LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Kisah Seram di Tengah Hujan

Kisah Seram di Tengah Hujan

“Kalian kenapa sih?” Gede keheranan melihat tingkah adik bungsunya dan juga teman-temannya. “Kayak lagi dikejar setan aja”.

Anak-anak tersebut terlihat sangat letih. Mereka seperti baru berlari dari seberang benua. Alih-alih menjawab kakaknya, Hendra justru menjatuhkan tubuhnya di teras rumah. Tentu saja diikuti teman-temannya yang lain.

Gede merasa kesal karena diacuhkan. “Sudah tahu cuacanya panas begini, malah main lari-larian. Kalian itu udah dekil, sekarang malah tambah item. Dasar bocil.”

“Kak, buatkan minuman dingin dong. Kami capek nih”, pinta Hendra dengan nada yang membuat Gede semakin kesal. Teman-teman Hendra juga memasang raut wajah yang seolah-olah mereka akan mati kehausan. Hal tersebut membuat Gede terpaksa masuk ke dapur dan keluar lagi dengan menenteng teko yang penuh berisi air dan es batu.

“Jadi, ada apa?” Tanya Gede lagi setelah adiknya terlihat lebih baik seusai minum.

“Kami tadi hampir ditangkap penculik kak!” Kata Hendra disambut anggukan dari teman-temannya.

“Iya, dia mau ngambil kepala kami”, sambar salah seorang anak lagi.

“Iya, buat dijadikan jembatan”, kata anak yang lain.

Gede tertawa terpingkal-pingkal mendengar itu semua. “Aduh, ada-ada saja kalian ini.”

“Beneran kak. Mukanya serem banget. Terus dia bawa parang lagi di tasnya” , tutur Hendra.

“Dia juga nyeret karung kak. Isinya kepala semua”, tambah teman Hendra yang lainnya. Semua anak-anak itu jadi bergidik ngeri.

“Tau darimana kalian itu isinya kepala?”,tanya Gede.

“Kelihatan kak dari luar. Bulat-bulat.” kata Hendra.

“Orangnya gimana? Laki-laki atau perempuan?”

“Kakek-kakek kak. Dia jalannya aja pakai tongkat. Dia tadi mau ngejar kami, untung sudah tua. Jadi kalah cepat.”

Gede berpikir. Mungkin saja kakek itu sebenarnya cuma ingin minta tolong. Dan mengenai kepala dalam karung, itu sepertinya mustahil. Gede tahu sekarang sedang musim semangka, jadi mungkin saja kakek itu sedang membawa semangkanya untuk dijual ke suatu tempat. Tapi anak-anak ini bukannya membantu, malah lari.

“Kakak masih nggak percaya?” Hendra membuyarkan lamunan Gede. “Beneran lho kak.Didit kemarin bilang para penculik sudah sampai di desa sebelah. Sekarang sudah sampai di desa kita. Semua anak-anak dalam bahaya.”

“Dan kalian percaya?” Tanya Gede

“Iyalah. Soalnya kata Didit sudah ada korban di desa sebelah.” jawab Hendra dengan mantap.

“Itu kan cuma katanya. Kalian jangan mudah percaya dong. Apalagi sama Didit. Dia itu cuma banyak omong doang, nggak ada isinya.” ,kata  Gede. Anak-anak terdiam. “Sudah. Kalian minum aja dulu. Habisin tuh airnya.”

Melihat tingkah anak-anak yang polos itu, Gede jadi teringat akan dirinya dahulu ketika masih kecil. Mudah percaya dengan omongan orang, apalagi cerita-cerita seram yang diceritakan pada waktu SD oleh teman-temannya. Bahkan, cerita-cerita tersebut pernah membuatnya takut untuk pergi ke dapur. Sekarang, jika diingat-ingat lagi, Gede merasa konyol pernah takut karena cerita-cerita yang tak masuk akal itu.

Gede mencoba mengingat kembali kisah apa yang dulu paling seram. Ada satu waktu di mana semua cerita yang dikisahkan menjadi semakin menakutkan. Saat itu sedang hujan deras di pertengahan bulan Desember. Para guru sedang sibuk mengurus nilai ujian semester siswa-siswinya, sehingga para siswa hanya menghabiskan waktunya di dalam kelas dengan bercerita. Maklumlah, badai membatasi ruang lingkup eksplorasi mereka yang liar. Saat itu Gede baru duduk di kelas 4 SD.

Setidaknya ada tiga kisah yang paling Gede ingat.Yang pertama,mengenai Anjing dan pemiliknya yang melintasi kuburan.

Konon katanya, ada seorang pria yang pergi melintasi kuburan pada tengah malam bersama anjing kesayangannya. Ia tidak tahu bahwa ada sesosok makhluk astral penjaga kuburan yang tidak senang wilayahnya dijamah saat waktu sudah lewat jam 12 malam.

“Kalian tahu apa yang terjadi dengan anjing pria itu?” Krisna, teman Gede ketika masih SD menmbuat suasana menjadi cekam. Anak-anak lainnya menggeleng, menunggu Krisna melanjutkan.

Duarr…Geledek menyambar.Beberapa anak menjerit. Angin nampak menyukai jeritan itu sehingga ia menampar pohon-pohon lebih ganas supaya anak-anak tadi lebih takut lagi.

“Lanjutkan Kris!” Seru Gede.

“Kaki anjing itu menggigil..” kata Krisna dengan nada yang lambat. Anak-anak bergidik. Beberapa ada yang menelan ludah. Entah kenapa hujan sepertinya makin mengamuk. Ia menghantam atap sekolah dengan guyuran yang memekakkan telinga. Hal tersebut memaksa Krisna untuk memperlantang suaranya agar terdengar oleh teman-temannya.

Tidak ada yang tahu mengapa kaki anjing milik pria itu menggigil. Krisna mengatakan kalau kaki anjing itu ditahan oleh Sang Penjaga Kuburan. Anjing itu menyalak kencang, berusaha memberi tahu tuannya agar lari. Namun, si Pria tidak paham dengan situasi yang sedang berlangsung. Sebelum sadar dengan apa yang tengah terjadi, si Pria itu sudah tidak bisa menggerakan tubuhnya. Ketika dilihat, ternyata sekujur tubuhnya telah dililit oleh lidah yang sangat panjang. Lama kelamaan, tubuhnya makin kuat dililit oleh lidah itu hingga akhirnya tubuh si Pria hancur dan darahnya bercipratan ke mana-mana.

Itulah sebabnya, sekarang orang-orang desa selalu membawa anjingnya jika mau pergi melintasi kuburan. Konon katanya, anjing bisa memberikan tanda bahwa Si Penjaga Kuburan sedang patroli di area kuburan. Hingga sekarang, dikisahkan hanya ada satu cara agar bisa lolos dari penjaga kuburan. Saat kita melihat kaki si anjing menggigil, kita mesti lari secepat mungkin menempuh jarak 100 m. Katanya, panjang lidah Sang penjaga kuburan hanya mencapai 99 meter, tapi lidahnya bisa mengejar dalam waktu yang singkat.

Kisah tersebut benar-benar membekas di ingatan Gede. Hal itu dikarenakan ia bersama beberapa temannya harus melewati kuburan ketika pulang sekolah. Tak jarang, Gede dan teman-temannya akan lari terbirit-birit jika mendengar anjing menggonggong di sekitar sana. Namun, sekarang sudah sangat susah bagi Gede untuk bisa menerima cerita itu secara logis. Mengingat orang-orang desa tidak pernah sengaja membawa anjing mereka melintasi kuburan kecuali mereka sendiri yang mengikuti.

Kisah kedua yang diingat Gede bukan mengenai hantu, melainkan tentang masa-masa penculikan anak yang beredar di dalam desa, persis dengan masalah yang dihadapi Hendra dan teman-temannya.

Krisna mengisahkan bahwa dulu ada seorang anak kecil di suatu rumah yang mana ia sedang ditinggal sendirian oleh orang tuanya ke sawah. Saat itu sedang hujan deras. Anak itu melihat seorang pria berbaju lusuh berdiri di tengah-tengah hujan dekat kebun pisangnya sambil memegang celurit. Awalnya, anak tersebut tidak memedulikannya dan asyik menonton televisi. Namun, setelah beberapa lama, ketika anak tersebut melihat lagi ke arah kebun, pria itu sudah tidak ada. Tak lama, anak tersebut mendengar derak lantai papan dan ketika ia menoleh ke belakang, pria itu sudah berdiri di sana sambil memegang karung dan celurit yang siap diayunkan.

Konon, si penculik anak hanya memenggal dan mengambil kepala sang anak untuk dijadikan bahan pondasi jembatan. Dahulu Gede memang percaya saja dengan kata-kata Krisna, tapi sekarang semua itu benar-benar tidak masuk akal. Mana ada orang memakai kepala anak kecil untuk membuat pondasi jembatan.

Sebenarnya bukan cuma Krisna yang mengatakan itu, tapi kebanyakan orang tua memang selalu mengisahkan cerita itu kepada anak-anaknya, biasanya pada masa-masa kemarau. Mereka akan bilang “Jangan pergi ke mana-mana!Nanti kalau kamu ditangkap penculik, lalu kepalamu dipotong dan di buat jembatan, baru tahu rasa kamu. Udah dengar kan, anak di desa sebelah ada yang kena tangkap?”

Orang tua akan selalu bilang bahwa anak di desa sebelah sudah ada yang jadi korban. Setelah itu, mereka akan bilang bahwa pelaku akan datang ke desa ini dan menculik anak-anak yang senang berkeliaran. Dulu kata-kata mereka memang selalu meyakinkan, tapi sekarang Gede tahu alasan orang tua selalu mengatakan hal semacam itu kepada anak-anaknya saat musim kemarau melanda.

Kisah terakhir yang paling Gede ingat saat badai itu adalah mengenai jimat yang tersembunyi di sudut dapur.

Konon katanya, setiap dapur semua orang terdapat jimat yang disembunyikan oleh orang tua kita. Hal tersebut bertujuan untuk menghalau setan untuk mencium bau daging yang disimpan di dapur. Namun, ada satu waktu dimana jimat tersebut tidak akan berfungsi. Yaitu pada saat dimana tidak ada penghalang antara dunia manusia dan dunia makhluk gaib. Konon katanya,waktu itu berlangsung antara jam 3-4 dini hari.

Itulah sebabnya, ada mitos yang mengatakan kita tidak boleh menyisakan makanan malam karena bisa mengundang makhluk gaib ke dapur kita. Hal tersebut menjawab pertanyaan bagi kita yang sering mendengar suara perabotan seolah-olah sedang dipakai pada saat dini hari, serta suara bunyi riak air galon yang seolah-olah sedang ada orang minum.

Cerita ini adalah cerita yang paling dipercayai Gede waktu itu, karena ia sering mendengar suara perabotan dapurnya berdentang di saat subuh. Pernah sekali ia ditinggal oleh ibunya ke kamar kecil dan dia diberi tugas untuk menjaga masakan yang masih berada di tungku supaya tidak hangus. Saat itu masih subuh. Gede tidak berani masuk ke dapur karena cerita Krisna. Akhirnya, masakan tersebut gosong dan Gede pun dimarahi oleh ibunya. Benar-benar masa kecil yang penuh dengan keluguan.

Prankk..

Suara es batu berjatuhan dari teko membuyarkan lamunan Gede

Hendra dan teman-temannya sudah selesai minum. Mereka kelihatan bergegas ingin main lagi.

“Mau kemana kalian?” Tanya Gede.

“Main lagi kak”, jawab Hendra dengan polosnya.

Nggak boleh. Kalian ikut kakak!” Perintah Gede.

“Mau kemana kak?” Teman Hendra yang lainnya jadi penasaran.

“Kita temui kakek yang tadi”, jawab Gede yang membuat anak-anak tersebut kaget.

Nggak mau ah kak! Nanti kita diculik..”, jawab teman Hendra yang lainnya dengan nada resah.

“Udah, kalian tenang aja. Kan ada kakak”, kata Gede dengan santai. Tak lama kemudian Gede mulai berjalan. Anak-anak saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti Gede.

“Kalian tau nggak, sebenarnya kakek itu mau ngasih sesuatu ke kalian”, kata Gede ketika melihat wajah anak-anak tersebut terlihat tegang.

“Ngasih apa kak?” Hendra bertanya dengan nada curiga.

“Nanti kalian tahu sendiri”, jawab Gede setengah berbisik. Kemudian, ia memandangi langit dengan perasaan khawatir.

Matahari yang tadi benar-benar menyengat bumi, sekarang sudah digantikan posisinya dengan awan-awan hitam. Sebentar lagi pasti akan hujan. Kasihan si kakek pasti kerepotan membawa barang-barangnya. Dengan tegas, Gede mempercepat langkahnya yang dengan polosnya diikuti oleh anak-anak. Sebentar lagi mereka akan sampai ke tempat si kakek. Sambil menatap awan yang dibalut dengan kilatan petir, Gede kembali bertanya-tanya, di sudut mana ayahnya menyembunyikan jimat itu di dapur?

Karya : I Wayan Ari Gunawan