur horror yang melekat dengan kebudayaan masyarakat Indonesia itu sendiri. Film garapan Sutradara profesional Joko Anwar ini telah membawa dunia “Perhantuan” Indonesia keluar dari masa kelamnya dimana hal-hal mistis bergandeng erat dengan visual yang dibalut sensualitas namun minim kualitas. Semenjak perilisannya dapat dibilang bahwa jumlah film-film “kurang bermutu” mulai terkikis dari layar lebar, dan bermunculan film-film yang lebih variatif dan kreatif nan lalu lalang menghiasi deretan sejarah karya perfilman dalam negeri.
Namun kesuksesan sosok ibu dan loncengnya ini menjadi formula bagi film-film yang menyusulnya, perlahan lahirlah film lain yang bertema pengabdian, pertumbalan, misteri dalam keluarga dan ajaran sesat. Kafir, Perjanjian dengan Iblis, Sebelum Iblis Menjemput, dan banyak film lainnya perlahan membawa horror Indonesia menuju kepada warna yang baru. Warna yang membuat kita akan perlahan lupa dengan sensasi Kuntilanak bergelantungan antara pepohonan di malam yang tenang, pocong yang muncul tiba-tiba dibalik pintu yang terbuka ataupun rumah berhantu yang siap membuat kita was-was untuk bisa tidur dengan tenang membayangkan sosok yang menemani kita didalam kesendirian. Kini semua berganti dengan “konsep kehantuan” yang lebih jelas mengapa dan bagaimana sosok itu sendiri terbentuk, konsep dimana amanat secara gamblang terlihat bahwa Iblis itu hadir dari kesalahan manusia itu sendiri yang haus akan nafsu duniawi, dan terlebih konsep bahwa rasa takut muncul dan akan menyakitimu secara langsung, tidak hanya bermodal wajah seram yang hanya nongol lalu hilang begitu saja. Penyelesaian di dalam alur “kehororan” lokal juga telah berevolusi dengan tegas, kini penyelesaian tidaklah hanya dengan “minta maaf” dengan arwah, atau dengan singkat dan tanpa kejelasan semua masalah selesai saat semua orang jahat berhasil dikalahkan “Setan”.
Perlahan formula demi formula mulai membuat jenuh beberapa penonton yang rindu akan tema-tema lawas, konsep horror dalam negeri malah mulai bergeser menuju ke arah kebarat-baratan yang kurang cocok dengan budaya lokal sehingga justru terkesan “memaksakan” alur cerita. Boneka berhantu, Anak Indigo dan Perjalan astral ke dunia lain, itu semua menjadi tema yang mulai dikembangkan para pembuat film dalam kurun waktu dekat ini. Perlahan Hantu sekolah maupun Hantu daerah mulai tidak cukup “seksi” untuk diangkat ke mata penonton bioskop yang membayar cukup mahal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terinspirasi dari budaya luar tidaklah sepenuhnya akan membawa efek positif bagi kekhasan perfilman bangsa.
Tapi penurunan kualitas “setan” lokal tidaklah berhenti dari tema yang itu-itu saja. “Persetanan” menjadi lebih terpuruk saat unsur intrinsik sebuah film tidaklah dianggap penting. Bermunculan film yang diniati untuk memberi rasa takut malah tidak mementingkan pemilihan tema yang jelas, alur yang rapi, bahkan latar yang baik. Horror bertema remaja yang hanya memanfaatkan influencer juga aktor/aktris yang mungkin “kurang profesional” masih dipaksakan dengan harapan film tersebut mampu menjadi trending layaknya kepopuleran pemainnya, tetapi tanpa kerangka cerita yang kuat? Film seperti apa yang ingin dipertontonkan?
Begitu banyak nya film-film yang mungkin “kurang berkualitas” bukanlah berarti perfilman Indonesia memburuk. Kunci dari majunya dunia perfiman jelas terletak dari penontonnya, bagaimana masyarakat mampu membawa pola pikir dan selera yang menarik, bukan hanya berkiblat kepada youtuber saja. Semua film yang telah diriliskan, apapun itu, seburuk apapun itu, jelas penilaian yang mampu mata dan selera berikan bersifat relatif. Baik itu film dengan tema yang monoton, Alur yang acak-acakan, penggarapan yang terkesan “tidak niat”, ataupun akting pemainnya yang buruk, perlu kita ketahui bahwa semua film pasti dibuat dengan persiapan yang matang, dan horror Indonesia harus kita yakini bahwa pasti akan berjalan menuju kejalan yang cerah. Kita harus percaya bahwa horror lokal akan Go Internasional dan bahkan mampu bekerja sama dengan Hollywood.
Tema Horror jelas menjadi cermin dari budaya Indonesia itu sendiri. Korea belum tentu mampu menirukan ketawa “mbak kunti” dengan sensasi yang sama dengan yang “kita” buat, bahkan Hollywood sekalipun tidak bisa menggambarkan sundel bolong dan sate yang dia pesan lebih apik dibandingkan yang mampu Indonesia gambarkan. Walau kini nuansa horror lokal mulai terkikis, tapi tidaklah menutup kemungkinan kedepannya kita bisa melihat “Setan-Setan” lokal bersanding di Bioskop yang sama dengan pahlawan Marvel. Dan jelas semua itu butuh bantuan dan perhatian dari jutaan mata yang menonton dan menikmati perfilman Indonesia itu sendiri. Karena kita harus mendukung karya anak bangsa, karya yang terus berkembang hingga mampu membuat kita bangga, walaupun hanya bermodal memanipulasi rasa takut manusia.