Sedetail mungkin kurasakan hembusan angin yang memabukkan ini. Yang seperti ini nih gak bakal bisa dirasakan kalau berkendara di Jakarta. Oke, memang kuakui kalau jalan di sini lebih kecil nan sempit. Namun, udara yang ditawarkan kepada kami jauh lebih bersih. “Kapan lagi coba kita bisa ubah rasa paru-paru seperti ini?” Aku menoleh pada Riyan.
Anak itu tertawa sambil menyenggol bahu Dion. “Temen lo tuh bro, kerjaannya diam mulu sih di rumah.”
“Makanya kurang piknik kan lo.”Ejek Dion. “Matanya jadi mirip mayat gitu, padahal cuma UN doang. Lemah lo!”
“UN doang? Lemah?” Aku mendengus. “Sorry aja ya, gua belajar mati-matian gak kayak kalian yang bisa santai.”
Riyan dengan cepat memalingkan wajahnya. “Tuh malah nyindir dia.”
“Tapi gua akui sih, pilihan kalian memang tepat untuk datang ke sini.” Entah kenapa mood-ku seketika membaik saat melihat pemandangan hijau asli yang terpapar indah di sepanjang jalan. Memang, UN itu sangat mengerikan bagiku, tapi semua itu terbayar hanya dengan melihat indahnya pemandangan kaki pegunungan Meratus ini.
Setelah melewati ujian menguras otak, duduk berhadapan dengan guru berwajah killer, menjaga nametag layaknya bodyguard, dan mencari jurus menyontek tanpa ketahuan, liburan memang yang paling cocok jadi obatnya.
Oh iya, namaku Eza Syahputra. Aku sedang berlibur selama tujuh hari bersama dua temanku, Dion dan Riyan. Memang lama, tapi itulah yang paling ditunggu para pelajar bila selesai mengerjakan UN tiga hari lamanya.
Kini saatnya kami, tiga serangkai dari sekolah kami, SMA Negeri 1 Jakarta untuk berlibur. Setelah melalui perdebatan yang panjang kami memutuskan untuk pergi ke tempat ini, tempat yang direkomendasikan oleh pakdenya Riyan.
“Masih jauh gak om?” Tanyaku tak sabar. Aku sudah menanti-nanti tempat yang katanya masih alami dan punya kisah sejarah di baliknya. Salah satu tempat wajib kunjung bila datang ke kota Barabai.
“Kada lawas lagi (tidak lama lagi).” Jawab Om Ihsan. Beliau adalah pakdenya Riyan sekaligus sopir antar-jemput kami selama di Barabai.
Setelah lima belas menit perjalanan mobil pun masuk ke parkiran. Dengan sigap Om Ihsan mengambil uang tiga ribu rupiah untuk membayar parkir. Ternyata tukang parkir di sini lumayan agresif, baru saja kami tiba orang itu sudah menunggu di depan mobil. Kalau dipikir-pikir mirip hantu Sadako yang siap keluar dari TV, tapi untuk meminta bayaran parkir.
Kami semua segera turun dari mobil. Segera kulempar pandangan pada dinding penuh lukisan yang berdiri kokoh di hadapan kami. “Jadi ini yang namanya Pagat Batu Benawa.”
“Dari luar saja sudah mempesona.” Ucap Dion. Aku setuju dengannya, jadinya malah semakin ingin masuk ke dalam.
Ini yang kukatakan tadi sebagai destinasi utama kalau mampir ke Barabai, Pagat Batu Benawa. Lokasinya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kecamatan Barabai. Sekitar tujuh kilo meter dari kota Barabai. Tempatnya masih hijau karena berada di kaki pegunungan Meratus. Sepanjang perjalanan saja kami sudah disuguhkan oleh pemandangan sawah yang sangat indah, pemandangan yang mustahil didapat di tempat asal kami, Jakarta.
“Woy… jangan malah bengong!!” Seru Riyan yang sudah siap masuk bersama Dion.
“Yah, habis menghayati keindahan ciptaan Tuhan dong.” Balasku sok keren. Menutupi kenyataan kalau aku sangat iri pada lingkungan yang masih asri seperti ini.
“Menghayati apa galau??” Sindir Dion.
Aku bergegas berjalan cepat menyusul mereka. “Sudah ahh, ayo kita masuk.” Disusul tawa oleh kedua sobatku.
“Mun sudah tuntung kaina telpon ja Aku (kalau sudah selesai nanti telpon aja).” Seru Om Ihsan dari dalam mobil. “Aku handak auran dulu (Aku ada kesibukan dulu).” Mobil itu menghilang dari pandangaku hanya dalam beberapa detik.
“Padahal enggak parkir tapi kok bayar?” Tanya Dion keheranan.
“Budayakan melestarikan tempat wisata dong. Sedikit aja sedekah dari kita bisa jadi berkah buat pengelola di sini.”
“Nah tumben lo bisa kasih nasihat gitu Yan.” Ucapku geli. “Yaudah. Mau berapa lama lagi kita di sini? Kapan masuknya?”
Setelah melalui basa-basi membosankan akhirnya kami masuk ke tempat wisata Pagat Batu Benawa. Untuk masuk ke tempat itu satu orang hanya dikenakan biaya sebesar tiga ribu rupiah, harga yang murah untuk pemandangan alam yang tiada tanding. Untuk ukuran tempat wisata kurasa fasilitas yang ditawarkan di sini tidak kurang. Terdapat mushala, taman bermain anak, panggung hiburan, gazebo, toko souvenir, warung, toilet, dan ruang ganti pakaian. Hal yang paling membuat kami kagum adalah lukisan yang tercetak rapi dinding. Lukisan ini menggambarkan legenda singkat tentang terbentuknya Pagat Batu Benawa.
“Menurut buku yang pernah gua baca lukisan ini mengisahkan tentang anak yang durhaka kepada ibunya, mirip malin kundang. Anak tersebut bernama Raden Panganten dan ibunya bernama Diang Insung. Nah, singkat cerita kapal yang ditumpangi Raden Panganten beserta istri dan anak buahnya terbelah atau pecah menjadi dua karena do’a ibunya yang terkabul lantaran Raden Panganten telah durhaka padanya. Satu pecahan dari kapal itu yaitu gunung yang ada di Pagat Batu Benawa ini, dan satunya lagi berada di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.” Riyan bercerita sambil menunduk layaknya menghayati.
“Satu lagi nih legenda tentang pelajaran berbakti pada orang tua.” Sahutku. Aku dan Dion mengangguk paham.
“Yup… makanya jangan durhaka.” Dion ikut menyahut. “Ingat, surga ada di telapak kaki ibu.”
Setelah kami berjalan beberapa meter ke dalam kami melihat pemandangan yang sesungguhnya. Pepohohan rindang hijau yang menghiasi di sisi kanan dan kiri, suara gemericik air yang beradu dengan batu bak orkestra alam dengan sensasi mendamaikan, suara nyanyian dari burung yang sesekali terdengar mengingatkan kembali pada keaslian alam yang sesungguhnya, riuh dari pengunjung dan anak-anak yang menikmati jernihnya air di sungai, bebatuan besar yang bisa dijadikan tempat duduk pengunjung khas alam terbuka. Semuanya berpadu saling bahu-membahu menghilangkan rasa penat di tubuh kami. Namun, dari semua itu, mata kami tertuju pada satu hal.
“Gimana?” Usul Riyan pertama. Dia yang paling ngiler sejak tadi.
Dion mengangguk. “Gua oke aja.”
“Toh, seindah apapun pemandangannya kalau dinikmati dengan perut kosong gak bakal berarti.” Tambahku. “Perut kenyang hati pun senang.” Tanpa dikomando kami langsung menyerbu warung yang menjual es kelapa muda. Warung yang sejak tadi kami lirik. Aku hampir tertawa mendapati ibu penjual es kelapa muda gelagapan melihat kami yang berlari datang seperti dikejar anjing.
Untung saja kami cukup bersahabat ditambah banyak anak-anak lokal yang bisa kami ajak bercengkrama, jadinya ibu penjual sudah tidak curiga pada kami. Akhirnya kami menikmati pemandangan sambil menyeruput es kelapa muda super nikmat ini, kata anak-anak lokal sih ini namanya ‘cao’. Riyan tak lupa mengeluarkan kue yang diberi Om Ihsan, apam Barabai. Kue basah khas Barabai dengan bahan gula merah. Aku bisa menebak itu karena warna kuenya cokelat mendekati merah. Rasanya juga manis dan lembut di lidah, cocok banget di-combine sama cao.
“Itu tuh, satu hal yang pasti sama kek di Jakarta.” Dion menunjuk pada sekelompok remaja di seberang sungai.
“Setuju. Mau di mana pun tetep aja zaman generasi milenial, suka foto-foto selfie.” Ucapku setuju. “Kek kita juga, hahaha. Lanjut guys?”
“Oke…” Sahut Riyan dan Dion serempak.
Setelah mengisi perut dengan minuman segar dan makanan khas daerah kami pun melanjutkan agenda kami. Yang pertama kami lewati adalah rakit bambu mengapung penghubung ujung sungai, selain itu di atasnya juga terdapat jembatan gantung. Dari kedua fasilitas itu kami dikenakan biaya untuk menyeberang sebesar dua ribu rupiah per orang. Di seberang sungai kami memutuskan untuk naik ke atas. Untuk mencapai puncak kami harus melalui puluhan anak tangga dari tanah dan semen serta membayar biaya sebesar dua ribu rupiah.
Memang luar biasa pemandangan pegunungan Meratus. Terlihat puncak pepohonan yang hijau menghiasi sepanjang bukit hingga ke ujung, aku merasa melihat pemandangan yang ada di film-film box office. Waktu berlalu cepat. Tanpa kami sadari sekarang sudah jam dua belas siang.
“Udah puas belum?” Tanyaku pada kedua sobatku yang tepar duduk di gazebo. “Baru aja tiga jam main udah capek? Lemah kalian!!”
“Yaiyalah capek. Lo gak nyadar capeknya berenang di sungai? Arusnya deras lagi.”Bela Dion. “Ni jantung rasannya mau copot!!”
“Kebanyakan piknik sih.”
“Emang ada hubungannya? Bukannya kebalik yah? Keknya lo yang kebanyakan piknik jadi gak capek gitu.”
“Pemandangan seindah ini belum lagi suasananya damai sentosa, jelas lah gua betah.”
Dion mengangguk lalu berdiri. “Yup. Kita patut bersyukur kalau Indonesia yang punya kekayaan alam melimpah gini bisa memanfaatkan kekayaan itu dengan baik. Gini contohnya, masih ada tempat-tempat indah yang dikelola dengan baik. Bayangin deh kalo gak ada lagi tempat indah kek gini, gimana nasib anak-anak muda yang disibukkan sama pembelajaran melulu?”
“Belajar sih belajar, tapi kan perlu liburan. Dan ini tuh gak hanya sekedar liburan. Pergi ke tempat-tempat kek gini tuh sebenarnya juga media pembelajaran, terbukti dengan adanya lukisan legenda tadi kan? Kalau bisa ngambil hikmahnya itu merupakan media pembelajaran moral untuk anak bangsa.” Tambahku. “Harusnya lokasi-lokasi seperti ini yang perlu dikelola pemerintah lebih baik lagi. Dengan pengelolaan yang baik bisa jadi tempat-tempat kek gini jadi destinasi wisata internasional terus menambah uang negara kan?”
“Lo bener Za. Bisa bahaya kalo lokasi-lokasi indah di Indonesia pada hilang gara-gara ditambang atau jadi lokasi industri.”
“Kita berdo’a aja supaya tempat wisata di Indonesia bisa bertahan dan makin dilestarikan.” Ucapku berharap.
Dion dan Riyan menjawab bersamaan. “Aamiin…”
Setelah Om Ihsan datang menjemput kami segera kembali ke basecamp. Perjalanan hari ini adalah pengalaman terindah bagiku, ingatan seperti ini tidak akan hilang dari kepalaku. Tapi aku masih perlu banyak tempat menaruh kenangan, soalnya ini kan baru hari kedua kami di Barabai. Kami masih ingin menjelajahi lokasi-lokasi plus jajanan nikmat yang ada di kota ini, kami juga tertarik untuk bersosial dengan remaja-remaja di sini, saling berbagi waktu dan pengalaman bersama. Di kota Murakata, Barabai.
Penulis: Muhammad Zahid