Siapa sangka Sora menjadi salah satu yang terpilih untuk menghadapi zaman apokalips, seumurannya kalau dulu bisa berlarian ke sana kemari tanpa takut akan terinveksi virus berbahaya. Kini sepertiga umat manusia berkumpul dalam satu Shelter pelindung, bentuknya seperti cangkang kura-kura yang dilingkupi oleh kaca. Last Turtle. Tempat teraman yang masih ada untuk umat manusia yang bertahan hidup.
Bencana tidak berhenti, setelah virus mematikan, mereka juga sedang menghadapi radiasi abu vulkanik gunung purba yang letusannya menyelimuti Bumi selama sebulan penuh, gelap gulita. Kini baru manusia percaya dia makhluk lemah, dulu masih saja sibuk mencampuri urusan alam hingga bertingkah layaknya penjarah.
Lima tahun hidup telah berputar, peradaban ada di titik terbawah yang kini manusia harus mendaki kembali semuanya dari awal. Begitupun Sora, yang dipikirkannya hanya bagaimana nasibnya ke depan. Setelah dua bencana itu datang, Sora tidak banyak berharap di masa depan semuanya kembali normal. Bagaimana mungkin Bumi akan membaik setelah kerusakannya hampir separuh planet dan tidak layak ditinggali. Sesama manusia dulu saling melontarkan karma, kini Bumi juga ikuttan memberi karma.
Shelter sibuk dan hidup, setidaknya manusia yang tersisa sudah belajar dari kesalahan, tidak merusak lebih jauh atau kemarahan alam akan lebih dahsyat. Para ibu sibuk dengan kegiatan mereka yang seputar bersih-bersih dan memasak, belum lagi harus mengurus anak yang belum menerima sepenuhnya tentang aturan khusus untuk tidak berdekatan sejauh lima meter karena ancaman virus yang lebih berbahaya pada anak-anak, jelas mereka protes keras dan berakhir merengek seharian. Para ayah sibuk membangun Shelter menjadi rumah baru umat manusia. Bangunan-bangunan persegi panjang berwarna putih menjulang di langit Last Turtle. Wanita maupun pria, muda-tua, juga ikut ambil bagian, bahu-membahu menciptakan kota terakhir yang nyaman dan kokoh dari ancaman bencana di luar.
Sora membawa kakinya ke sebuah bangunan berbentuk setengah bundar yang mana digunakan sebagai laboratorium, penelitian tentang virus terus berlanjut walau data menunjukkan penduduk Last Turtle adalah manusia berkekebalan tinggi, sayang virus ikut bermutasi ditingkat yang sama menakutkannya. Di salah satu bangsal Sora pernah melihat subjek kelas A yang terjangkit virus mutasi baru, karena rasa penasarannya yang tinggi kini dia menyelinap diantara para petugas lab yang hilir mudik, bersyukur tidak bertemu ayahnya yang berperan sebagai kepala Lab atau dia kehilangan izin menggunakan kaleidoskop, sebuah instrument optik yang terdiri dari cermin bidang miring, benda itu bisa membentuk cahaya-cahaya aneka warna yang bisa dilihat lewat lubang kecil di ujungnya.
“Rima,” Panggil Sora berbisik, dibalik bangsal kaca itu seorang gadis seumurannya tengah duduk memainkan serulingnya, sesaat Sora membiarkan Rima tenggelam dalam musiknya.
“Keren,” Puji Sora saat musik itu selesai, Rima tersipu karena tidak menyadari sahabatnya itu datang.
Rima adalah subjek A yang sedang diteliti, tubuhnya membentuk kekebalan terhadap mutasi virus baru. Dan untuk sekarang Rima dinyatakan sebagai sesuatu yang berharga namun berbahaya, anomali yang belum diketahui apakah dia kawan atau lawan. Sehingga dirinya diletakkan dalam bangsal yang terasingkan, tiap dua jam sekali akan ada yang bertugas mengecek keadaannya. Sora sekali ikut ayahnya memeriksa keadaan Rima, awal pertemuan mereka kala itu. Melihat Rima yang hanya duduk diam tanpa punya teman bicara membuat Sora jadi kasihan, dia lalu datang diam-diam tiap kali ada kesempatan. Yang awalnya karena perasaan miris seiring waktu Sora malah jadi kagum pada Rima, permainan seruling yang mendamaikan hati pendengarnya dan cerita-cerita yang selalu Rima punya untuk dia bagi pada Sora. Dalam waktu singkat merekapun jadi teman dekat.
Rima duduk di depan kaca, begitu juga Sora, mereka kini berhadapan.
“Bentar.” Sora memasang alat komunikasi, kaca tebal yang membatasi mereka ini kedap suara dan anti peluru. Betapa ketat penjagaan pada Rima seolah dia terkurung dalam tirani.
“Kedengaran?” Tanya Rima pada mik-nya. Sora mengiyakan, jelas dia kini bisa mendengar suara Rima yang ceria.
“Aku punya cerita baru,” Tutur Rima penuh semangat, Sora diseberang sana mendengarkan.
Rima kemudian membacakan kisah yang dia tulis, Bumi suatu hari mengalami invansi kingkong dari kerajaan Corona Managaskan. Sampai di sana saja Sora sudah menertawakan ide-ide nyeleneh Rima yang kian hari kian imajinatif. Rima menyuruh Sora diam agar dia bisa melanjutkan ceritanya. Para pasukan Corona Managaskan punya dendam kesumat pada planet Bumi, di Bumi semua kebutuhan melimpah ruah hingga tidak terbendung kekayaannya, kayu menjadi tanaman, laut berisi intan yang menyilaukan beserta kehidupannya yang aneka rupa, batu berubah jadi bangunan megah tiada banding. Hingga tanah gersang sekalipun disulap menjadi pemukiman yang nyaman ditinggali. Bangsa Kingkong di Planet Timburu-pun diam-diam ingin menguasai Bumi. Namun, bukannya mendapati planet termakmur di galaksi bima sakti, Corona Managaskan malah menemukan hal lain. Bumi tidak ubahnya Planet Timburu. Kerusakan di mana-mana, tanah yang awalnya subur hingga segala tanaman tumbuh kini rusak oleh zat kimia yang berlebihan, air yang dulu jernih sampai bisa melihat pantulan dasarnya dari ujung telaga berubah seperti lumpur, kusam warnanya. Udarapun beralih fungsi menjadi racun untuk makhluk hidup, pasukan Corona Managaskan akhirnya mesti mengunakan topeng gas untuk menghindari mual-mual akibat asap knalpot yang memenuhi tiap sudut kota. Persis keadaan Planet Timburu yang kian hari bertambah rusak, hanya soal waktu Planet Bumi serupa keadaannya.
Karena perasaan kesal dan benci terhadap kelakuan manusia yang masih semena-mena, Raja Kingkong VII memerintahkan untuk membumi hanguskan manusia Bumi sampai tidak bersisa seujung kuku sekalipun, dengan dalih ingin mempertahankan keadaan Bumi yang masih bisa terselamatkan. Sedangkan Planet Timburu, tinggal menunggu ledakan penghancur planet, Mega Blaze, untuk melenyapkan Planet Timburu yang tidak layak huni, entah apakah para kingkong mungkin sakit hati dengan kesalahan masa lalu mereka yang tidak bisa di perbaiki lagi. Jadi setelah menyiapkan armada perang terbaik, Raja Kingkong VII bahkan sampai turun tangan menjadi panglima perang untuk menghancurkan peradaban manusia.
Serangan Pasukan Corona Managaskan membabi buta keseluruh penjuru Bumi, dengan kemampuan aneh para kingkong manusia itupun diubah menjadi pisang dan ditimbun dalam lumbung. Mudah sekali mereka menguasai planet Bumi. Kini Bumi beralih kepemilikan kepada para Kingkong, bukannya memperbaiki keadaan Bumi kearah lebih baik. Mereka malah lupa dan bersenang-senang, setiap hari mereka hanya memakan hasil bumi tanpa menanam kembali dan berpesta seolah hidup mereka abadi. Hingga semua yang dapat dimakan sudah tidak bersisa, kecuali bibit-bibit yang masih bertumbuh. Ditambah menumpuknya sampah dan sisa kerusakan Bumi sebelumnya, para Kingkong mulai menyadari Bumi kian terancam kehidupannya. Dan mereka sudah kehabisan tenaga untuk melakukan perbaikan, berpesta bertahun-tahun ternyata sungguh menguras tenaga.
Sungguh tidak bertanggung jawab mereka para kingkong, pasukan Corona Managaskan mengembalikan manusia yang dulu berubah jadi pisang. Lalu kabur dari Bumi setelah kerusakan yang mereka akibatkan. Manusia harus menerima baru saja di kirim karma lewat cara teraneh dijajah Kingkong. Lalu walau setengah hati, merekapun kembali menata hidup dan belajar dari kesalahan.
“Tamat,” ucap Rima, mengakhiri kisah karangannya. Dia setia menunggu bagaimana respon Sora pada ceritanya.
“Konyol,” Komentar Sora, perempatan imajinatif tercetak di kepala Rima, “Parodi yang sungguh konyol, dan kau kenapa bikin akhir yang terlalu dipaksakan dan tergesa-gesa, penjelasannya kurang. Humornya tidak ada, jangankan tertawa, tertarik saja orang lain mungkin tidak. Bersyukur aku mau mendengarkan cerita-ceritamu ini.”
Rima menahan dirinya mengamuk mendengar komentar pedas Sora barusan. Sungguh, andai kaca ini tidak ada dia akan melempar dirinya dan menggigit kepala Sora saat itu juga. Semua cerita yang dibuat Rima pasti tidak akan lepas dari kritik Sora yang tidak disaring, padahal andai dia jujur dilihat dari wajah Sora, dia kelihatannya menikmati tulisan yang Rima buat. Dasar tidak jujur.
“Tapi kau berani mengambil tema yang sangat imajinatif, kau selalu kreatif dan penuh ide-ide menarik. Aku yakin, setelah latihan bertahun-tahun ceritamu lebih hidup.”
Walau masih kesal Rima tetap senang dengan pujian Sora tersebut, mendapat pengakuan dari Sora sangat sulit dan saat berhasil mendapatkannya, Rima rasa dia tidak bisa tidur kalau merasakannya. Setelah dua jam Sora pamit pulang, karena jadwal pemeriksaan Rima sebentar lagi akan tiba. Sora akan ketahuan menyelinap ke sini dan nanti dilarang untuk mengunjungi Rima lagi, lebih parah lagi Sora tidak bisa membayangkan Rima sendirian tanpa teman.
Keluar dari Lab, Sora memutuskan untuk membawa kakinya ke sebuah rumah berbentuk kotak polos, polos dalam artian tidak ada jendela maupun pintu. Memutuskan bolos dari kelas siangnya, daripada bosan dengan ocehan Miss Vero-Vero (nama aslinya Veronika) yang tiada habisnya. Tipikal guru yang berbicara sendiri hingga sibuk dengan dunianya dan murid-murid tidak menyimak malah ikut sibuk kegiatan masing-masing. Ayahnya pasti marah besar saat tahu anaknya yang dikira belajar malah keluyuran entah ke mana. Sora menyentuh dinding polos rumah tersebut, detik berikutnya seperti efek luntur sebuah lubang persegi muncul, Sora pun masuk ke dalam sana. Seolah sudah biasa, Sora berjalan menuju kamar yang bertulisan ‘JANGAN GANGGU KARENA PEMILIK BELUM MAU DIGANGGU’, tapi berhubung Sora tidak berniat membaca papan yang sengaja di letakkan di depan pintu tersebut, dia lantas membuka pintu dengan sekali tendangan hingga berdentum.
“Bangun paman!”
Seorang pria terjungkang dari kursinya, kaki di atas, kepala terantuk lantai. Suara gerutuan langsung menyembur dari mulutnya yang belum sikat gigi. Rambut merak dan sebuah kertas sedotan menempel, baju yang kancingnya salah masuk dan celana melorot karena ikat pinggangnya sudah tidak beraturan bentuknya. Sungguh cerminan pengangguran, pikir Sora. Tanpa permisi Sora duduk di kasur yang juga sama berantakannya dengan pemilik rumah yang tengah menggaruk kepalanya, belum sampoan berapa minggu ini orang?
“Woi, ngapain utak-atik laptopku!” serunya saat melihat Sora sudah berselancar dengan laptopnya dan mencari data-data yang tengah dikumpulkan oleh pria berambut merak ini.
“Hasilnya udah selesai?”
“Ya kagaklah!” Sora menutup telinganya, hobi banget teriak ini orang.
“Paman bilang bakalan dapetin metode biar Rima bisa keluar bangsal, aku sudah diam-diam ngambil data di kamar ayah loh. Jangan bilang Paman Bak Su manfaatin data itu untuk tindak kejahatan?” Laptop itu dirampas oleh Kang Bak Su yang kepalanya berdenyut karena bangun tiba-tiba sudah terhantam lantai. Sekarang anak kepala lab, Tora-sensei, ini malah bergelayutan di wilayahnya dan mengganggu ketenangannya, dan seenaknya meminta tolong untuk membuatkan sebuah alat untuk gadis objek A yang tengah timnya teliti, andai Sora tidak kedapatan dirinya tengah menyelundupkan majalah dewasa yang dia bawa dari luar Shelter saat misi menjelajah dirinya tidak akan pernah mau membantu ambisi bocah bau kencur ini hanya karena cinta monyet.
“Masih proses, berterima kasihlah aku mau melakukannya padahal aku sibuk,” Tandas Bak Su misuh-misuh, kembali duduk di depan delapan layar komputernya yang bekerja simultan.
“Sibuk kerja atau sibuk baca?” Goda Sora, tangannya sibuk mengacak-acak bawah kasur, sebuah kotak dipenuhi majalah dewasa ditariknya. “Wah, koleksi paman makin banyak.”
“Hoi!” Tangan Kang Bak Su cepat meraih baju Sora dan menariknya menjauh, sungguh sekarang sakit kepalanya lebih sakit ketimbang jatuh ke lantai barusan. Lebih-lebih mengendalikan seorang bocah nakal mengurai seluruh tenaganya. “Kalau kau terus mengganggu seperti ini, alat itu tidak akan kuselesaikan. Segera keluar atau kulaporkan ke ayahmu!”
Sora nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, memang rencana awalnya adalah untuk mengerjai Kang Bak Su. Sekarang dia pergi dengan santai menuju sekolahnya yang sudah separuh jalan, dan Kang Bak Su yang sudah sepenuhnya bangun memutuskan segera menyelesaikan pekerjaannya agar anak itu tidak datang mengganggu hidupnya yang damai.
*****
Tora datang ke rumah saat malam menuju puncaknya, seharian dia sibuk dengan penelitian tentang virus berbahaya yang cepat sekali mutasi dan adaptasinya. Sejauh ini protokol untuk anak-anak sepuluh tahun kebawah digalakkan karena batasan kekebalan tubuh mereka yang rentan. Entah kenapa virus ini mudah sekali menyebar pada anak-anak terutama balita, sehingga para calon ibu takut untuk punya anak melihat kondisi korban yang mengiris hati. Kemunculan subjek A membawa pengaruh baik untuk penelitian mereka, Rima yang dulu berumur sepuluh tahun kini beranjak dewasa dengan kekebalan tubuh yang menakjubkan, dia adalah pasien yang hingga kini belum menunjukkan indikasi penyakit jantung walau telah terpapar virus sebelumnya.
Perlahan Tora membuka pintu kamar anaknya, setelah kematian ibunya. Sora lebih banyak diam, tragedi lima tahun silam jelas membekas oleh anak sebayanya. Dan Tora tidak tahu cara mengurus anak sehingga Sora sering bertindak nakal. Dia menerima banyak laporan Sora membolos dari sekolah dan pergi entah ke mana, dan anaknya itu selalu pergi di jam dan hari yang sama tiap minggunya. Walau nilainya selalu bagus, Tora tidak bisa membenarkan tingkah laku Sora yang meninggalkan sekolahnya. Tapi waktu untuk berbicara secara serius berdua selalu tidak ada waktu, Tora disibukkan oleh pekerjaannya hingga makanpun kadang tidak sempat. Mengurus Sora secara benar dia merasa gagal.
Bukannya melihat wajah lelap Sora, anaknya itu sedang terjaga. Tora berinisiatif untuk masuk. Menyapa, Sora hanya memandang sekilas dan kemudian lanjut mengetik sesuatu. Sepertinya itu hukuman akibat bolos hari ini.
“Dihukum?”
Sora manggut-manggut. “PR dua kali lipat, harus dikumpul besok.”
“Sudah selesai? Perlu bantuan ayah?”
“Tidak usah, ini kesalahan Sora, jadi aku yang harus menyelesaikannya sendiri.”
“Hm,” Gumam Tora, mendengar Sora menyadari kesalahannya membuatnya sedikit bangga. “Ada alasan kenapa Sora melakukan itu?”
Sora menghentikan jemarinya, dia menoleh perlahan padanya ayahnya. Perasaan takut membuat Sora tidak berani untuk sekedar bercanda maupun membual alasan. Ayahnya bukan tipe orang yang suka mengomel untuk mendisiplinkan anaknya agar menurut, Tora selalu membuka percakapan yang intens untuk mengetahui masalah Sora. Dan Sora takut kalau dia jujur ayahnya malah menjauhkannya dari Rima. Untuk sekali ini, Sora khawatir ayahnya tidak sejalan dengan pendapatnya.
“Kalau masalahnya kamu bolos buat datangin anak itu, ayah sebenarnya sudah tahu.”
Sora membelalak kaget, dia sudah ketahuan bahkan sebelum menjelaskan apapun? Rencananya berantakan!
“Ayah. Aku tidak bermaksud untuk meninggalkan sekolah. Rima sering sendirian, aku kasihan dia tidak punya teman untuk diajak bicara. Jadi aku nekat menemani Rima sebentar lalu kembali ke kelas. aku janji nilai-nilai ulangan nanti lebih bagus lagi, asal jangan pindahkan bangsal Rima ketempat lain,” Jelas Sora dengan wajah memelas.
Tora duduk di kasur, lalu menatap wajah anak lelakinya tersebut serius. “Walau bagaimanapun, meninggalkan pelajaranmu adalah hal yang tidak baik. Lain kali ikutlah ayah akhir pekan mengunjungi Rima, asalkan jangan membolos dan berbohong pada ayah. Ayah tidak keberatan kalau Sora mau mengunjungi Rima asal alasannya jelas. Yang ini ayah maafkan, besok-besok jangan sampai ayah dapat laporan anak ayah masih bolos lagi, mengerti?”
Sora mengangguk gugup, dia tidak punya alasan lagi untuk melakukan hal tersebut. Akhirnya dia cuman bisa patuh. Namun, mendapatkan ijin untuk mengunjungi Rima setiap minggu lebih baik ketimbang Rima dipindahkan. Untunglah ayahnya faham.
“Ayah, aku punya satu permintaan.”
“Apa?” Tora jarang sekali mendengar Sora memintanya sesuatu, dia sedikit tidak sabar apa yang diinginkan Sora padanya.
“Begini, sebenarnya aku ingin mengajak Rima keluar mala mini. Ayah jangan marah dulu, dengarkan, ya, Yah. Aku punya alasan penting, dan sudah punya rencana matang untuk itu. Jadi bisakah Ayah mengijinkan untuk sekali ini?”
“Rima masih dalam kondisi yang tidak memungkinkannya keluar bangsal, virus dalam tubuhnya dua kali lebih berbahaya untuk orang-orang seperti kita. Kau tahu itu, kan.”
“Ya, tapi aku punya inisiatif agar Rima tidak membahayakan siapapun. Asal ayah mengijinkan kami keluar Shelter sebentar. Malam ini saja.”
Tora berpikir sesaat, di tengah pembicaraan itu. Sebuah telepon dari Kang Bak Su segera membuat Sora melompat semangat. Inilah rencana yang dia atur sejak lama. Hadiah untuk Rima.
*****
Rima malam itu tidak bisa tidur, dia sering melamunkan banyak hal. Bila dunia hanya sebatas ruangan ini, dia merasa makhluk paling kerdil karena tidak pernah tahu keajaiban apa di luar sana. Rima jadi teringat Sora pernah menceritakan tentang Bunga Hawthrone yang bisa berpendar di malam hari yang tidak jauh dari Shelter, ketika Sora ikut keluar bersama ayahnya yang juga professor di laboratorium ini. Sora selalu menceritakan kejadian apa saja yang terjadi diluar bangsal. Mau hal seremeh apapun, agar Rima tetap merasa bahwa dia tidak terkurung. Namun tetap punya ikatan diluar sana. Dia tidak punya memori berarti sebelum dibawa ke sini, seorang anak yatim piatu yang berhasil selamat dari apokalips hebat yang melanda Bumi, Rima tidak berpikir akan ada yang peduli ataupun membutuhkannya, dia hiduppun apakah ada yang merasa bersyukur atas kehadirannya. Rima tidak tahu. Dia terlunta-lunta dalam keadaan miskin, diacuhkan oleh mereka yang sibuk dengan urusan sendiri. Masuk ke dalam panti asuhan tidak membawa pengaruh apapun. Satu persatu. Rima melihat saudara-saudarinya pergi lalu melupakannya. Adalah perasaan sakit yang sungguh sulit diungkapkan.
Lalu kini, setelah berkali-kali menerima penolakan. Ada yang menganggapnya berguna, membawanya dari kesendirian. Ada banyak nyawa bergantung padanya, Rima senang kini dia dianggap ada dan dibutuhkan. Tapi perasaan itu berubah karena yang mereka lihat Rima hanya objek penelitian, sebuah barang yang bila kehilangan fungsinya nanti dibuang. Rima takut, bagaimana bila dirinya bukan obat tapi racun untuk populasi manusia yang tersisa. Harapan yang digantungkan padanya, mampukah Rima emban dan tuntaskan kewajibannya. Dia tidak mau melihat wajah-wajah kecewa itu dan nanti tidak memedulikannya lagi.
Sora, lelaki seumurannya itu. Sahabat pertama yang mau menghargai dirinya. Dan tidak meninggalkannya walau tahu Rima berbahaya. Ada tempat di mana Rima merasa dirinya bisa jadi diri sendiri, nyaman dan menenangkan. Seperti rumah yang hangat dan pelindung dari semua perasaan gusar. Di diri Sora, Rima menemukan bagian yang hilang itu, merasa lengkap. Utuh seperti manusia normal.
Namun, Sora, punya kehidupannya sendiri. Rima tidak berhak mengekangnya untuk selalu tinggal. Sora adalah milik Sora sendiri. Bukan miliknya. Jadi dia tidak berharap banyak esok-maupun esok lusa Sora akan datang dengan senyum ceria mengetuk kaca pembatas, mengajaknya mengobrol hal remeh-temeh untuk menghabiskan waktu sejenak. Sora boleh pergi ataupun memilih tetap di sini. Rima hanya tidak berani meminta lebih pada Sora, sekedar untuk lebih lama menemani sekalipun. Cukuplah apa yang Sora lakukan untuknya selama ini, mengobati sedikit rasa kesepian yang dulu menyesakkan.
Kaca pembatas itu terdengar diketuk tiga kali. Rima berbalik. Tiga bayangan hitam mengagetkan Rima karena lampu bangsalnya sudah dimatikan. Suara Sora yang menyuruhnya tenang membuat Rima tidak jadi berteriak. Kini dia dua kali lebih kaget ketiga dua professor yang menanganinya berdiri diluar sana bersama Sora.
“Sora, apa ini?”
Kang Bak Su yang berinisiatif menjelaskan. Bersama Tora, mereka masuk ke dalam bangsal dengan alat pelindung. Lalu memakaikan Rima sebuah gelang yang berubah menjadi barrier kasat mata, yang melindungi Rima maupun orang di luar sana. Perlahan, mereka membimbing Rima keluar dari bangsal. Dan membiarkan Rima merasakan sensasi diluar ruangan setelah sekian lama.
“Ayo, nanti kita tidak sempat melihat bunganya.” Sora berseru, karena barrier kasat mata itu teksturnya keras dan berjarak lima meter disegala lingkar. Maka dia hanya bisa melambai-lambai agar Rima mengikuti mereka.
Kang Bak Su dan Tora bahkan sampai ikut serta, mengambil pesawat mini yang bisa menampung mereka untuk keluar dari Shelter. Tora mengijinkan sekali ini untuk mengajak Rima keluar karena ternyata besok adalah ulang tahunnya, dia tidak menyangka Sora dan Rima punya hubungan pertemanan yang sangat dekat sampai Sora merencakan untuk membawa kabur Rima mala mini seandainya dia tidak jujur pada Tora tadi. Melewati kayu-kayu berwarna hitam dan tanah kemerahan yang gersang, mereka sampai pada sebuah padang landai yang berumput hijau. Berbeda sekali dengan sekitarnya yang hanya tanah. Ditengahnya, segumpalan Bunga Hawthrone yang bersinar keunguan dan biru disiram oleh kemilau cahaya bulan yang bulat sempurna. Rima berdiri di sana memperhatikan seksama, sebuah kecantikan yang menyentil perasaannya. Seburuk apapun keadaan, bahkan bunga sekecil ini saja mampu tetap menampilkan keindahannya. Begitu jelita dan kuat disaat bersamaan.
Tidak sampai di sana saja, Tora memutuskan untuk memberikan ijin untuk Rima mengenyam pendidikan disekolah yang sama dengan Sora. Walau di kelas yang harus dibedakan dan melewati prosedur khusus. Rima menangis, berterima kasih dan sangat bersyukur sudah diberikan kesempatan seberharga itu. Kang Bak Su juga berencana untuk mengangkat Rima menjadi anak setelah dirinya menikah, mereka sudah membicarakannya jauh-jauh hari dan pacar Kang Bak Su ternyata yang biasanya menjadi perawat yang mengantarkannya makanan dan menjaganya.
“Jangan berterima kasih pada kami,” Ucap Tora, “Anak ini, walau tingkahnya selalu nekat. Sudah banyak berusaha.”
“Apaan sih, Yah. Aku hanya mencoba menolong Rima.” Sora bersungut-sungut dengan wajah memerah, salah tingkah.
Tora dan Kang Bak Su hanya tertawa melihat tingkahnya, meninggalkan mereka berdua dan kembali ke pesawat. Memberikan waktu untuk mereka bicara.
“Kau bakalan susah hidup sama Paman Bak Su, dia sangat cerewet,” Canda Sora.
Rima menggeleng, kini mereka duduk menghadap Bunga Hawthrone yang bersinar cantik. “Aku senang beliau mau mengangkat anak sepertiku.”
“Jangan berkata begitu, kau mungkin harusnya dapat yang lebih baik.”
“Sora,” Tegur Rima, Sora malah tertawa. “Makasih, yah.”
Sora mengangguk, “Selamat ulang tahun, Rima. Semoga apa yang kau harapkan bisa terwujud.”
Rima tersenyum, harapan yang dia selalu inginkan bahkan sesuatu yang dari dulu dia anggap mustahil dia dapatkan, telah terwujud dengan cara yang tidak terduga. Dan satu harapan kecil, kini tumbuh diam-diam tanpa perlu dia beritahu pada Sora.
Suatu hari nanti, semoga terwujud. Ucap Rima dalam hati
(Anida Fitri)
Sebagai pemenang harapan pada lomba cerpen dalam kegiatan Pekan Jurnalistik Nasional Kinday 2020