LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Pesan Terakhir

pesan terakhir

Ada banyak sekali hal yang berubah di kota Inkuria selama masa karantina berlangsung. Salah satunya adalah, kehidupan yang berjalan lebih lambat, dan orang – orang yang lebih memilih untuk tinggal di rumah. Meski kini keadaan kota sudah lebih baik dari  masa saat awal – awal penerapan aturan karantina, masih saja ada beberapa orang yang memilih untuk tetap berada di rumah.

Beberapa dari orang yang masih memilih untuk diam di rumah itu adalah Rila. Dia menghabiskan waktunya dengan berada di sekitar rumahnya, terutama di dalam kamarnya. Tidak banyak yang dia lakukan, seperti anak muda pada umumnya yang kuliahnya diliburkan. Rila sendiri bukanlah seorang anak yang senang pergi keluar rumah, jadi kelihatannya dia betah sekali selama masa karantina itu. Toh, Rila tidak bisa protes. Ini sudah anjuran dari pemerintah, jadi dia tetap melakukannya. Sebagai warga negara yang baik, mana bisa Rila mengabaikan perintah ini, kan?

Selama berada di rumah, dia memanfaatkan waktunya untuk menambah pengetahuannya. Sudah jadi rahasia umum bagi semua orang yang mengenalnya dengan baik kalau Rila sangat suka membaca, jadi bisa ditebak kalau dia mengurung dirinya di dalam kamar bersama setumpuk buku. Banyak bahan bacaan yang dia habiskan, mulai dari bacaan bertema kontroversional seperti perdagangan manusia, sesuatu yang menarik seperti psikologi, atau sesuatu yang ringan seperti novel atau komik, semuanya dia baca. Kadang, mungkin dia akan berkomunikasi dengan teman – temannya melalui media daring, tapi selebihnya, dia hanya diam dan membaca.

Kedua orang tuanya hanya bisa menggeleng saat melihat kelakuan putri semata wayang mereka. Kebiasannya ini didapatkan dari sang ayah, tapi keterlaluan juga karena anaknya bisa tahan berbulan – bulan hanya diam di rumah dan membaca. Mungkin anak lainnya tidak akan tahan kalau diberi kesempatan yang sama dengan Rila. Walau kedua orang tuanya tidak keberatan akan apa yang dilakukan oleh anak mereka, tapi tetap saja mereka geleng – geleng karenanya.

Seperti hari ini, Rila tengah membaca sebuah buku novel dari Arthur Conan Doyle, karangannya yang termahsyur, Detektif Sherlock Holmes di ruang tengah rumahnya. Seri yang dia baca merupakan satu dari empat novelnya, yang berjudul The Valley of Fear. Saat Rila membaca, kedua orang tuanya lewat, dan tersenyum ketika melihat apa yang dilakukan oleh anak mereka.

“Orang lain sudah pada senang karena bisa kembali beraktifitas di luar rumah, kok kamu malah masih betah di rumah sih? Kamu tidak ingin ketemu pacarmu atau temanmu di saat yang sudah lebih longgar begini?” tanya Bu Darla, ibunda dari Rila, yang kebetulan lewat di dekat anaknya.

“Hm, aku sudah bilang pada Ray kalau akan lebih baik kalau kami jangan ketemu dulu. Jadi, tidak masalah sih,” jawab Rila, sambil menurunkan sedikit buku yang ada di hadapan wajahnya.

“Kalau begitu, kamu mau bantu Ayah dalam kasus kali ini atau tidak? Kalau kamu diam di rumah terus kan bosan juga. Kurasa ini akan jadi selingan yang menarik untukmu,” kata Pak Jameson, yang mendengar percakapan antara istrinya dan juga Rila.

Pernyataan Pak Jameson tadi membuat Rila tertarik karenanya. Dia memang sudah cukup lama tidak mendapatkan perkerjaan baru yang berhubungan dengan pekerjaan sampingannya sebagai seorang agen rahasia. Ayahnya selalu bisa memberikan kasus yang cukup menarik dari klien yang beliau miliki, dan sepertinya apa yang beliau tawarkan ini akan jadi kasus yang cukup menantang.

Sang ayah memiliki sebuah badan penyidikan mandiri bernama Shaun Private Eye, yang merupakan sebuah badan yang membantu masyarakat dalam masalah atau skandal yang mereka miliki. Rila yang memiliki latar belakang pendidikan sebagai agen rahasia kadang juga membantu ayahnya dalam menyelesaikan beberapa kasus. Rila sendiri memiliki kemampuan untuk mengelola data yang dia dapatkan menjadi berbagai kemungkinan dan spekulasi, yang tentunya adalah sebuah kemampuan yang menarik.

“Memangnya Ayah punya misi macam apa?”

Pak Jameson tersenyum, karena beliau tahu kalau dia berhasil menarik perhatian anaknya. Rila menjauhkan buku novel yang dia baca dan meletakkannya di pangkuannya, kemudian memperhatikan ayahnya yang memperlihatkan sesuatu di laptopnya. Di sana ada sebuah surat elektronik yang menampilan informasi dari klien yang bersangkutan.

“Aku mendapatkan pesan dari Pak Fardan Nestor, yang mengabarkan kalau anaknya ditemukan dalam keadaam tewas di sebuah taman yang tidak terurus. Dari laporan yang aku terima, si anak ini mendapatkan 28 tusukan di tubuhnya. Senjatanya disinyalir adalah sebuah pisau bermata dua. Pak Fardan sudah melaporkan kejadian ini kepada polisi, tapi beliau juga meminta bantuanku untuk mempercepat prosesnya,” tutur Pak Jameson.

Rila mengangguk. Kini, ayahnya memperlihatkan sejumlah foto akan keadaan mayat korban yang didapatkannya dari rekan – rekan yang berada di Kepolisian Inkuria. Bisa terlihat sebuah ekspresi ketakutan dari wajah korban, ekspresi horor yang menandakan bahwa korbannya tidak ingin hidupnya berakhir dengan cara yang seperti itu.

Wajah yang ada di hadapan Rila ini tidaklah asing. Rila mengenal wajah si korban dengan baik, dan dia sering melihatnya, sebelum dia harus mendekam di dalam rumah. Hal ini membuat Rila tersenyum, karena dia bisa menebak kalau sang ayah sengaja memberikan kasus ini kepadanya.

“Ah, jadi begitu? Siapa yang tahu kalau Ferris Nestor akan tewas dengan keadaan yang seperti ini? Dia seorang kakak tingkat yang baik, dan aku sering melihatnya di kampus,” kata Rila.

“Kamu mau tahu apa yang lebih menarik lagi? Rupanya, di hari sebelum kematiannya, Ferris pergi ke kantor polisi dan melaporkan kalau dia melihat seorang pembunuh yang tengah beraksi di tempat yang sama dengan tempat mayatnya ditemukan,” ujar Pak Jameson.

Pak Jameson kini mengungkapkan lebih lanjut akan apa yang terjadi di dalam kasus itu. Semuanya di awali ketika Ferris pergi menemui temannya. Rumah indekos Ferris tidak terlalu jauh dari tempat kejadian, dan dia bisa melihat seseorang dalam keadaan yang mengerikan merangkak di tanah. Kemudian, seorang pria berambut panjang datang dari arah belakang, dan menarik orang yang Ferris lihat, kemudian menusukkan sebuah pisau bermata dua yang dia pegang. Ferris ketakutan, dan dia segera lari dari sana. Keesokan harinya, setelah Ferris bercerita pada temannya akan kejadian semalam saat mereka mengumpulkan sebuah tugas ke kampus, dia melaporkan apa yang dilihatnya malam sebelumnya. Sayangnya, Ferris harus mengalami nasib yang sama dengan korban sebelumnya, di tempat yang sama pula.

“Oh! Aku tahu! Jadi dia adalah saksi mata dari kasus pembunuhan yang terjadi dua hari lalu di tempat yang sama? Aku sudah lihat beritanya di koran, korbannya adalah Dimas Harianja. Kurasa, kemungkinan Ferris dibunuh karena dia melihat aksi si pelaku?” tanya Rila.

“Kemungkinan terbesarnya ya hanya itu. Lalu, polisi juga sudah mengecek rumah indekos tempat Ferris tinggal. Tidak ada hal yang aneh di sana, kecuali adanya secarik kertas di tong sampah yang bertuliskan kalimat “Aku melihatmu” yang dituliskan dengan darah. Lalu, kepolisian juga menemukan satu hal yang menarik. Ini ditemukan di sebuah halte dekat dengan tempat kejadian,” kata Pak Jameson.

Pak Jameson menunjukkan sebuah foto di hadapan Rila. Foto ini memperlihatkan sebuah kertas yang ditulisi dengan tinta berwarna hitam. Tulisannya agak berantakan, tapi walau ditulis dengan rapi sekalipun, sepertinya tidak akan ada yang mengerti karena isinya hanyalah deretan angka yang acak.

13 08 20, Diana G.

     4 K1 17 24 47 Ferris. K2 3 4 19 Asep Harianto. K3 7 13 21 28 35 37. K4 2 9 14 26 31 32 39 42 48.

Rila mengerutkan alisnya ketika dia melihat pesan yang ada di foto itu. Sepertinya apa yang dia lihat itu adalah sebuah kode, tapi tentunya mereka tidak tahu bagaimana cara memecahkannya. Hanya saja, Rila merasakan kalau ada sesuatu yang tidak asing dari kode yang ada di hadapannya itu.

“Jadi, bagaimana? Tentunya ini lebih menarik daripada membaca kan? Kamu bisa coba pecahkan kode ini kalau mau. Pasti ada sesuatu di dalam kepalamu yang bisa membantu dalam memecahkan kode ini,” kata Pak Jameson.

“Entahlah, aku tidak tahu, Ayah. Ada banyak sekali kode yang sudah aku pecahkan selama aku mengerjakan berbagai misi. Satu hal yang aku yakin adalah, ini bukan Sandi Caesar biasa. Angkanya terlalu besar untuk Sandi Caesar. Tapi … kenapa kelihatannya kode ini familiar ya?” tanya Rila.

“Aku juga merasa seperti itu, nak. Ada sesuatu yang tidak asing dari kode ini.”

Kedua ayah dan anak itu terdiam selama beberapa saat, berusaha memikirkan apa yang membuat mereka merasa familiar. Sementara itu, sang ibu kini sudah kembali setelah membuatkan mereka bertiga secangkir teh. Sepertinya, mereka akan membahas kode ini dalam waktu yang cukup lama, dan Bu Darla tahu persis kalau mereka berdua tidak akan berhenti sebelum mereka bisa mendapatkan pemecahannya.

Rila memandang ke sekeliling ruang tengah rumahnya. Dia berpikir sejenak, berusaha mencari kemungkinan apa yang bisa terjadi. Menurutnya, bisa saja kalau di dalam kode itu sudah ada petunjuk untuk memecahkannya. Kemudian, ada beberapa nama yang sengaja ditulis tanpa menggunakan kode. Itu berarti, nama itu tidak terdapat dalam apapun yang jadi pemecah kodenya. Tapi kenapa?

Setelah memandangi semua benda yang ada di dalam rumahnya, kini Rila memandang buku novel yang ada di pangkuannya. Pikirannya menjadi kosong selama beberapa saat, kemudian Rila mengingat akan bagaimana Sherlock Holmes berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh John Douglas. Semuanya diawali dengan …

“Ayah, kira – kira buku apa yang dimiliki oleh banyak orang?” tanya Rila.

“Entahlah? Kamus? Kitab suci? Buku panduan? Tapi, kamu dapat ide dari mana?” ujar Pak Jameson.

Rila menunjukkan buku yang tadi dibacanya kepada Pak Jameson. Setelah beberapa saat, akhirnya sang ayah kini berseru. Kini mereka tahu kenapa kode itu terasa sangat familiar.

“Kode yang diterima oleh Sherlock! Pantas saja rasanya familiar!” seru Pak Jameson.

“Benar! Coba Ayah lihat, ada satu nomor di awal kode ini. Kemungkinannya ini berarti halaman yang diperlukan. Lalu, huruf K melambangkan kolom yang dicari. Sisanya adalah kata kesekian dari kolom itu. Semuanya cocok. Sepertinya si pembunuh ini fans berat Sherlock Holmes ya?”

“Kurasa begitu, nak. Tapi, halaman yang diminta adalah halaman keempat. Sepertinya buku ini pendek sekali, atau bisa jadi kata pembukanya yang di ambil oleh si pembunuh untuk pemecah kodenya. Tapi, kira – kira buku apa yang dia gunakan?”

“Aku tidak tahu, Yah. Apalagi dalam satu halaman bisa sampai empat kolom. Buku macam apa ini?”

Keduanya kembali terdiam, dan memikirkan kemungkinan apa yang mereka miliki. Bu Darla yang sejak tadi hanya menyimak percakapan kedua orang itu kini juga tertarik untuk memikirkan akan pemecahan dari kode yang ada. Setelah beberapa saat terdiam, Bu Darla mendapatkan sebuah ide.

“Bagaimana kalau itu bukan buku? Misalnya saja apa yang digunakan oleh pembunuhnya adalah majalah atau surat kabar. Kan, kalau dia menuliskannya di halte, berarti seharusnya benda ini mudah didapatkan dan dibawa, kan?” kata Bu Darla.

“Sepertinya, surat kabar cukup masuk akal untuk masalah ini,” sahut Pak Jameson.

Pak Jameson dan Rila saling berpandangan selama beberapa saat. Ide Bu Darla tidaklah jelek, dan Rila langsung mengambil surat kabar Harian Inkuria yang terletak di meja kopi yang berada di dekatnya. Rila membuka halaman keempat, dan menemukan sebuah halaman opini. Pak Jameson mengeluarkan sebuah pulpen dan buku catatan mini dari sakunya, lalu keduanya mulai memecahkan kodenya.

“Kata pertamanya … adalah? Lalu berikutnya … kemudian? Kata ketiganya … tetapi? Heh? Kok tidak masuk akal sih?” tanya Rila.

“Wah, kok bisa begitu ya? Apa ada yang salah ya dari pemikiran kita? Atau mungkin kita butuh surat kabar lainnya?” kata Pak Jameson.

Rila kembali memperhatikan kode yang ada di hadapannya. Kertas yang digunakan oleh si pembunuh itu terlihat kusut, dan sepertinya bekas dari sebuah struk belanjaan. Ada sebuah bercak darah di atasnya, dan sepertinya ditulis di permukaan yang tidak rata. Di awal surat itu, ada tiga rangkaian angka, yang sebelumnya tidak mereka pecahkan. Rila berpikir, apakah itu punya maksud tertentu?

“13 08 20? Apa maksud angka itu?” tanya Rila.

“Bukannya itu tanggal ya?” tanya Pak Jameson, tanpa berpikir dua kali.

Hal itu membuat Rila menepuk jidatnya. Langsung saja dia berdiri dan berlari ke satu tempat. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan membawa selembar koran lainnya.

“Kita sudah mendahului zaman! Kalau pesan ini ditulis kemarin, tentu saja surat kabar hari ini belum dicetak! Jadi, pemecahannya ada di surat kabar kemarin! Supaya penerima pesannya ingat, karena itulah ada tanggal di atas pesannya!” kata Rila, lalu membuka koran yang ada di tangannya.

Pak Jameson tersenyum, karena dia salut dengan pemikiran anaknya. Semuanya kini jadi masuk akal, dan mereka berdua kini mencoba untuk memecahkan kode yang mereka dapatkan. Kali ini, pesan yang mereka dapatkan sangatlah masuk akal.

Aku sudah membereskan Ferris. Target berikutnya adalah Asep Harianto. Jam yang sama tempat yang sama. Aku akan pastikan kalau tidak akan ada saksi tersisa.

“Pesan untuk pembunuhan yang berikutnya! Si pembunuh kini mengincar seseorang dengan nama Asep Harianto pada malam ini!” seru Pak Jameson.

“Hm, kalau begitu, dengan adanya kode ini, kemungkinan si pembunuh punya rekan atau atasan ya? Kurasa, orang yang dimaksud ini adalah si “Diana” ini, yang namanya ada di sebelah tanggal ini?” tanya Rila.

“Bisa jadi, nak. Sepertinya, aku harus menelpon kepolisian, mereka harus diperingatkan soal ini. Kurasa mereka akan bisa melakukan penangkapan malam ini. Mungkin mereka juga bisa memperingatkan si calon korban, kalau mereka tahu siapa si Asep Harianto itu. Nah, karena kamu sudah memecahkan kodenya, kurasa kamu mau ikut untuk menangkap pelakunya?”

Rila menggeleng, “Aku kan sudah menyelesaikan tugasku. Lagian, soal tangkap – menangkap itu kan urusan polisi. Sekarang, aku akan melanjutkan bacaanku saja. Tapi, terima kasih karena sudah memberikan selingan yang menarik, Yah. Aku akan senang kalau nanti Ayah akan menceritakan soal penangkapannya,” kata Rila.

Rila memperlihatkan sebuah senyuman kepada ayahnya, kemudian dia mengambil cangkirnya. Dia menyeruput teh dari cangkir, kemudian kembali membaca buku novel Sherlock Holmes yang ada di pangkuannya. Setelah menyelesaikan kode itu, sepertinya akan lebih baik jika Rila melanjutkan bacaannya.

Pak Jameson hanya bisa menggelengkan kepalanya, dan membiarkan anaknya melakukan apa yang dia suka. Sepertinya percuma saja Pak Jameson berusaha menyeret Rila keluar rumah. Walau anaknya hanya mengurung diri dan membaca buku, toh tidak ada salahnya juga. Apa yang dibacanya mungkin bisa membantunya di misi yang akan dia dapatkan di masa depan. Rila baru saja membuktikan bahwa salah satu pengetahuannya berguna dalam kasus yang diberikan oleh Pak Jameson, dan mungkin lain kali hal seperti ini akan terjadi lagi.

 

Oleh: Dinella Putri Syafrilla

Pemenang utama lomba  cerpen pada Pekan Jurnalistik Nasional Kinday 2020