LPM Kinday

Kabar Kampus Universitas Lambung Mangkurat

Maghrib

Jarak dari rumah menuju musala lumayan jauh, jadi biasanya sebelum menjelang maghrib aku selalu berangkat bersama temanku, sebut saja Nayan.

Tapi hari ini tampaknya aku harus berangkat sendiri, ibu Nayan mengabari jika dia tidak bisa pergi karena sakit.

Entah karena hanya perasaanku atau memang benar adanya, sekarang aku sedang melihatnya tertawa bersama dengan teman-teman yang lain. Aku segera menghampirinya, menempelkan telapak tanganku di keningnya.

Membuat mereka terheran-heran karena sikapku, aku menempelkan telapak tangan ke keningku sendiri. Suhu tubuhnya normal.

Tidak ingin terlalu ambil pusing, aku berjalan ke arah keran air. Mengambil wudhu, setelahnya bergegas bersiap untuk ikut sholat maghrib berjamaah.

Selepas sholat isya, aku, Nayan dan teman-temanku yang lain bergegas pulang. Kita menyusuri jalan setapak seperti biasa. Tapi kali ini ada yang berbeda. Ibu Nayan berlari kearahku dengan wajah pucat pasi, dia menarik tanganku, kemudian menarikku menjauh dari mereka.

Nayan dan teman temanku yang lain ikut berlari.

“Hyunjin diam, jangan teriak!” Tegur ibu Nayan sambil membekap mulutku. “Yang kamu temui tadi waktu di musala dan pulang bersama kamu itu bukan mereka,” lanjut ibu Nayan

“M-maksudnya?” Tanyaku masih dengan muka penuh keterkejutan.

“Sudah bibi bilang, Nayan lagi sakit di rumah.” Jelas ibu Nayan.

“HYUNJIIINNN!!” Panggil mereka.

Aku bergegas ingin pergi dari sana. “Jangan nak, mereka bukan teman temanmu. Lihatlah, mereka tidak berjalan, tapi melayang.”

Rasa takutku semakin menjadi-jadi, harusnya sekarang ibu Nayan merawat Nayan di rumah, bukan malah berkeliaran mencariku.

Aku meneguk ludah kasar, melirik pelan ke arah ibu Nayan. Wajahnya pucat pasi, sentuhan tangannya terasa begitu dingin. Dia tersenyum ke arahku.

Harusnya aku mendengarkan kata Bunda, orang tua ataupun anak kecil tidak boleh berkeliaran di saat sore menjelang maghrib. Karna saat itu waktu untuk makhluk-makhluk tak kasat mata berkeliaran.

“Syukurlah sudah ketemu,” ucap salah satu warga, lalu membopongku menuju rumah Pak ustad. Aku membuka mataku pelan, menarik nafas sebanyak mungkin. Jadi, tadi itu mimpi?

“B-bunda?” Tanyaku sedikit panik karena tidak menemukan bundaku di sana. Tak lama bunda datang memelukku begitu erat, aku sedikit terperanjat kaget saat bunda dengan tiba-tiba menjewer telingaku.

“Bukankah sudah ku peringatkan jangan bermain ketika sore apalagi saat maghrib. Para warga menemukanmu di pinggir jurang, satu langkah lagi kau akan menghilang di lembah itu!” Ucap Bunda.

“Tapi tadi aku berangkat ke mushola bun, seperti biasa.”

“Felix melihatmu berjalan ke arah jurang, dia terus meneriakan nama mu tapi tak kau dengarkan. Untung saja dia segera memberitahuku!” Ucap bunda dengan marahnya.

“Bukankah yang meneriakan nama ku Nayan?”

Aku mendapat satu jitakan di jidat.

“Sadar Hyunjin, Nayan sudah meninggal!”

“TIDAK. Ibu Nayan mengatakan padaku bahwa dia sakit, tapi dia baik-baik saja. Aku pulang bersama Nayan dan teman-teman yang lain.”

“Nayan dan keluarganya sudah meninggal, mobil yang mereka kendarai oleng dan menabrak teman temanmu di dekat jurang itu,”

“Ta-tapi mereka ada disini bun, di sampingku. Sedang menatap bunda dengan marah.”

 

Penulis: Hanida Riani