Rasa manis semerbak merah darah, di dalam sebuah kota tua gelap yang dihuni beberapa makhluk jahat, pria berwajah pucat dengan kedua mata yang berwarna kuning. Hal itu membuat beberapa tampak menyeramkan bagi orang-orang yang menatapnya.
Seorang wanita muda berdiri di depan sebuah patung naga raksasa yang terbuat dari batu merah. Patung itu tampak begitu megah dan angker, dikelilingi oleh tali merah dan lonceng perak yang berdentang-dentang setiap kali angin bertiup. Wanita itu mengambil kamera digitalnya dan memotret patung itu dari berbagai sudut. Ia ingin mengabadikan momen ini sebelum ia kembali ke Jakarta.
Di dalam deskripsi hanya menyatakan jika dulunya ada sebuah kota tua yang berada di atas dasar sungai Amandit. Kota itu konon dikuasai oleh seorang jelmaan naga yang sangat kuat dan kejam, yang mampu mengendalikan air, api, dan petir. Jelmaan naga itu berhasil menundukkan penduduk asli yang ada di sekitar sungai. Sebelum pada akhirnya kota tua itu menghilang dalam satu malam tanpa jejak.
Konon katanya malam itu terdengar sebuah perkelahian besar. Namun, karena tidak ada masyarakat yang berani keluar sehingga tidak ada yang tahu kebenaran. Tapi ada satu orang yang menjenguk secara diam-diam. Katanya ada sebuah wanita muda yang berkelahi menggunakan keris kuning yang berkilau.
Namun, tidak ada yang bisa membuktikan jika hal itu merupakan sebuah fakta lapangan. Pada akhirnya cerita itu hanya dijadikan sebuah cerita turun-temurun. Orang sekitar sungai Amandit percaya bahwasanya jika mereka menemukan sebuah telur besar lalu memakannya, mereka akan menjadi sebuah jelmaan naga lain.
“Gue nggak percaya sama gituan. Jelmaan katanya? Nggak ada yang nyata.”
Wanita itu bernama Gendis Rahayu, seorang wanita kota yang hanya mempercayai sebuah kenyataan berdasarkan bukti peninggalan yang ada. Ia seorang ahli sejarah yang bekerja di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, tetapi hanya seorang pemula. Ia datang ke Kalimantan Selatan bersama timnya untuk meneliti sebuah kota tua yang tenggelam di dasar sungai Amandit.
Gendis tidak percaya dengan cerita rakyat itu. Ia hanya mengandalkan bukti-bukti ilmiah dan logis untuk memecahkan misteri sejarah. Ia yakin bahwa patung naga itu hanyalah sebuah simbol kekuasaan atau kepercayaan, bukan makhluk hidup yang nyata. Ia tidak peduli dengan omongan orang-orang setempat yang menganggap patung itu sebagai sesuatu yang suci dan berbahaya.
Tapi, tiba-tiba saja, langit menjadi gelap dan petir menyambar-nyambar. Angin kencang berhembus dan membuat orang-orang berteriak ketakutan. Mereka berlarian mencari tempat perlindungan, sambil berseru bahwa sang naga marah dan akan menghukum mereka semua.
“Sang Naga marah!”
Gendis terkejut dan bingung, ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia melihat ke arah patung naga itu dan mendapati sesuatu yang mengejutkan. Kedua mata patung itu menyala dengan cahaya kuning, seolah-olah hidup dan melihat ke arahnya.
Ia melangkahkan kakinya dengan perlahan-lahan. Sayangnya ia tersandung karena dikejutkan oleh kedua bola mata patung naga yang bergerak begitu saja. Gendis merinding, tapi ia tidak takut. Ia penasaran dengan fenomena aneh ini. Ia mendekati patung itu dengan hati-hati, sambil mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala naga itu.
Saat jari-jarinya bersentuhan dengan batu dingin, ia merasakan sebuah sensasi yang aneh. Sebuah cahaya kuning membawanya masuk ke dalam rasa kantuk. Gadis itu mulai tertidur dengan nyenyak tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi. Namun, yang sebenarnya terjadi naga itu bukan sembarang patung biasa.
***
Gendis membuka matanya dengan perasaan kaget, ia tidak tahu di mana ia berada. Ia hanya ingat bahwa ia sedang berada di museum, meneliti patung naga yang bercahaya. Sekarang, ia terbaring di tanah berlumut, dikelilingi oleh semak-semak berduri yang melukai kulitnya.
Ia mencoba untuk bangun, tapi ia merasa lemas dan kesakitan. Ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat seorang pria muda yang mengenakan pakaian aneh dan menyeramkan. Pria itu memakai topeng merah dengan taring panjang, kain merah dengan duri tajam, dan sisik merah yang melapisi tubuhnya. Pria itu tampak seperti seorang naga yang berwujud manusia.
Gendis merasa takut dan bingung. Ia tidak mengenal pria itu, apalagi pakaian yang ia kenakan. Ia merasa seperti terlempar ke zaman kuno, di mana makhluk-makhluk mistis masih hidup.
Pria itu menarik Gendis dengan kasar, membuatnya berteriak kesakitan. Darah segar mengalir dari luka-lukanya, menarik perhatian beberapa makhluk hitam yang mirip ular. Makhluk-makhluk itu mendesis dan menggerogoti Gendis dengan nafsu.
“Menarik,” gumam pria itu dengan suara dingin.
Ia mengayunkan tangannya dan membuat angin hitam muncul dari telapak tangannya. Angin itu menyapu Gendis dan membawanya ke tempat lain. Tempat yang lebih mengerikan dari sebelumnya.
Gendis terbangun di sebuah ruangan besar yang penuh dengan ukiran naga dan monster aneh. Di tengah ruangan, ada sebuah singgasana besar yang ditempati oleh seorang pria muda lain. Pria itu memiliki mata kuning yang tajam, rambut hitam yang panjang, dan kulit putih pucat. Pria itu tampak seperti seorang raja yang berkuasa.
Pria itu melihat Gendis dengan tatapan benci. Ia melompat dari singgasananya dan mendarat di depan Gendis dalam sekejap mata. Ia mencengkeram tengkuk Gendis dengan kuat, membuatnya sesak napas.
“Selamat datang utusan! Utusan yang licik!” ucap pria itu dengan nada sinis.
Gendis tidak mengerti apa maksud pria itu. Ia tidak tahu siapa dirinya, apalagi utusan dari siapa. Ia hanya ingin pulang ke rumahnya, ke tempat yang aman dan nyaman.
“Lo siapa? Bukannya gue tadi ada di Museum Naga Suci,” tanya Gendis dengan nada ketus. Ia mencoba untuk bersikap berani, meskipun ia merasa ketakutan.
“Siapa? Kamu tanya saya siapa?”
Pria mata kuning itu tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Gendis dengan sinar aneh di matanya. Ia membuat Gendis masuk ke dalam sebuah mimpi. Mimpi yang akan menjelaskan segalanya.
Mimpi itu membawa Gendis ke masa lalu, di mana ia melihat kisah cinta dan benci antara dua naga yang berbeda warna. Naga merah yang ditolak oleh kedua dunia, manusia dan makhluk suci. Naga putih yang mencintai naga merah, tapi juga harus melindungi manusia dari keganasannya.
Naga merah adalah pria mata kuning itu, sedangkan naga putih adalah leluhur Gendis. Mereka bertemu, jatuh cinta, tapi juga bertempur sampai mati. Pertempuran itu menghancurkan kota tua yang menjadi saksi bisu kisah mereka.
“Kamu keturunan naga suci putih! Harus mati!”
Pria mata kuning itu menusuk jantung Gendis dengan tangannya yang berubah menjadi cakar. Gendis merasakan nyeri yang luar biasa. Ia tidak percaya bahwa ia akan mati di tangan pria yang tidak ia kenal.
Tapi, di saat terakhir, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasakan sebuah ikatan yang kuat dengan pria itu. Ia merasakan sebuah rasa sayang yang mendalam. Ia merasakan sebuah penyesalan yang tak terucapkan.
Ia menangis dan meminta maaf. Maaf karena ia tidak bisa menyelamatkan pria itu. Maaf karena ia tidak bisa mencintainya. Maaf karena ia tidak bisa bersamanya.
Penulis: Nur Rahmadianty Shafira